Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

sekali Lagi Tentang SKB Ahmadiyah

Oleh: Prof. RD Yusril Ihza Mahendra

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim

Setelah dibahas menghabiskan waktu sekian lama, Pemerintah akhirnya
menerbitkan SKB tentang Ahmadiyah hari Senin 9 Juni lalu. Seperti
diakui Menteri Agama M. Basyuni, SKB ini diterbitkan begitu lamban
karena Pemerintah “memikirkan sedalam-dalamnya, semasak-masaknya, mana
yang terbaik. Inilah yang terbaik sesuai undang-undang yang berlaku”,
demikian kata Basyuni seperti dikutip Kompas kemarin. Tiga point
penting dari SKB itu adalah:
(1) Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat
untuk tidak menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum
melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari
agama itu yang menimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu;
(2) Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota
dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang
mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan
kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam, yaitu
penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya
setelah Nabi Muhammad S.a.w;
(3) Penganut, anggota, dan/atau pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI) yang tidak mengindahkan peringatan atau perintah sebagaimana
dimaksud pada diktum 1 dan diktum 2 dapat dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan
hukumnya.

Seperti dikatakan M. Basyuni, memang Pemerntah lamban sekali
mengambil keputusan, sementara gejolak terus berlanjut sampai terjadi
insiden kekerasan di Monas beberapa waktu yang lalu. Tindak kekerasan
memang patut kita sesalkan. Namun kelambatan mengambil sikap, turut
memberikan kontribusi terjadinya insiden kekerasan itu. Kalau
Pemerintah cepat mengambil keputusan, maka insiden seperti itu tidak
perlu terjadi. Saya sendiri tetap berpendirian bahwa segala tuntutan
dan penyampaian aspirasi, tetaplah harus menempuh cara-cara yang damai.
Buntut dari insiden kekerasan itu, wajah umat Islam di tanah air
menjadi kian memprihatinkan. Kita makin terpecah-belah karena perbedaan
pendapat dan perbedaan sikap menghadapi suatu masalah. Keadaan seperti
ini, akan menjadi bahan propaganda terus-menerus untuk memojokkan Islam
dan umat Islam di tanah air.

Beragam reaksi atas terbitnya SKB itu sebagaimana muncul di berbagai
media cetak dan elektronik. Ada yang menentang dan ada pula yang tidak
puas dengan SKB. Kelompok yang menentang berencana untuk menggugat SKB
ke Mahkamah Konstitusi, bahkan berencana akan mengajukan permohonan uji
materil terhadap UU Nomor 1/PNPS/1965 yang mendasari penerbitan SKB
itu. Sementara kelompok yang tidak puas, menyatakan isi SKB itu tidak
jelas dan multi tafsir, sehingga sulit dilaksanakan di lapangan.

Keberadaan SKB itu sendiri sangat minimalis, karena yang diinginkan
bukan sekedar perintah dan peringatan kepada individu pengikut
Ahmadiyah, tetapi juga pembubaran terhadap organisasi Jemaat Ahmadiyah
Indonesia. Saya sendiri sependapat bahwa isi SKB itu memang tidak
memuaskan. Kata “diberi perintah dan peringatan keras” sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 UU Nomor 1/PNPS/1965 telah dilunakkan menjadi
“memberi peringatan dan memerintahkan”.

Dibalik diterbitkannya SKB, nampak sekali sikap ragu-ragu Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono untuk membubarkan organisasi Jemaat Ahmadiyah
Indonesia. Padahal kegiatan Ahmadiyah di Indonesia bukan sekedar
kegiatan individu para penganutnya, tetapi suatu kegiatan yang
terorganisasikan melalui JAI. Organisasi ini terdaftar di Kementerian
Kehakiman RI sebagai sebuah vereneging atau perkumpulan
berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 13 Maret 1953.
Berdasarkan ketentuan Pasal (2) UU Nomor 1/PNPS/1965, apabila kegiatan
kegiatan penodaan ajaran agama itu dilakukan oleh organisasi, maka
Presiden dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakannya sebagai
“organisasi/aliran terlarang”, setelah Presiden mendapat pertimbangan
dari Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung.

