Jumat, 06 Juni 2008
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang layak dikutuk. Tapi pelecehan ajaran agama, fitnah, pengrusakan nilai-nilai agama adalah juga "kekerasan" yang jauh lebih terkutuk
Oleh: Henri Salahuddin *
Ada baiknya kita palingkan pikiran kita sejenak. Di saat semua orang di negeri ini sibuk terperangkap polemik AKKBB dan FPI, seorang pemuda produktif, tergolek sedang mengalami perawatan. Ia, adalah Mohamad Guntur Romli, aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) dan salah satu peserta apel di Monas.
Guntur yang juga Manajer Program Jurnal Perempuan, harus dioperasi atas luka-luka yang dialaminya. Kita berharap, pemuda produktif ini segera lekas sembuh.
Tidak satu pun orang menyanggah bahwa pengrusakan dan kekerasan fisik adalah kriminal yang layak dikutuk. Hanya saja, banyak orang tak bisa membedakan, selain ada kekerasan fisik, juga ada kekerasan intelektual.
Pemukulan dan penyerangan fisik, adalah perbuatan yang layak dikutuk. Tapi pelecehan ajaran agama, fitnah, hasutan provokatif, pengrusakan nilai-nilai agama dan moral bangsa adalah kategori kriminal yang jauh lebih terkutuk.
Dalam Islam, kriminal sering disebut dengan istilah jarimah dan jinayah. Kedua istilah ini selalu mengacu pada tindakan yang melampaui batas (i'tida) dan mengharuskan pelakunya menebusnya dengan hukuman baik berupa harta, nyawa, maupun sanksi dari pemerintah (ta’zir).
Dalam peritiwa Monas, 1 Juni lalu, banyak pihak mengecam tindakan FPI. Beberapa media massa yang dikenal nasional, mengecam dan menjadikan laporan seolah-olah FPI sebagai organisasi paling beringas di dunia. Sebuah media nasional bahkan membenturkannya dengan Pancasila.
“Aksi laskar Front Pembela Islam sungguh ironis. Mereka mengumbar keberingasan pada 1 Juni lalu, persis ketika hari lahir Pancasila sedang diperingati. Adakah kelompok yang mengatasnamakan Islam ini sengaja ingin melecehkan Pancasila?”, demikian penggalan editorial Koran Tempo, (3/6) kemarin.
”Negara Tidak Boleh Kalah”, demikian tulis Harian Kompas, (3/6), seolah-olah menekan pemerintah. Bahkan Koran yang pernah diisukan dimiliki kalangan Nashrani ini menurunkan tiga opini sekaligus, “Pancasila dan Kekerasan Agama”, “Agama yang Tidak Menghakimi”, dan “Kebebasan Anarkis.”
Kekerasan Intelektual
Kekerasan atas nama apapun adalah tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Sayangnya, sering kali masyarakat terkecoh –sebagian pura-pura tidak tahu—dengan bentuk-bentuk “kekerasan atas nama intelektual”.
Guntur , pria berusia 32 tahun ini masih tergolek lemah di RSPAD Gatot Subroto Jakarta ini, misalnyadikenal sebagai penulis cukup produktif dan dikenal sangat berani dalam mengusung isu-isu kebebasan berpendapat, meskipun harus menyinggung akidah dan ajaran yang paling mendasar dalam Islam.
Keberaniannya yang terkesan nekad dapat disimak dalam artikelnya bertema ”Pewahyuan Al-Quran: Antara Budaya dan Sejarah”, yang dimuat Koran Tempo pada 4 Mei 2007. Di situ dia menyatakan bahwa Al-Quran adalah produk sejarah dan menguatkan pendapat Nasr Hamid Abu Zayd, seorang liberal cabang Mesir yang kabur ke Belanda setelah diputuskan murtad oleh mahkamah negara asalnya. Di samping itu, dia menyatakan bahwa Al-Quran adalah karya bersama yang merupakan hasil ’gotong royong’ antara Allah, malaikat Jibril dan Nabi Muhammad. Tidak puas sampai di sini, mental keberaniannya –seolah-olah--telah memutuskan syaraf kepekaan sosial keagamaannya jauh sebelum menjadi korban FPI, dengan mengatakan bahwa Al-Quran terpengaruh dengan keyakinan Ebyon, sekte Kristen minoritas yang tidak mengakui Nabi Isa mati disalib. Pendapatnya ini didasarkan –di antaranya- hanya gara-gara Nabi Muhammad merasa berhutang budi pada Waraqah bin Naufal, rahib sekte Ebyon yang telah berjasa mengawinkan beliau dengan Khadijah. Maka sebagai balasannya, Nabi akhirnya memasukkan salah satu unsur keyakinan Ebyon dalam ajaran Islam.
