KINERJA Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menyiapkan Pemilu 2009 kembali diuji. Kali ini, yang paling mendapatkan sorotan adalah soal daftar pemilih tetap (DPT).
Bermula dari dugaan penggelembungan DPT di Kabupaten Sampang dan Bangkalan terkait pemilihan kepala daerah (pilkada) di Jawa Timur (Jatim), kini kisruh mengenai DPT merembet ke sejumlah daerah lain seperti Ngawi, Pacitan, Magetan, dan Trenggalek; bahkan meluas pula di provinsi-provinsi lain.
Di Jawa Tengah, misalnya, Panwaslu Jateng menemukan tak kurang dari 1.162 nama ganda termuat dalam DPT yang tersebar antara lain di Kabupaten Sragen,Wonosobo, Batang, Tegal,Blora, dan Kota Pekalongan.
Bukan mustahil, hal ini merata terjadi seluruh wilayah Indonesia yang karena kealpaan petugas penyelenggara pemilu, DPT untuk Pemilu Legislatif 2009 tidak valid dan tidak akurat karena memuat nama ganda,nomor induk kependudukan (NIK) ganda,penduduk belum cukup umur,telah meninggal dunia, pindah domisili, ataupun memuat anggota TNI/kepolisian RI.
Mencermati silang-sengkarut DPT yang terjadi belakangan ini,tak ber-lebihan jika masalah ini boleh jadi akan menjadi sengketa paling besar dalam Pemilu 2009.Terutama sekali gugatan yang akan dilakukan partai-partai politik ataupun caleg yang tidak diuntungkan dalam kompetisi politik lima tahunan ini.
Terlepas dari kemungkinan interes politik subjektif tersebut, DPT yang tidak valid berpotensi menimbulkan masalah serius yang dapat memengaruhi legitimasi pemilu.Jika terjadi gugatan terhadap kecurangan hasil perhitungan suara, misalnya,KPU akan kesulitan mengusut selisih suara karena jumlah pemilih di DPT tidak sesuai dengan jumlah pemilih sebenarnya.
Padahal, sama-sama kita tahu, hasil pemilu akan sangat rawan gugatan baik karena adanya indikasi kecurangan proses ataupun karena sistemnya yang rumit lantaran menyangkut perhitungan partai dan calon legislatif.
Selain itu, pemilu juga akan dihadapkan pada kemungkinan tingkat partisipasi (participation rate) masyarakat yang rendah karena seberapapun maksimal mereka menggunakan hak pilih, persentasenya tentu jauh di bawah angka pemilih di DPT.Kemungkinan yang paling buruk,sisa suara yang ada di TPS--karena selisih pemilih di DPT dengan pemilih sebenarnya-- berpotensi menjadi objek transaksi penyelenggara dan peserta pemilu.
Mengurai Sebab
Pangkal penyebab kekisruhan DPT adalah sumber data dan proses verifikasi yang lemah. Daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang diberikan Depdagri dan menjadi dasar KPU menyusun daftar pemilih merupakan data yang buruk kualitasnya. Ini terjadi karena masalah administrasi kependudukan kita belum tertata dengan baik,belum mampu mengantisipasi berbagai persoalan kependudukan secara komprehensif seperti kepemilikan KTP ganda, kepindahan domisili, up date kelahiran atau kematian,dan sebagainya.
Padahal, sistem Pemilu 2009 dibangun dengan asumsi masalah administrasi kependudukan telah tertangani dengan baik. Itu pula yang menjelaskan mengapa dalam Pemilu 2009 masyarakat tidak lagi menggunakan kartu pemilih sebagai identitas unik yang membedakannya dengan KTP.
Sementara sumber datanya bermasalah, proses pemutakhiran data yang dilakukan KPU juga tidak maksimal; baik karena petugas lapangan (PPS dan PPDP) terlambat terbentuk ataupun karena keterlambatan pencairan dana sehingga kinerjanya tidak efektif.Menurut hasil audit LP3ES terhadap DPS (Agustus 2008) terungkap, sebagian besar petugas (65,9%) mengaku belum melakukan proses pencocokan dan penelitian (coklit).
Padahal coklit merupakan proses penting untuk memperbaiki kualitas data pemilih (DP4), yang menurut jadwal seharusnya berlangsung dari 7 Juni-20 Juli 2008. Jadi, sumber data yang bermasalah yang tidak pula disertai verifikasi, sekali lagi,menjadi sebab pokok kekisruhan DPT sekarang ini.Sebab lain,partai politik yang menerima salinan data pemilih juga tidak melakukan pengecekan lapangan.
Indikasi Dini Ketidakakuratan Daftar Pemilih
Kisruh DPT yang terjadi belakangan ini sebenarnya mengonfirmasi hasil audit LP3ES pada Agustus 2008 terhadap daftar pemilih yang saat itu masih berstatus sementara (DPS).Audit dilakukan secara dua arah, yakni dengan mencocokkan nama dari daftar pemilih ke masyarakat (list-to-people test) dan sebaliknya mewawancarai sejumlah orang untuk dicocokkan daftar pemilih (peole-to-list test) serta melibatkan lebih dari 7.800 responden di seluruh wilayah Indonesia.