Ketentuan Pasal 2 UU Nomor 1/PNPS/1965 di atas berbeda dengan
penjelasan Jaksa Agung Hendarman Supanji. SKB, menurut Hendarman, bukan
pembubaran atau pelarangan sebuah organisasi. Pemerintah tidak dapat
langsung membubarkan JAI, melainkan harus diperingatkan lebih dahulu.
Saya berpendapat sebaliknya, kalau kegiatan penodaan agama itu
dilakukan oleh individu, maka ketiga pejabat menerbitkan SKB
sebagaimana telah dilakukan. Namun jika penodaan itu dilakukan melalui
organisasi, maka Presidenlah yang harus membubarkan dan melarang
organisasi itu. Sebab bisa saja terjadi, kegiatan penodaan agama itu
hanya dilakukan oleh individu tanpa organisasi. Untuk kegiatan seperti
ini, Presiden tidak perlu menerbitkan keputusan pembubaran dan
pelarangan, cukup dengan SKB tiga pejabat tinggi itu saja.

Meskipun SKB telah diterbitkan, namun di dalam tubuh Pemerintah
sendiri terdapat silang pendapat yang cukup tajam. Dirjen Hak Asasi
Manusia Departemen Hukum dan HAM, Harkristuti Harkrisnowo menyesalkan
diterbitkannya SKB itu. Keputusan itu diambil, menurutnya, setelah
adanya demonstrasi besar-besaran yang dilakukan sejumlah ormas Islam di
depan Istana Negara, yang meminta Pemerintah membubarkan Ahmadiyah.
Pendapat Harkristuti sama saja dengan para penentang SKB lainnya, yang
menuduh Pemerintah mengalah kepada tekanan ormas-ormas Islam. SKB
menurutnya, seharusnya tidak diterbitkan. Ahmadiyah seharusnya tidak
dilarang “selama tidak menimbulkan konflik, tidak mengganggu dan tidak
menimbulkan reaksi” (Sinar Harapan, 10 Juni). Harkristuti juga
“mengutip” pendapat saya bahwa di Iran, Ahmadiyah diakui sebagai
kelompok minoritas “sehingga dibolehkan hidup dan tidak dibubarkan”.
Saya agak heran membaca pernyataan Dirjen HAM di atas. Sebagai
birokrat, semestinya dia tidak mengomentari keputusan politik
Pemerintah yang berisi sebuah kebijakan. Kalau dia mengatakan bahwa
Ahmadiyah tidak menimbulkan konflik, tidak mengganggu dan tidak
menimbulkan reaksi, sehingga tidak perlu dilarang, nampaknya Dirjen HAM
ini tidak mengikuti kontroversi seputar Ahmadiyah di negeri kita ini.
Pendapat saya yang dikutipnya hanya sepotong. Saya membenarkan
Ahmadiyah untuk diakui keberadaannya menurut hukum, sepanjang Ahmadiyah
itu menyatakan dirinya sebaga agama tersendiri. Dengan demikian,
keberadaan mereka dianggap sebagai minoritas non Muslim sebagaimana di
Pakistan (bukan Iran). Keberadaan dan aktivitas Ahmadiyah di negeri
kita ini, samasekali bukan persoalan kemerdekaan beragama sebagaimana
dijamin di dalam UUD 1945, tetapi persoalan penodaan ajaran agama Islam
yang dianut secara mayoritas oleh rakyat Indonesia.

