Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Benarkah Ajaran Syiah Mempengaruhi Tradisi Keraton Dan Budaya Jawa?

Muslimdaily.net - Beberapa hari lalu, saya menemukan sebuah artikel yang membahas tentang pengaruh Syiah dalam kebudayaan Jawa. Dikatakan bahwa Syiah telah memiliki sejarah panjang di Pulau Jawa. Menurut artikel itu, ada beberapa indikasi yang bisa dilihat dari peninggalan bukti-bukti pengaruhnya terhadap tradisi setempat, diantaranya:
  • Dalam Babad Tanah Jawi dikatakan, Ki Ageng Pengging shalat dengan meletakkan tanah di tempat sujudnya. Disebutkan, tanah tersebut merupakan tanah Karbala yang telah tertumpah darah Husein. Ki Ageng Pengging punya 2 anjing yang selalu diumpat & dilemparinya dengan batu bila sedang marah. Dua anjing itu diberi nama “Ngabu Bakar” & “Ngumar”.
  • Dikatakan pula bahwa berdasar Babad Tanah Jawi , aqidah Wihdatul Wujud dari Syaikh Siti Jenar, guru Ki Ageng Pengging, sebenarnya bungkus, sebagaimana Syiah Ghullat meyakini emanasi & manifestasi Allah SWT pada jasad para Imam.
  • Selanjutnya dibahas tentang asal mula Banyuwangi yang dihubungkan dengan kisah Prabu Brawijaya V dan Sunan Kalijaga dan seterusnya hingga sampai pada pembahasan tentang budaya Jawa pada bulan Sura yang diindikasikan sebagai hasil pengaruh Syiah. Beberapa wujud kebudayaan dikatakan sebagai i’tiqad Syiah yang diwariskan secara halus. Di Solo masih ada Gerebeg Sura (Muharram); sedang di Yogyakarta tidak ada; hanya Gerebeg Maulid, Gerebeg Besar (‘Idul Adha), dan Gerebeg Syawal (Idul Fitri). Dan orang Jawa secara umum, enggan menikahkan anaknya di Bulan Sura (Muharram); sebab Sura adalah bulan duka, meratapi Al Husain.
Beredar luasnya artikel-artikel semacam ini, menurut saya, cukup mengkhawatirkan, khususnya bagi para pembaca yang belum bisa menyaring informasi. Seluruh argumentasi pada artikel yang disebut sebagai bukti dan indikasi pengaruh Syiah dalam budaya Jawa dan tradisi Keraton tersebut, menurut saya tidak ada yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Berikut beberapa komentar saya terhadap beberapa poin penting yang dibahas pada artikel tersebut:
Anjing Ki Ageng Pengging
Kisah tentang anjing milik Ki Ageng Pengging yang diberi nama dua sahabat Nabi SAW memang kadang ditemukan dalam cerita tutur. Namun jika dikatakan bahwa kisah tersebut bersumber dari Babad Tanah Jawi, maka yang menjadi pertanyaan adalah versi Babad Tanah Jawi yang mana.
Dalam salah satu versi cerita tutur yang lain (bagian dari Suluk Malang Sumirang) dikatakan, kedua anjing tersebut dinamakan Ki Tokid (Tauhid) dan Ki Iman, bukan Ngabu Bakar dan Ngumar. Lantas versi mana yang benar? Ini hanya cerita tutur atau babad. Memverifikasi kebenaran berdasarkan cerita semacam ini tentunya tidak bisa menjadi dasar kuat sebuah argumentasi, bahkan menjadi persoalan tersendiri bagi kita. Perlu dipahami, cerita tutur bisa bertutur tentang apa saja dan menurut kepentingan siapa pun orangnya.

