Pertengahan Mei 2009 lalu, Wahid Institut, Ma’arif Institut, dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika disokong penuh LibForAll meluncurkan buku kontroversial, Ilusi Negara Islam. Pada cover buku itu tertulis nama-nama pesohor negeri ini. Ada Gus Dur yang ditulis sebagai editor, Syafi’i Ma’arif dan Mustofa Bishri yang masing-masing memberikan prolog dan epilog. Buku ini juga semakin ‘gagah’ dengan mencantumkan nama-nama peneliti bergelar doktor dan master dari Jogja dan Jakarta yang rata-rata aktivis muda NU dan Muhammadiyah. Mungkin nama-nama itu sengaja dicantumkan agar buku ini semakin terkesan “ilmiah”.
Belum lama buku ini terbit, tiba-tiba para peneliti Jogja yang dicantumkan namanya dalam buku tersebut menyatakan tidak bertanggung jawab atas terbitnya buku ini (www.republika.co.id, 26/5/09). Ormas-ormas Islam yang namanya dicatut dalam buku itu seperti HTI pun segera malayangkan protes keras atas apa yang ditulis di dalamnya. (www.detik.com, 22/5/09).
Protes-protes semacam itu sangat wajar. Bahkan mestinya lebih dari itu. Pasalnya, isi buku itu sangat penuh dengan fitnah dan adu domba. Kesan ilmiah yang hendak dibangun pada awal buku ini sampai di akhir sulit ditemukan. Yang ada justru klaim-klaim sepihak, fakta yang tidak berdasar dan cenderung dipaksakan, dan kesan ingin mengadu-domba antara elemen umat sangat kental.
Fitnah Terhadap Wahabi
Kesan ilmiah pertama yang runtuh dengan sendirinya adalah saat penulis buku ini memaparkan apa itu Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir. Ketiganya dipaparkan, namun yang menjadi titik bidik utama adalah Wahabi. Sudah diduga sejak awal bahwa untuk mencari-cari fitnah terhadap gerakan Wahabi, satu-satunya rujukan klasik yang dipakai adalah tulisan Ahmad Zaini Dahlan, Mufti Mekah bermazhab Syafi’i, dalam kitabnya Ad-Durar Al-Sunniyyah fi Al-Radd ‘ala Al-Wahhabiyah atau Al-Shawâ’iq Al-Ilahiyyah fi Al-Radd ‘ala Al-Wahhabiyah yang diklaim sebagai tulisan kakak kandung Ibn Abdul Wahab, Sulaiman ibn Abdul Wahab.
Sangat disayangkan bahwa sebagai sebuah karya yang diklaim “ilmiah” sama sekali tidak menggunakan rujukan bandingan, baik yang ditulis sendiri oleh Syaikh Muhmmad ibn Abdul Wahhab maupun para penulis lain. Padahal, cukup banyak buku yang secara langsung membantah tulisan Syaikh Dahlan dan Syekh Sualiman ini. Salah satu yang paling penting adalah Shiyânah Al-Insân ‘an Waswasati Syaikh Dahlân karangan Syaikh Muhammad Basyir Al-Sahsawani Al-Hindi; atau Al-Durar Al-Sunniyyah fi Al-Ajwibah An-Najdiyah yang ditulis secara kolektif oleh para ulama Nejd sendiri.
Kalaupun sulit ditemukan buku sekunder semacam di atas, sebetulnya pemikiran Muhammad ibn Abdul Wahhab dapat dengan mudah dirujuk langsung. Kitab-kitab karangan Ibn Abdul Wahhab dan syarah-nya di Indonesia sangat mudah ditemukan. Di toko-toko buku umum pun masih banyak ditemukan Bahkan terjemahannya dapat diperoleh dalam berbagai edisi. Amat mengherankan, tidak satupun kitab-kitab Ibn Abdul Wahhab yang dirujuk. Padahal yang hendak diteliti adalah pemikirannya.
Dari sisi fakta-fakta sejarah mengenai sepak terjang Syaikh Abdul Wahhab, sangat disayangkan bahwa ‘Uyûn Al-Majd fî Târikh Najd yang dijadikan rujukan tidak dibaca secara utuh. Padahal, kitab ini pun sesungguhnya dapat mengklarifikasi sebagian fitnah yang dituduhkan pada Syaikh Ibn Abdul Wahhab. Semakin disesalkan lagi, buku-buku sejarah Nejd sezaman tidak juga dirujuk semisal Târikh Nejd karangan As-Sayyid Mahmud Syukri Al-Alusi. Dari sisi penulisan sejarah, cara-cara seperti ini jelas menyalahi prosedur standar penulisan sejarah ilmiah.
Pengambilan sumber secara sepihak seperti ini juga patut “dicurigai” jangan-jangan memang bukan kebenaran yang hendak dicari, melainkan provokasi. Kesan seperti ini sangat sulit dihindari. Oleh sebab itu, sangat wajar bila para peneliti yang diklaim dalam buku ini menyatakan tidak bertanggung jawab atas terbitnya buku ini.
