Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

"Sebuah Imperium Menunggu Rubuh"

Satu persatu teman Amerika berjatuhan. Kemarin John Howard dan Presiden Pakistan, Pervez Musharraf, siapa giliran selanjutnya? [bagian pertama]

Oleh: Amran Nasution

Bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Amerika teramat sulit dilupakan. Betapa tidak? Dalam merintis karir militer, ia mondar-mandir menuai ilmu di negeri itu. Ia sempat dua kali mengikuti program latihan militer di Fort Benning, Georgia, di tahun 1976 dan 1982. Lalu, sekolah staf dan komando, 1991, ia tempuh di Fort Leavenworth, Kansas, tempat penggodokan para perwira yang amat bergengsi itu. Gelar S2, ia raih di universitas di sana. Tentu tak banyak perwira Indonesia yang begitu intens menimba ilmu dari negeri yang punya pemenang nobel terbanyak di dunia.

Maka dalam suatu kesempatan mengunjungi Amerika di tahun 2003, sebagai Menko Polkam, SBY berkata, ‘’I love the United State, with all its faults. I consider it my second country’’. Terjemahan bebas penulis: “Saya cinta Amerika, dengan segala kesalahannya. Saya menganggapnya negeri kedua saya.” (lihat Al Jazeera English – Archive, 6 Juli 2004).

Tulisan ini tak bermaksud memperdebatkan ukuran atau kadar nasionalisme dari pernyataan itu. Meski yang mengucapkannya kini menjadi Presiden Indonesia.

Yang pasti, Perdana Menteri Australia John Howard, 68 tahun, tak pernah menyatakan Amerika Serikat sebagai negeri kedua. Ia hanya dikenal sebagai teman dekat Presiden George Walker Bush. Sementara orang mengejeknya sebagai sheriff (kepala polisi) Amerika untuk kawasan ini. Itu saja sudah cukup menyebabkan Partai Konservatif yang dipimpinnya kalah telak dalam Pemilu 23 November lalu.

Bukan hanya jabatan Perdana Menteri yang dipegangnya 11 tahun – dengan memenangkan 4 Pemilu – harus lepas dari tangan. Howard sendiri tak terpilih menjadi anggota Parlemen di daerahnya, Bennelong, pantai utara Sydney. Ia secara memalukan, dikalahkan Maxine McKew dari Partai Buruh. McKew, bekas pembawa acara televisi itu adalah politisi yang tak dikenal. Dengan itu, Howard tercatat sebagai Perdana Menteri pertama yang kalah dalam pemilihan Parlemen sejak 1929.

Padahal selama pemerintahannya, ekonomi Australia betul-betul melonjak amat cepat (booming). Lihatlah Sydney, kota terbesar dan pusat bisnis itu, seakan tak pernah bisa diam. Pusat perbelanjaan dan pertokoan selalu ramai. Turis asing melimpah. Di mana-mana gedung jangkung bertumbuhan.

Para analis berpendapat booming terjadi berkat kekayaan alam negeri kanguru itu akan batubara dan biji besi (iron ore), yang menjadi inceran China dan India, dua raksasa ekonomi baru dengan industri tumbuh sangat cepat. Lantas berbagai kebijakan Howard mendorong semua berkah itu menjadi kenyataan.

Tapi itulah, ia teman Bush. Ia kirim tentara ke Iraq dan Afghanistan. Kemudian ketika Bush menolak Protokol Kyoto yang dimaksudkan untuk mencegah pemanasan bumi, Howard pun ikut-ikutan. Maka dalam kampanye, lawannya Kevin Rudd, 50 tahun, pemimpin Partai Buruh, menjadikan dua isu itu sebagai senjata pamungkas menembaki Howard. Rudd berjanji segera menarik 550 pasukan tempur Australia dari Iraq, dan menanda-tangani Protokol Kyoto.

Kampanye itu sukses. Prestasi Howard dalam meningkatkan kemakmuran tak lagi dipedulikan. Berbagai jajak pendapat memang menunjukkan rakyat tak suka Bush, sekalian anti-Perang Iraq.

ImageNasib sial pun menerpa Howard dan partainya. Beberapa hari sebelum Pemilu, beredar pamflet mengatas-namakan Federasi Islam Australia, menyatakan bahwa pimpinan Partai Buruh mendukung usaha untuk mengampuni hukuman mati atas para pelaku bom Bali. Seperti diketahui bom Bali 2002, sangat berbekas di masyarakat Australia, karena dari 202 korban meninggal, 88 di antaranya adalah warga negeri itu.

Ternyata setelah diusut, Federasi Islam Australia tak pernah ada. Diusut lagi, seperti ditulis kantor berita Reuters, 21 November lalu, ketahuan yang membuat pamflet tak lain anggota tim sukses Howard.

’’Saya mengecam itu. Saya tak ada hubungannya. Itu bukan bagian dari kampanye saya,’’ kata Howard. Tapi tetap saja ia dan partainya kehilangan simpati pemilih, dianggap menghalalkan semua cara dengan selebaran memfitnah lawan politik.