Dalam sebuah tulisan di Kompas, (1/9/2007), dalam tulisan berjudul, ”Muhammad dan Kaum Cerdik Pandai Kristen”, Guntur mengatakan, bahwa Muhammad SAW bisa menjadi Nabi hanya berkat bimbingan tokoh cerdik pandai Kristen.
Memang harus diakui bahwa pria --yang kabarnya-- saat ini dalam kondisi perawatan, adalah pengusung kebebasan berpendapat dan tokoh liberal sejati, meskipun kerap melewatkan bukti dan argumen yang valid ketika berpendapat. Sebab bagi “liberal” sejati tidak perlu terikat dengan sebuah bukti, argumen maupun etika untuk menyatakan idenya. Ketika seorang liberal masih merasa terikat dengan hal-hal yang menghalangi kebebasannya, dia tidak lagi liberal dan tidak layak disebut tokoh pengusung kebebasan berpendapat.
Dalam sebuah jurnal yang mengusung paham feminisme radikal, didapati artikel yang berjudul: ”Lesbian Dalam Seksualitas Islam”. Artikel Mohamad Guntur Romli ini sangat berani bahkan keberanian penulisnya dalam mengutarakan kebebasan berpendapat layak diacungi jempol. Bagaimana tidak! Kesalehan tokoh sekelas Umar bin Khathab RA yang tidak diragukan oleh kaum Muslimin, dikotorinya dengan mengisahkan beliau sebagai pelaku anal sex. Tuduhan negatif terhadap mertua Rasulullah ini dia sandarkan pada tafsir al-Durrul Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur, karya Imam Suyuthi. Namun setelah saya lacak dalam tafsir tersebut, ternyata Imam Suyuthi tidak pernah menulis seperti yang dituduhkan penulis artikel tersebut terhadap Umar RA.
Pada intinya, artikel ini secara terselubung mengkampanyekan halalnya homoseksual dan lesbian dengan cara mengacak-acak kandungan Al-Quran. Dengan mengutip beberapa ayat berkenaan dengan kisah kaum Nabi Luth, dia kemudian mengajukan beberapa pertanyaan yang berdasar atas keraguan akalnya: ”Benarkah azab hanya berkaitan dengan masalah moral dan praktik seksual saja? Dan benarkah kisah itu benar-benar terjadi sebagai fakta sejarah?”.
Dalam menyikapi berbagai kisah yang terdapat dalam Al-Quran dan menganggapnya sebatas metafor, pria ini menulis: Kalau saja Al-Quran berani ”mengarang” laporannya tentang peristiwa yang disaksikan sendiri oleh Muhammad dan pengikutnya, bagaimana dengan kisah-kisah yang tidak pernah disaksikan oleh Muhammad? Ada sebuah persangkaan dan keraguan atas Al-Quran.
Pada akhirnya, artikel ini mengajak pembaca untuk bersikap kritis dan membedakan antara homoseksual saat ini dengan ”homoseksual” (dengan tanda kutip) yang terjadi pada sejarah Islam. Bagi pria yang kini tengah mendapatkan perawatan di RSPAD Gatot Subroto ini, tidak ada bedanya antara homoseksual dan heteroseksual. Bedanya hanya terletak pada kenikmatan seksual seseorang dan bagaimana ia mendapatkannya. (JP 58, hal. 75-93)
Tuduhan, kecaman, terhadap para ulama, melecehkan agama yang diyakini milyaran orang tak lain adalah salah satu bentuk “kekerasan intelektual” di negeri ini.
Yang menyedihkan, “kekerasan intelektual” justru dilakukan oleh kelompok-kelompok yang menjunjung tinggi kebebasan, demokrasi dan kebebasan beragama.
Umumnya, sebagian orang –terutama media massa—menjadikan kasus FPI sebagai bentuk kekerasan paling jahat. Sementara tak menganggap kaum intelektual yang “bermain-main” dengan akal hanya untuk sebuah kebebasan berpendapat bukan sebuah “kekerasan”.