Perlu diketahui bersama, Babad Tanah Jawi  memiliki sejumlah versi. Semua versi Babad Tanah Jawi  yang populer sudah saya miliki. Namun, setelah membaca ulang berbagai versi tersebut saya tidak menemukan kisah kedua anjing tersebut. Demikian juga cerita tentang Ki Ageng Pengging shalat dengan menggunakan segumpal tanah Karbala juga tidak saya temukan dalam beberapa versi Babad Tanah Jawi. Kisah tentang Ki Ageng Pengging tersebut justru terdengar sangat ganjil.
Dari berbagai versi babad  yang ada justru ditemukan bahwa ajaran manunggaling kawula lan gusti yang dianut oleh Ki Ageng Pengging menunjukkan gejala yang sama dengan pemahaman yang dianut al Hallaj. Pada akhirnya, Ki Ageng Pengging mengaku dirinya telah menyatu dengan hakikat Tuhan itu sendiri.

Bahkan di dalam Babad Tanah Jawi yang ada justru menunjukkan indikasi, Ki Ageng Pengging mengamalkan suatu aliran tasawuf yang telah mengalami sinkretisme dengan tradisi kabudan. Jangankan shalat dengan tanah Karbala, Ki Ageng Pengging justru menjalani ritual pertapaan sebagaimana kalangan yang terpengaruh Indianisasi. Ia tak lagi menjalankan ibadah shalat dengan alasan bahwa Tuhan tidak perlu menyembah dirinya sendiri.
Pertanyaannya, apakah perilaku dan ajaran semacam ini mirip dengan konsepsi Syiah? Menurut saya, ini lebih mengarah pada ajaran tasawuf yang menyimpang.

Asal Usul Banyuwangi
Dalam sejumlah babad dikatakan, nama Banyuwangi terbentuk ketika Sunan Kalijaga melakukan perjalanan mengejar Prabu Brawijaya. Prabu Brawijaya ditawari menganut ajaran Islam. Sang prabu lantas menunjuk air yang dia bawa, jika air itu berbau harum maka Islam adalah ajaran yang benar dan ia akan menjadi penganutnya. Ternyata air itu berbau harum maka masuk Islam-lah sang raja Majapahit itu. Tempat pertemuan itu lantas diberi nama BANYUWANGI yang artinya “air harum”.

Benarkah cerita semacam itu bisa dipertanggungjawabkan? Tentu saja tidak. Banyuwangi baru terbentuk pasca VOC melenyapkan eksistensi Blambangan dan terjadi proses Islamisasi di sana. Kalau melihat hari jadi Banyuwangi yang baru dimulai 18 Desember 1771, kita akan menyadari bahwa kota ini masih “relatif” muda untuk dihubungkan dengan era dimana Brawijaya atau Sunan Kalijaga hidup.

Bagi pembaca yang tertarik mencari informasi seputar berdirinya Banyuwangi, disarankan membaca buku: Sri Margana, Ujung Timur Jawa 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan, Yogyakarta: Ifada, 2012.

Grebeg Sura indikasi pengaruh Syiah?
Mengapa tradisi Grebeg Sura hanya ditemui di Surakarta, sementara di Keraton Yogyakarta tidak ada? Hal ini justru menunjukkan bahwa wujud kebudayaan ini bukan berasal dari era Mataram. Artinya, tradisi ini tergolong baru. Negara-negara kerajaan kecil yang berkiblat kepada Mataram lainnya seperti Mangkunegaran dan Pakualaman nyatanya juga tidak melaksanakan.