Pada 23 November lalu, persis sehari sebelum Pemilu, Panglima Tentara Australia Marsekal Udara Angus Houston, mengumumkan bahwa seorang pasukan komando tewas di Afghanistan. Ia merupakan korban ketiga yang tewas dalam bentrokan dengan pejuang Taliban di bulan-bulan terakhir, dan menyebabkan kampanye anti-Perang Iraq dari Partai Buruh seakan mendapat tambahan bensin.

Maka kini negeri itu dipimpin Kevin Ruud, bekas diplomat Australia di Beijing, yang fasih berbahasa Mandarin. Sebagaimana biasa tokoh Partai Buruh, Kevin Ruud diduga akan mempererat hubungan dengan Asia. Ingat Paul Keating, Perdana Menteri dari partai itu yang kemudian dikalahkan Howard, suka mondar-mandir ke Jakarta.

Memang tak ada pengamat yang percaya Ruud akan merenggangkan hubungan dengan Amerika. Apalagi kalau dalam Pemilu 2008, Presiden Amerika dipegang Partai Demokrat. Tapi sementara negeri adikuasa itu masih di tangan Bush, diduga hubungan kedua negeri tak akan mesra.

Poodle-nya Bush

Dengan kekalahan dramatis itu berarti korban Bush bertambah saja. Sebelumnya, 2004, Presiden Spanyol Jose Maria Aznar tergeletak dalam Pemilu, hanya karena dia terlalu akrab dengan Bush. Seperti Howard, dia pendukung penting perang melawan teror (war on terror) dan mengirimkan pasukan berperang di Iraq. Howard akhirnya tumbang oleh lawannya, Kevin Rudd, Ketua Partai Buruh Australia (ALP) yang selalu berkampanye anti-perang.

Kebetulan tiga hari menjelang pemilihan, ibu kota Madrid terguncang hebat oleh ledakan bom. Pagi itu, 11 Maret 2004, ketika orang bergegas ke kantor dengan menyesaki kereta api komuter, 10 ledakan menerpa 4 jaringan kereta. Sebanyak 191 penumpang tewas dan lebih 2000 orang cedera. Ini merupakan serangan teroris paling berdarah di negeri itu. Aparat keamanan menuduh Al-Qaidah lokal bertanggung jawab dalam bom Madrid. Aznar tersungkur dan Zapatero naik menggantikan. Tanpa pikir panjang ia tarik tentara Spanyol dari Iraq.

Korban lain, Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi. Konglomerat media dan pemilik klub sepak bola AC Milan itu dikalahkan Romano Prodi dalam Pemilu tahun 2006 lalu. Semua orang Italia tahu bagaimana dekatnya Berlusconi dengan Bush.

Kemudian menyusul Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Kalau Howard diejek sebagai sheriff di Asia, Blair lebih malang: ia dapat julukan poodle-nya Bush. Setiap ada demo anti-perang Iraq di London atau kota lain, selalu ada poster bergambar Presiden Bush menyeret seekor anjing kecil berbulu panjang dengan tempelan wajah Tony Blair.

Di Parlemen telinganya selalu panas menerima cerca dan makian dari kelompok oposisi. Yang paling galak tentu George Galloway, anggota Parlemen dari independen yang sudah lama dikenal sebagai musuh Israel di Parlemen Inggris. Dia selalu memanggil Perdana Menteri Blair sebagai Mr Liar (Tuan Pembohong), karena terbukti senjata pemusnah massal yang menjadi alasan Blair mengirim tentara ke Iraq, tak pernah ada.

Padahal dulu, 1997, ketika pertama kali menjadi Perdana Menteri, ia termuda dalam sejarah Inggris. Otaknya amat cemerlang, karakternya mantap, dan wajahnya tampan. Karena itu dia terpilih terus. Tapi sejak mengirim pasukan ke Iraq – semula Inggris menyertakan 45.000 tentara, belakangan tinggal 7100, bertugas di Basrah – populeritasnya melorot drastis. Akhirnya karena desakan internal partai Blair memilih mundur. Penggantinya Gordon Brown menarik pasukan.

Teman Bush yang sudah habis diterpa gelombang adalah Presiden Pakistan Pervez Musharraf. Sebenarnya di bidang ekonomi Musharraf terbilang berhasil. Tentu untuk ukuran Pakistan, negeri miskin dengan angka buta huruf tinggi. Tapi karena dianggap antek Bush, populeritasnya di mata rakyat hancur-hancuran (lebih jelas lihat Menyelamatkan Pakistan dari Zaman Batu. www.hidayatullah.com. September 2007). Musharraf akhirnya juga tumbang oleh Yousaf Raza Gilani yang kini menjabat sebagai Perdana Menteri Pakistan yang baru. [bagian pertama...]

* Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini, bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta

Posting Komentar

0 Komentar