FPI tidak tahu siapa itu Guntur, Syafi’i Anwar dan korban-korban yang terhitung luka parah akibat insiden Monas 1 juni lalu. FPI bukanlah organisasi akademis yang bergelut dengan seminar, diskusi dan tumpukan makalah. Kemauan mereka sangat sederhana, bubarkan Ahmadiyah yang telah melecehkan Islam! Mungkin ceritanya akan lain, jika sebelum terjadinya insiden itu, FPI mengenal Guntur dkk dan mengetahui sepak terjangnya dalam melecehkan Al-Quran dan ajaran Islam. Boleh jadi massa FPI jauh lebih garang dan bisa-bisa, akan berdiri “monumen kebebasan” yang menyedot dana ratusan juta dari berbagai Negara di Monas. Dan Guntur memperoleh “award”.
Radical Liberalism dan Kebebasan Bermartabat
Kebebasan yang bermartabat dalam Islam tidak membenarkan kebebasan berbuat kriminal. Bahkan Islam dengan tegas memaknai kebebasan sebatas pada kebebasan untuk melakukan hal-hal yang baik.
Kebebasan beragama, kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi sering disalahartikan pada sikap arogansi untuk menindas hak kebebasan kelompok beragama dalam menjalankan dan meyakini ajarannya. Bahkan saat ini, para pengusung kebebasan beragama cenderung mengarah pada paham radical liberalism.
Kesimpulan seperti ini juga diperkuat dengan fenomena perhelatan Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) in Indonesia VII yang dilaksanakan di Pekanbaru, 21-24 Nopember 2007 lalu. Kegiatan intelektual yang bermartabat seperti ACIS, justru digunakan untuk mengembangkan paham radical liberalism yang berwawasan anti-perbedaan. Perhelatan ACIS VII yang dimeriahkan dengan lomba debat antar mahasiswa se-Indonesia yang mengusung tema-tema untuk memojokkan Islam, seperti: Formalization of Syariah as the Real Enemy of Democracy; Ranjau Formalisasi Syariat; Mendamaikan Syariat Islam dengan demokrasi Pancasila; Pancasila dalam kepungan formalisasi Syari'ah Islam; Menolak Poligami: ditinjau dari berbagai pendekatan, Pembaharuan Hukum Islam dalam konteks keindonesiaan merupakan suatu keharusan; Benarkah poligami sebagai sunah nabi? Dan masih banyak tema-tema menyeramkan lainnya.
Tampilnya sejumlah narasumber asing non-Muslim untuk berbicara di depan para akademisi Muslim tentang studi Islam adalah bukti betapa peran agen-agen Barat di lingkungan Departemen Agama RI dalam menentukan arah studi Islam di PTAI tidak bisa dipandang sebelah mata.
Dalam sesi paralel "Islam dan Masalah Hak Asasi Manusia (HAM)" misalnya, pembahasan banyak difokuskan pada usaha mendiskriditkan hukum Islam, ulama fikih yang bermartabat dan memposisikan MUI sebagai pihak terdakwa. Dalam makalah "Mengubah Wajah Fikih Islam" misalnya, mengusulkan munculnya corak fikih baru yang bernuansa pluralis yang menjamin hak kebebasan dalam beragama, termasuk hak untuk menafsirkan agama. Pemakalah juga menuding fatwa MUI yang menyatakan kelompok Ahmadiyah sesat dan menyesatkan telah merampas hak kebebasan ini dengan cara membenturkannya dengan Resolusi Majelis Umum PBB 217A (III) 1948 dan UUD 1945 Pasal 28E dan Pasal 29.
Berkenaan dengan kebebasan beragama, seorang pemakalah tambil membawakan tema: "Menakar Kebebasan Beragama di Indonesia", menegaskan bahwa: Agama dan beragama adalah semata-mata untuk manusia bukan untuk apapun atau siapapun. Oleh karena itu tidak ada hak pada apapun atau siapapun termasuk itu Tuhan untuk memaksakan agama tertentu kepada manusia. Dalam uraiannya, kebebasan beragama secara operasional didefinisikan pemakalah dalam pengertian sebagai berikut: Kebebasan beragama sekaligus bermakna tidak hanya kebebasan untuk beragam atau memilih agama, tidak hanya kebebasan untuk menghayati atau memaknai agamanya sesuai dengan keyakinan teologisnya, tapi lebih jauh kebebasan beragama juga bermakna kebebasan untuk tidak beragama. Tapi saya tidak ingin berbicara tentang kebebasan untuk tidak beragama, karena soal ini sudah dikunci di negeri ini, komunisme sudah dihabisi, jadi segala pikiran-pikiran ateistik sudah dikesampingkan, maka saya akan berbicara kebebasan beragama dalam konteks kebebasan untuk memilih agama, untuk beragama sekaligus memaknai agamanya sesuai dengan keinginannya.