Selain menemukan 20,8% pemilih belum terdaftar melalui tes people-to-list, sebaliknya melalui tes list to people,audit juga menemukan 19,8% nama yang terdapat di dalam daftar tidak lagi bertempat tinggal di alamat tersebut,baik secara permanen maupun sementara waktu.Audit juga menemukan 3,3% nama tidak valid, yakni nama yang seharusnya tidak terdaftartetapiadad alamdaftarkarena telahmeninggal dunia, nama dan alamat tidak dikenal, serta orang yang tidak memiliki hak pilih (kurang dari 17 tahun pada saat pemilu berlangsung dan Anggota TNI/Polri).
Memang, KPU kemudian mengundurkan jadwal pendaftaran pemilih,dari jadwal penyusunan DPS yang semula 8-21 Agustus dimundurkan sampai 8 September 2008. Demikian pula penetapan DPT dimundurkan guna mengakomodasi kemungkinan belum terdaftarnya sejumlah orang sesuai data audit LP3ES.
Dalam kaitan kisruh DPT belakangan ini,apa yang ramai dibicarakan orang yang disebut sebagai penggelembungan pemilih ini sebenarnya menunjuk pada hasil tes list to people di mana terdapat 19,8% orang yang sudah pindah atau bahkan tidak valid (3,3%).Inilah yang seharusnya diverifikasi KPU.
Jika verifikasi atau pemutakhiran data dilakukan dengan benar dan konsisten, sebenarnya dugaan adanya penggelembungan daftar pemilih tersebut tidak terjadi atau setidaknya dapat ditekan. Pilihan terhadap penggunaan prinsip de jure atau de facto dalam pendataan pemilih juga menjadi penentu seberapa banyak data tidak valid termuat dalam DPT. Prinsip de jure mengacu pada penggunaan alamat yang terdapat di KK atau KTP sebagai dasar tempat pendaftaran, sementara de facto menggunakan alamat faktual di mana pemilih itu tinggal.
Terkait dengan penerapan prinsip de facto dan de jure ini, hasil audit LP3ES menunjukkan, responden yang mengaku memiliki rumah di tempat lain (8%) ternyata mereka juga memiliki KTP di alamat tersebut (29%). Jika prinsip de jure diterapkan, kepemilikan KTP ganda ini bisa berimplikasi pada terdaftarnya seseorang di lebih dari satu tempat. Sebaliknya jika prinsip de facto diterapkan, revisi yang cukup besar perlu dilakukan terhadap daftar pemilih untuk memverifikasi domisili mereka yang sebenarnya.
Partai Politik pun Punya Andil
Sejumlah pengamat mengemukakan, kisruh DPT bukanlah semata-mata kesalahan KPU.Sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang memiliki otoritas menentukan DPT,porsi terbesar kealpaan bisa ditujukan ke KPU.
Namun, partai politik juga memiliki andil terhadap kualitas DPT karena mereka adalah pihak yang juga menerima salinan DPS untuk diverifikasi sebelum ditetapkan menjadi DPT. Sayangnya, pada awal DPS diumumkan, partai politik seperti acuh tak acuh dengan data penting tersebut.Peluncuran hasil audit daftar pemilih yang dilakukan pada 20 Agustus 2008 ibarat menampar angin.
Meski media massa memberitakan secara masif, tak ada satu pun respons dari partai politik.Perhatian mereka, pada saat yang sama, lebih tersedot untuk mengurusi pencalegan masingmasing. Maka tak aneh jika munculnya kekisruhan ini belakangan, meminjam perspektif Ikrar Nusa Bhakti,tak lebih sebagai sikap yang ingin menuai suara sebanyak mungkin tanpa mau "berkeringat" turun ke bawah.
Bagaimana Sebaiknya?
Bagaimanapun kisruh DPT harus diselesaikan. Ada baiknya KPU, pemerintah, dan partai politik duduk bersama untuk mencari jalan keluar agar masalah DPT ini tidak berlarut-larut dan menjadi batu sandungan dalam pelaksanaan pemilu. Yang ideal,KPU sebaiknya melakukan verifikasi ulang atas DPT, terutama pada wilayah-wilayah yang diduga terjadi penggelembungan.
Namun, mengingat pelaksanaan pemilu tinggal menghitung hari, sepertinya langkah ini tidaklah visibel.Verifikasi lapangan yang membutuhkan waktu akan memunculkan spekulasi pengunduran jadwal pemilu. Padahal, opsi ini dipandang banyak kalangan membahayakan karena pasti akan mengganggu jadwal pelaksanaan pilpres,Juli mendatang.
Yang paling praktis, sebagaimana juga telah diungkapkan Anggota KPU,adalah mencoret nama-nama tidak valid dalam DPT dan ini bisa dilakukan PPS setempat karena mereka yang paling mengerti situasi dan kondisi lapangan. Hanya saja, KPU memerlukan payung hukum agar tindakan mencoret nama-nama tidak valid dalam DPT ini dapat dibenarkan, tidak mengundang polemik berkepanjangan dan berpotensi menjadi sumber gugatan atau sengketa pemilu. Lagilagi, ini adalah tantangan dan batu ujian bagi KPU untuk kesekian kalinya.Mudah- mudahan mereka mampu! (*)
Fajar Nursahid
Kepala Divisi Penelitian LP3ES Jakarta, Team Leader LP3ES untuk Audit Daftar Pemilih Pemilu 2009
0 Komentar