Oleh: Amran Nasution *
Hidayatullah.com---Kalau dibaca buku House of Bush, House of Saud (Simon & Schuster, 2004) yang ditulis Craig Unger, wartawan terkenal dan penulis sejumlah buku, sebenarnya Saddam telah mendapat restu dari Presiden Ronald Reagan untuk menyerang orang Kurdi di Halabja, sebuah kota Iraq di perbatasan Iran, dengan senjata kimia dan biologis. Seperti dikutip buku itu dari koran The Los Angeles Times, Saddam menggunakan helikopter Amerika untuk menebarkannya, menyebabkan kematian 5000 orang Kurdi. Kasus inilah kelak mengantarkan Saddam ke tiang gantungan.
Di buku itu, diungkap jelas bagaimana Presiden Reagan dan pembantunya memberi fasilitas kepada Saddam untuk mengembangkan senjata itu. Departemen Perdagangan Amerika pernah berupaya menghalangi pengiriman berbagai fasilitas, tapi tak berdaya karena berhadapan dengan Gedung Putih. Senat dan Kongres tak bersuara. Sejumlah memo autentik yang relevan kini menjadi bukti tak terbantahkan.
Senjata biologis terhitung efektif sebagai alat pembunuh massal, biayanya murah, dan instalasinya gampang disembunyikan atau disamarkan dibanding instalasi nuklir atau senjata kimia. Laboratorium untuk membuatnya tak terlalu beda dengan laboratorium penelitian farmasi.
Ken Alibek, pakar utama senjata biologis Uni Soviet yang membelot ke Amerika di tahun 1990-an, menulis di dalam bukunya Biohazard, bahwa hulu ledak dengan 100 kg virus anthrax yang ditembakkan dengan rudal mampu membunuh 3 juta penduduk di suatu kota padat penghuni. Itu betul-betul senjata setan.
Selain anthrax yang dikenal sebagai penyakit sapi amat berbahaya, berbagai jenis mikroorganisme penyebab penyakit mematikan lainnya dipergunakan, seperti virus ebola, demam yang amat membunuh yang ditemukan di Afrika, virus smallpox (cacar), dan influenza. Tentu virus flu burung -- menyerang hewan dan manusia – yang sulit ditaklukkan dan sekarang berkecamuk di Indonesia, cukup layak dijadikan senjata pemusnah massal. Dari sini tampaknya peran Namru 2 menjadi penting.
Dua tahun lalu, US Army Medical Research Institute of Infectious Disease (USAMRIID) di Fort Detrick, Maryland, yang disebut-sebut sebagai pusat pengembangan senjata biologis Amerika Serikat, telah menemukan vaksin penyakit chikungunya. Penyakit demam yang membuat nyeri pada otot dan bisa melumpuhkan – di sini disebut penyakit lumpuh layu – tampaknya memenuhi kriteria. Dengan itu diduga Amerika Serikat telah mengembangkan virus chikungunya untuk senjata kuman. Entah kebetulan, virus itu kini menyerang pedesaan Indonesia.
Amerika pertama kali melengkapi militernya dengan sistem senjata biologis pada 1942, di masa Perang Dunia ll sedang berkecamuk. Itu guna mengantisipasi kehebatan roket Jerman yang menghujani Inggris. Muncul kekhawatiran kalau roket itu membawa kuman akan sangat membahayakan. Selain itu, Jepang musuh Amerika di kawasan Pasifik, sangat maju dalam riset senjata kuman. Laboratoriumnya sudah lama ada di China.
Maka didirikanlah institusi militer untuk perang kimia dan kuman (The Army Chemical Warfare Service) di Fort Detrick, Marylan, dengan supervisi George W. Merck, pemilik perusahaan farmasi Merck. Fort Detrick dilengkapi berbagai infrastruktur riset dan pengembangan. Uji coba dilakukan di Utah dan Mississippi. Sedang pabrik untuk memproduksinya didirikan di Terre Haute, Indiana.
Seusai Perang Dunia ll, proyek itu lebih digalakkan. Sejumlah ahli senjata biologis Jepang diberi amnesti, setelah bersedia bekerja untuk Amerika. Mereka ditempatkan di bagian khusus yang disebut Unit 731. Jangan heran kalau selama Perang Korea, tentara Amerika yang terdesak oleh pasukan Korea Utara dibantu China, menggunakan senjata itu. Walau kenyataannya mereka kalah juga.
Memang setelah Amerika menandatangani Biological and Toxin Weapons Convention (BTWC), terjadi pembekuan proyek ini. Tapi tak berarti senjata itu dimusnahkan. Terbukti Amerika masih menggunakannya di Laos dan Kamboja, atau diberikan kepada Saddam Hussein. Inilah bukti konkret kalau bantahan Wakil Dubes John A.Heffern tadi tak sesuai dengan fakta yang terjadi.