Melalui paham yang dikembangkannya, serta kegiatan-kegiatan
keagamaannya, jelas bahwa Ahmadiyah telah menodai, mengganggu,
menimbulkan reaksi dan bahkan konflik di negeri kita ini. Kalau
Pemerintah bertindak tegas sesuai ketentuan-ketentuan dalam UU Nomor
1/PNPS/1965, bukanlah berarti Pemerintah mencampuri keyakinan
warganegaranya. Bukan pula berarti Pemerintah membatasi kemerdekaan
memeluk agama. Tindakan itu harus dilakukan untuk melindungi mayoritas
pemeluk agama Islam, yang merasa ajaran agamanya dinodai oleh paham dan
aktivitas Ahmadiyah. Negara harus bertindak untuk melindungi
warganegara, yang merasa keyakinan keagamaan mereka dinodai oleh
seseorang, sekelompok orang atau sebuah organisasi. Sebab itu, saya
berpendapat – sebagaimana telah saya kemukakan kepada umum – bahwa
keberadaan penganut Ahmadiyah, termasuk organisasi Jemaat Ahmadiyah
Indonesia tidak akan dipermasalahkan, jika mereka menyebut diri mereka
sebagai kelompok agama sendiri, yang berada di luar Islam.

SKB yang sudah diterbitkan oleh tiga pejabat negara itu, nampaknya
akan terus menuai kontroversi. Pro dan kontra masih akan terus
berlanjut. Pemerintah sendiri –seperti telah saya singgung di
atas–mempersilahkan mereka yang menolak SKB untuk memperkarakannya di
Mahkamah Konstitusi. Sepanjang pemahaman saya tentang tugas dan
kewenangan MK, lembaga itu bukanlah mahkamah yang dapat mengadili
sebuah SKB yang diterbitkan oleh pejabat tinggi negara, sepanjang ia
tidak menimbulkan sengketa kewenangan. SKB itu bukan pula obyek
sengketa tata usaha negara yang dapat dibawa ke Pengadilan Tata Usaha
Negara, karena sifatnya bukanlah putusan pejabat tata usaha negara yang
bersifat individual, kongkrit dan final. Kalau mau dibawa ke Mahkamah
Agung, boleh saja untuk menguji apakah SKB itu –kalau isinya bercorak
pengaturan—bertentangan atau tidak dengan undang-undang (yakni UU Nomor
1/PNPS/1965). Saya sendiri berpendapat, walaupun isi SKB itu tidak
memuaskan, namun SKB itu adalah kebijakan (beleid) Pemerintah, yang oleh yurisprudensi Mahkamah Agung, dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak dapat diadili.

Suatu hal yang juga ingin dilakukan oleh para penentang SKB dan
pembubaran Ahmadiyah, ialah keinginan untuk memohon uji materil
terhadap UU Nomor 1/PNPS/1965 ke Mahkamah Konsitusi. Kalau itu
dilakukan, maka MK akan memanggil Presiden dan DPR selaku termohon,
untuk hadir di persidangan MK. Di sinilah adu argumentasi akan terjadi,
untuk memutuskan apakah UU Nomor 1/PNPS/1965 itu bertentangan dengan
UUD 1945 atau tidak. Kalau ini terjadi, saya mengatakan kepada para
wartawan di Medan, saya bersedia menjadi kuasa hukum Presiden
atau DPR untuk menghadapi permohonan uji materil itu, kalau mereka
memintanya.

Persoalan Ahmadiyah kini bukan saja menjadi persoalan dalam negeri
kita, tetapi telah mendunia. Sidang Dewan HAM PBB di Jenewa
mempertanyakan masalah ini. Cukup banyak negara, yang melarang
Ahmadiyah, termasuk Malaysia dan Brunei Darussalam.Kita memang perlu
memberikan penjelasan komprehensif mengenai Ahmadiyah ini, baik dari
perspektif hukum nasional kita, maupun dari perspektif hukum
internasional mengenai hak asasi manusia. Penjelasan itu tidak akan
lari dari prinsip yang saya kemukakan, yakni persoalan Ahmadiyah akan
selesai jika mereka dianggap sebagai agama di luar Islam dan
penganutnya bukan lagi dianggap sebagai Muslim. Dengan demikian,
hak-hak konstitusional mereka di negeri ini akan dijamin sepenuhnya
sebagaimana warganegara yang menganut agama lainnya.

Wallahu’alam bissawwab

Posting Komentar

0 Komentar