Di antara fitnah yang paling menyakitkan dan paling tidak mendasar atas Syaikh Ibn Abdul Wahhab tertulis dalam buku ini sebagai berikut.
“Ringkasnya, sikap dan kesukaan Wahabi sejak awal gerakannya, selain membunuh dan merampas kekayaan wanita juga termasuk menghancurkan kuburan dan peninggalan-peninggalan bersejarah; mengharamkan tawasul, isti’ânah, dan istighâtsah; tabarruk, syafâ’at, dan ziyarah kubur; membakar buku-buku yang tidak sejalan dengan paham mereka; memvonis musyrik, murtad, dan kafir siapapun yang melakukan amalan-amalan yang tidak sesuai dengan ajaran Wahabi, sekalipun sebenarnya tidak haram….” (hal. 69).
Kesimpulan seperti sudah banyak dibantah. Gambaran pengikut ajaran Ibn Abdul Wahhab seperti ini sesungguhnya hanya mitos belaka. Tidak satu pun ada yang punya fakta meyakinkan, terutama menyangkut kekerasan dan kekejian Ibn Abdul Wahab dan para pengikutnya.
Kalaupun ada pendapat-pendapat Syaikh Ibn Abdul Wahab yang berbeda dengan pendapat ulama lain, itu hal yang wajar belaka. Bukankah ikhtilâf dan perbedaan pendapat adalah biasa di kalangan para ulama? Seandainya tidak setuju dengan pendapat Ibn Abdul Wahhab kemudian memfitnah beliau dan pengikutnya melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, jelas ini sesuatu yang sangat naif. Apalagi sampai menuduhnya Khawarij dan penyebar malapetaka di Nejd.
Adu Domba Umat Islam
Semakin kelihatan tidak ilmiahnya buku ini akan dirasakan pembaca setalah semakin dalam membaca halaman demi halaman buku ini. Kesan ingin “mengadu” antar-kelompok umat Islam, terutama di Indonesia, begitu kuat ketika buku memasuki penjelasan infiltrasi Wahabi dan kelompok transnasional lain (Ikhwanul Muslimin dan Hizbut-Tahrir) ke Indonesia.
Di Indonesia kelompok-kelompok ini direpresentasikan oleh PKS, HTI, dan beberapa kelompok Wahabi (Salafi). Dan kemudian gerakan-gerakan ini menyusup ke berbagai ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, dan MUI. Sementara agen yang dianggap paling bertanggung jawab adalah DDII yang didirikan M. Natsir tahun 1967. Melalui kader-kader DDII inilah penyusupan terjadi. (hal. 75-79).
Penyusupan ini dianggap sebagai bahaya besar, sampai-sampai di cover belakang buku ini ditulis, “Merespon gerakan ini, Muhammadiyah menerbitkan SKPP No. 149/Kep/I.0/B/2006 untuk menyelamatkan Persyarikatan dari infiltrasi partai seperti PKS. Nahdhatul ulama juga mengeluarkan fatwa bahwa Khilafah Islamiyah tidak memiliki rujukan teologis, baik di dalam al-Quran maupun Hadis. PBNU mengingatkan bahwa ideologi transnasional berpotensi memecah belah bangsa Indonesia dan merusak amaliyyah diniyyah umat Islam.”
Dalam salah rekomendasinya buku ini menyarankan agar umat Islam, terutama ulama dan ormas-ormas Islam, membersihkan organisasinya (NU, Muhmmadiyah, MUI) dari infiltrasi kelompok yang dianggap berbahaya ini. Sebab, kalau dibiarkan umat Islam di Indonesia ini akan berubah menjadi bangsa yang beringas, tidak toleran, dan senang dengan kekerasan.
Bahasa-bahasa semacam itu ditemukan hampir pada setiap bab. Kebencian penulis buku ini terhadap gerakan-gerakan seperti Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut-Tahrir begitu kentara dan tidak bisa ditutup-tutupi. Bahkan, bagi mereka keberadaan kelompok-kelompok ini kelihatannya dianggap lebih berbahaya daripada beberapa kelompok agama lain (baca: Kristen dan Katolik) yang masih begitu getol melakukan pemurtadan (Kristenisasi) terhadap umat Islam di berbagai pelosok negeri ini.
Jelas nada-nada kalimat seperti di atas, bukan bahasa-bahasa ilmiah sama sekali, melainkan bahasa-bahasa provokasi. Apalagi tujuan buku seperti ini kalau bukan untuk mengadu domba dan memecah belah umat Islam agar saling bersitegang dengan suadaranya sendiri. Dulu umat “diobok-obok” dan diadu domba dengan isu tradisionalis-modernis, NU-Muhammadiyah. Kini setelah sebagian besar umat Islam mulai sadar akan kekeliruan itu, pihak-pihak yang tidak senang terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan persatuan antar-umat Islam mulai menghembuskan isu baru untuk memecah kembali umat Islam, yaitu isu Wahabi dan non-Wahabi. Wallâhu A’lam.
Tiar Anwar Bachtiar, S.S., M.Hum. (Dosen STAI Persatuan Islam Garut)
0 Komentar