Koran utama Amerika, The New York Times, 7 September 1982 – sekitar 10 tahun setelah konvensi ditandatangani – menulis bahwa senjata itu masih ada di sebagian basis militer Amerika Serikat. Para ilmuwan tentara masih tetap terlibat pada apa yang mereka sebut riset senjata biologis untuk kepentingan pertahanan (medical defensive B.W. research).
Lalu pada Februai 1989, Kolonel David L. Huxsoll, Komandan USAMRIID, secara terus terang mengakui kepada pers bahwa tentara Amerika Serikat melakukan percobaan pengobatan terhadap pasien di China dan Argentina. Para pasien di China diduga korban serangan senjata biologis Amerika Serikat dalam Perang Korea. Pengobatan yang sama dilakukan di Liberia, Korea Selatan, dan Mesir.
Langkah itu dikecam keras oleh para ahli kesehatan Amerika Serikat. Tindakan itu dianggap hanya akan memulai kembali perlombaan senjata biologis dunia. Dalam pertemuan tahunan asosiasi untuk kemajuan ilmu (The American Association for the Advancement of Science), Januari 1989, para ahli berpendapat tak selayaknya pasukan Amerika terlibat dalam program kesehatan masyarakat sipil. Pengobatan di China dan Argentina, semestinya dilakukan lembaga kesehatan sipil bukan militer.
Di forum itu, Dr Keith Yamamoto dari University of California at San Francisco mengatakan dana riset akan lebih efisien bila digunakan lembaga sipil. Selain itu, kalau tetap dilakukan militer akan menimbulkan kecurigaan bahwa riset militer telah menyamar ke dalam kegiatan pemeliharaan kesehatan publik (The New York Times, 6 Februari 1989).
Apa yang dipersoalkan Keith Yamamoto itulah yang terjadi dalam proyek Namru 2, laboratorium Angkatan Laut Amerika yang sudah bercokol di Jakarta sejak tahun 1970. Rupanya Namru (Naval Medical Research Unit) cukup strategis bagi militer Amerika. Proyek itu sudah didirikan sejak tahun 1940. Ia ada di Mesir, Ghana, dan Peru, selain di Indonesia. Dengan jaringan itu, ia merupakan fasilitas riset medis militer terbesar di dunia.
Resminya, Namru meneliti berbagai penyakit untuk kepentingan tentara Amerika bila suatu waktu bertugas di daerah itu. Sebenarnya, ini pekerjaan yang bisa dilakukan institusi sipil, seperti pendapat Keith Yamamoto. Karenanya tak sulit ditebak, ia tentu bagian dari program perang biologis Amerika. Itulah sebabnya para peneliti Namru di Indonesia membutuhkan kekebalan diplomatik, sehingga bebas ke mana saja, dan bebas membawa apa saja – termasuk sampel kuman -- keluar-masuk Indonesia tanpa pemeriksaan apa pun.
Itu pula sebabnya markasnya di Jalan Percetakan Negara, Jakarta, tertutup. Itu dibuktikan sendiri oleh Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari ketika sang menteri mendadak singgah ke sana, 16 April lalu. Meski fasilitas gedung yang dipakai Namru 2 adalah milik Departemen Kesehatan, Siti Fadilah Supari sendiri sulit masuk ke dalamnya. Baru setelah menunggu di luar sekian lama, menteri diperkenankan masuk. Rupanya ada rahasia yang tak boleh diketahui menteri yang harus diamankan terlebih dulu.
Tapi yang terpenting: apa untungnya Namru 2 bagi rakyat Indonesia? Jelas tak ada. Buktinya, bermacam penyakit menular dan mematikan bukannya berkurang, malah tambah merejalela dengan Namru bercokol di sini. Karena itu lebih baik proyek perang kuman Amerika Serikat itu segera ditutup. Apalagi kontrak kerja samanya sudah berakhir 31 Desember 2005.
Bagamana wibawa kedaulatan negara ini kalau bule-bule itu masih bebas berkeliaran seenaknya di sini? Padahal Indonesia bukan negara bagian Amerika dan Presiden SBY bukan gubernur dari Pemerintahan George Bush.
Tapi itulah, terlalu banyak para pemimpin negeri ini yang menghambakan diri kepada Amerika. Buktinya, tanpa perjanjian dan kontrak apa pun sudah 3 tahun Namru 2 bisa terus beroperasi dengan bebas di Indonesia. Sekarang seorang Siti Fadilah Supari menggugatnya. Menarik diikuti bagaimana cerita ini berakhir. Habis [www.hidayatullah.com]
Penulis adalah direktur Institute for Policy Studies.
0 Komentar