Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

MUHAMMADIYAH DAN AHMADIYAH

Oleh: Ahmad Khoirul Fata

Koordinator Jaringan KB Muda PII Jawa Timur

(Jawa Pos, 28 April 2008)

Tulisan Asvi Warman Adam "Belajar Dari Sejarah Ahmadiyah" (JP, 24/04/08) patut dikritisi. Sebab, dalam tulisan itu Asvi membuat suatu kesimpulan bahwa sejak dulu kala Muhammadiyah tidak memiliki problem serius dengan Ahmadiyah, terutama Lahore. Resistensi Muhammadiyah baru muncul saat MUI mengeluarkan fatwa kesesatan Ahmadiyah pada 1984.

Kesimpulan itu tentu saja layak untuk diperdebatkan. Beberapa literatur justru menunjukkan bahwa sikap resisten Muhammadiyah sudah muncul jauh sebelum dekade 1980-an. Juga, Asvi tampaknya hanya menyampaikan fakta sejarah yang sepenggal.

Buya Hamka dalam buku "Peladjaran Agama Islam (PAI)" (terbit pertama kali pada 1956) menulis, Ahmadiyah - baik Qadiani atau Lahore - masuk ke Indonesia sejak tahun 1920-an. Qadiani masuk melalui Tapak Tuan, kemudian ke Minangkabau di zaman kejayaan Sumatera Thawalib di Padang Panjang sekitar tahun 1923.

Awalnya, beberapa pelajar Sumatera Thawalib melanjutkan studi ke luar negeri. Di sana mereka secara intens dibina Qadiani hingga bisa bertemu dengan Khalifatul Masih II. Setelah dinilai matang dalam ajaran Ahmadiyah Qadiani, mereka pun disuruh pulang ke Minangkabau ditemani seorang dai Qadiani, Maulvi Rahmat Ali. Di tanah kelahirannya, mereka pun menggelar berbagai perdebatan tentang keyakinannya dengan ulama̢۪ lokal.

Tentu saja, keyakinan menyimpang yang mereka bawa ditentang para ulama. Karena hanya memperoleh beberapa puluh pengikut di Sumatera, Rahmat Ali pun pindah ke Jawa, dan mendapat beberapa orang pengikut. Namun akhirnya usaha di Jawa juga mendapat tentangan keras, terutama, dari tokoh Persis, A Hassan. Dalam sebuah perdebatan di Bandung, A Hassan membuka semua kekeliruan Qadiani dan terbongkarlah semua kepalsuannya oleh pendebat ulung itu.

Hampir bersamaan dengan Qadiani, aliran Lahore juga hadir di Indonesia. Pada tahun 1924, dua orang utusan Lahore datang ke Yogya, yaitu Maulana Ahmad dan Mirza Ali Ahmad Beig. Menurut Hamka, ada dua tokoh Muhammadiyah yang mengikuti ajaran ini, yaitu M Ngabehi Joyosugito dan M Yunus Anis. Saat itu, belum ada sikap tegas dari Muhammadiyah atas kedua tokohnya tersebut.

Pada 1925 Syaikh Abdul Karim Amrullah datang ke Yogya dan sempat berdebat dengan Ahmad Beig di depan H Fakhruddin. Dari perdebatan itu H Fakhruddin baru tahu bahwa Qadiani dan Lahore tidak jauh berbeda. Meski demikian, Muhammadiyah tetap belum bisa mengambil sikap tegas. Selang dua tahun kemudian, muballigh terkenal dari India, Maulana Abdul Aleem As-Shiddiqi, datang ke Yogya dan berceramah tentang hakikat Ahmadiyah Qadiani dan Lahore. Baru setelah ini Muhammadiyah bersikap tegas dengan mengeluarkan kedua tokohnya yang telah terjangkit penyakit Ahmadiyah itu.

Agama Ahmadiyah

Ada satu kenyataan yang tidak disinggung Asvi dalam tulisan itu, bahwa keluarnya fatwa MUI tentang kesesatan Ahmadiyah pada 1984 tidak lepas dari peran penting tokoh Muhammadiyah, yaitu Buya Hamka yang saat itu menjabat ketua MUI.

Sikap ini sesungguhnya adalah akumulasi dari resistensi Hamka dan Muhammadiyah terhadap Ahmadiyah. Dalam buku PAI tersebut, Hamka secara panjang lebar membahas Ahmadiyah, mulai dari sejarah kemunculan, ajaran, hingga masuknya ajaran itu ke Indonesia.

Ada dua kesimpulan penting dalam buku itu; 1) lahirnya nabi palsu di zaman modern (Mirza Ghulam Ahmad) tidak lepas dari dukungan kolonial Inggris untuk melemahkan perlawanan umat Islam. 2) Ahmadiyah lebih berbahaya daripada Bahai. Pasalnya, Bahai secara jantan mengaku dirinya bukan bagian dari Islam, sedangkan Ahmadiyah tetap menempel pada Islam. Dengan status seperti ini, Kaum Ahmadi dinilai berpotensi merusak Islam dari dalam.

Karena itulah, Hamka menulis Ahmadiyah sebagai "agama" bukan "aliran". Sebagai "agama", Hamka melihat Ahmadiyah memiliki akidah dan syariat yang berbeda dengan Islam. Akidah Ahmadiyah berinti pada keyakinan akan kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Sedangkan syariatnya bertumpu pada upaya mengekalkan kolonialisme Inggris di India dengan menghapuskan ajaran jihad. Allahu 'alam

Posting Komentar

0 Komentar