Pemakalah juga menyesalkan pembekuan aliran-aliran yang dianggap sesat seperti Ahmadiyah, al-Qiyadah al-Islamiyyah, dsb. Sehingga dalam menyoroti kedudukan MUI, dia menyatakan: "MUI misalnya, dalam amatan saya itu lebih menampilkan diri sebagai provokator konflik secara tidak langsung atau mungkin secara langsung". Lebih lanjut saat mengomentari sebuah slogan yang disanjung-sanjung oleh kelompok yang Islamisis yang menyakini Islam sebagai al-Din wa l-Daulah (agama dan negara sekaligus), dia mengatakan: "Apapun bentuknya, itu adalah suatu perselingkuhan. Maka apa yang muncul kemudian seperti partai Islam itu adalah anak haram dari perselingkuhan agama dan negara. Satu jalan menurut saya, jalan keluarnya hanya satu agar tampil relasi agama dan negara yang setara (yaitu) hanya satu, melalui jalan sekularisasi".
Beberapa fenomena liberalisasi agama yang muncul di tanah air, menguatkan indikasi merambahnya paham radical liberalism yang tidak lain adalah pembaratan ideologi rakyat Indonesia yang disusupkan melalui LSM-LSM lokal. Prinsip dasar paham ini sebenarnya adalah keabsolutan dan kebebasan yang tidak terbatas dalam pemikiran, agama, suara hati, keyakinan, ucapan, pers dan politik. Padahal paham liberalisme telah terbukti membawa dampak negatif bagi sistem masyarakat Barat, seperti mengesampingkan hak Tuhan dan setiap kekuasaan yang berasal dari Tuhan; pemindahan agama dari ruang publik menjadi sekedar urusan individu; pengabaian total terhadap agama Kristen dan gereja atas statusnya sebagai lembaga publik, lembaga legal dan lembaga sosial.
Dalam liberalisme budaya, paham ini menekankan hak-hak pribadi yang berkaitan dengan cara hidup dan perasaan hati. Liberalisme budaya secara umum menentang keras campur tangan pemerintah yang mengatur sastra, seni, akademis, perjudian, seks, pelacuran, aborsi, keluarga berencana, alkohol, ganja, dan barang-barang yang dikontrol lainnya. Belanda, dari segi liberalisme budaya, mungkin negara yang paling liberal di dunia.
Sedangkan liberalisme ekonomi mendukung kepemilikan harta pribadi dan menentang peraturan-peraturan pemerintah yang membatasi hak-hak terhadap harta pribadi. Paham ini bermuara pada kapitalisme melalui pasar bebas. Ujung-ujungnya paham radical liberalism adalah paham kebebasan bersuara dan kebebasan untuk tidak mendengarkan suara pihak lain yang berbeda.
Akhirnya paham ini mengukuhkan paham diktatorisme, di mana kelompok yang paling kuatlah yang akhirnya berkuasa. Dalam konteks bernegara, paham ini diam-diam meneriakkan slogan kebebasan untuk semua, yaitu rakyat bebas berbicara dan pemerintah pun bebas untuk tidak mendengarkan suara rakyat.
Sebagai penutup, konsep kebebasan dalam Islam merujuk pada kata ikhtiyar yang berakar kata khair (baik). Jadi umat Islam tidak dibebaskan untuk melakukan hal-hal yang tidak baik. Sebab hak kebebasan seseorang senantiasa terbatas dengan hak kebebasan yang dimiliki orang lain. Pada intinya, kebebasan yang dilahirkan dari paham radical liberalism adalah kebebasan yang tidak bermartabat. Dan biasanya selalu melahirkan kekerasan intelektual yang lukanya jauh lebih menyakitkan dibanding kekerasan fisik. Lallahu ‘a’lam. [www.hidayatullah.com]
Penulis alumni ISID Gontor & International Islamic University Malaysia (IIUM), Faculty of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences, Department Usul al-Din and Islamic Thought.
0 Komentar