Kalau hal tersebut lantas dihubungkan sebagai pengaruh Syiah, maka pertanyaannya, sejak kapan?
Menurut penelitian, Grebeg Sura termasuk budaya Keraton Surakarta yang tergolong baru. Grebeg semacam ini baru mulai dilaksanakan sekitar tahun 1974 pasca Peristiwa Malari Singkatnya, tradisi Grebeg Sura sejatinya “kreasi’’ Jendral Soejono Hoemardhani, guru spiritual” Presiden Soeharto pasca gejolak politik yang kemudian meletuskan Peristiwa Malari tahun 1974. Asisten pribadi (aspri) Soeharto itu sowan ke Keraton Kasunanan Surakarta. Kepada Pakubuwono XII, ia meminta “laku ritual tolak balak” untuk meredam gejolak politik di Ibukota agar tak meluas ke Indonesia.
Pihak Keraton kemudian memilih bulan Sura dengan upacara kirab pusaka untuk ritual keselamatan tersebut. Salah satu pusaka (senjata) yang dikeluarkan bernama Kyai Slamet. Sayangnya banyak masyarakat Jawa yang salah paham. Kerbau bule itulah yang dikira sebagai Kyai Slamet. Maka tak heran jika kerbau itu dianggap sebagai hewan keramat dan kotorannya diperebutkan dalam upacara kirab (baca lebih lanjut di Asisten Pribadi Soeharto di Balik Kirab 1 Suro).
Jadi apa hubungannya dengan kehadiran Syiah? Tidak ada.

Asal Usul Kerbau Bule Keraton Surakarta
Kerbau bule awalnya merupakan hewan klangenan (kesayangan) Sunan Pakubuwana II di Keraton Kartasura. Kerbau itu merupakan hadiah dari Belanda yang didatangkan dari Australia. Ketika terjadi Geger Pecinan, istana Keraton Kartasura diserang pasukan Cina yang dipimpin RM. Garendi alias Sunan Kuning. Pakubuwana II melarikan diri ke Ponorogo dan dilindungi Kyai Kasan Besari di Pondok Pesantren Tegalsari. Kerbau kesayangannya tidak ikut terbawa dan tidak ketahuan nasibnya.
Bupati Ponorogo lantas menghadiahkan kerbau bule yang mirip dengan milik Sunan. Entah darimana sang bupati mendapatkannya. Begitu kembali ke Kartasura ketika keraton berhasil direbut kembali, kerbau juga ikut dibawa. Tetapi Kartasura sudah porak-poranda dan tidak memungkinkan digunakan sebagai pusat pemerintahan lagi. “Ilang wahyune” atau “koncatan wahyu” kalau dalam istilah Jawa. Maka didirikanlah Keraton di wilayah milik Ki Gede Sala. Kebetulan di wilayah ini banyak tumbuh pohon Sala. Kerbaunya lantas ditempatkan di salah satu kandang yang dibuat.

Takut Nikah Di Bulan Sura
Dalam artikel yang say abaca itu dikatakan, masyarakat Jawa enggan menikahkan anaknya pada bulan Sura (Muharram), sebab bulan Sura adalah bulan duka meratapi kematian Al Husein. Benarkah?

Faktanya, justru Keraton di masa lalu selalu melaksanakan pernikahan pada bulan Sura. Ketika Keraton melaksanakan pesta pernikahan, banyak rakyat berdatangan dari berbagai penjuru untuk menyaksikan. Saat-saat perhelatan semacam ini, Keraton menjadi sangat pemurah. Banyak makanan dan sedekah diberikan kepada rakyat. Menurut ahli Javanologi simbah Karkono Partakusuma alias Kamajaya, Keraton melaksanakan pernikahan pada bulan Sura karena meyakini bahwa Sura merupakan bulan yang baik dan memiliki keutamaan.

Tradisi Keraton tersebut pada perkembangannya kemudian memunculkan persepsi bahwa Sura adalah bulan pernikahan bagi anggota Keraton. Sehingga rakyat kecil mempersepsikan bahwa pada bulan Sura, rakyat kecil tak boleh melakukan pesta pernikahan. Ditakutkan, kalau nekad, mereka akan terkena tulah. Dalam pemikiran rakyat pada masa itu, Keraton adalah pusat mistis.
Bagaimana hubungannya dengan Syiah? Tidak ada. Wallahu a’lam bishshawab. [28 Februari 2015]
Penulis: Susiyanto
Kandidat Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibnu Khaldun – Bogor
Sumber: http://www.muslimdaily.net/artikel/benarkah-ajaran-syiah-mempengaruhi-tradisi-keraton-dan-budaya-jawa.html#

Posting Komentar

0 Komentar