Menyebut kata dakwah pikiran kita langsung tertuju pada ustadz, ulama, atau tokoh agama yang giat menyerukan hal-hal yang berbau agama dan urusan akhirat. Selain itu juga, kata dakwah lebih dekat kepada pekerjaan laki-laki. Perhatikan saja di sekeliling kita. Lebih banyak mana pendakwah dari kalangan laki-laki atau perempuan? Atau selama Ramadhan di layar TV terdapat acara tausyiah sebelum berbuka, teryata para pematerinya lebih banyak laki-laki. Jika pun ada dari perempuan hanya satu-dua orang.
Tidak hanya itu, kalau kita lihat banyak sekali buku-buku Islami yang berjejer di lemari toko buku, ternyata kebanyakan dikarang oleh laki-laki. Sedangkan penulis perempuan hanya beberapa persen saja. Atau coba kita baca kitab-kitab hadis, kebanyakan para rawi yang meriwayatkan hadis didominasi oleh laki-laki. Lagi-lagi perempuan berbanding jauh dengan laki-laki.
Pertanyaannya sekarang, di mana eksistensi perempuan dalam penyebaran dakwah dan ajaran Islam? Apakah dakwah hanya menjadi tugas laki-laki selaku pemimpin? Padahal, tugas amar ma’ruf nahyi munkar merupakan beban laki-laki maupun perempuan, sebagaimana disebutkan dalam QS Fushshilat ayat 33.
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapa yang lebih baik perkataannya dari orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata: sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.”
Bayak perempuan yang enggan mengemban kewajiban dakwah ini karena merasa laki-laki lebih berhak dan lebih pantas untuk melakukannnya. Selain mereka mempunyai fisik yang kuat para laki-lakipun cenderung memiliki pengetahuan yang banyak dan keberanian yang besar.
Adakalannya pekerjaan rumah yang menumpuk, tanggung jawab selaku istri dan selaku ibu yang menuntut untuk selalu siap sedia, izin suami yang susah didapat mejadi alasan yang sulit terbantahkan. Apalagi terdapat hadis Nabi Saw. yang menjelaskan bahwa suara wanita termasuk aurat yang mesti dijaga dari orang-orang yang mempunyai penyakit hati. Belum lagi kendala yang bersifat pribadi seperti rasa malu dan krisis kepercayaan diri yang sulit diubah.
Alasan-alasan seperti di atas merupakan permasalahan yang menjadi titik krusial pada diri seorang perempuan yang mempunyai kesadaran terhadap kewajiban berdakwah. Akan tetapi, secara garis besar masalah tersebut lahir dari pola pikir kaum wanita sendiri yang kadang terpaku pada metode dakwah yang bersipat bil-lisan atau bil-qaul yang menuntut untuk ceramah di muka umum atau menghadiri majlis-majlis pengajian.
Padalah, secara bahasa dakwah berarti mengajak manusia menuju kepada Allah Swt. Adapun metode yang digunakan tidak hanya bil-lisan. Kita juga bisa menggunakan dakwah bil-af’al wa bil-ahklaqil-karimah, bil-kitab, atau metode yang lainnya.
Dakwah bil-af’al merupakan dakwah yang melibatkan perbuatan nyata, yang dapat langsung dirasakan oleh obyek dakwah. Misalnya menjenguk tetangga yang sakit, shalat berjama’ah di mesjid, mengikuti pengajian, ikut andil dalam kegiatan sosial, berempati terhadap orang lain dengan membantu kesusahan mereka, serta perbuatan-terpuji lainnya.
Kemudian dakwah bil-ahlakil-karimah juga dapat dijadikan metode yang ehektif. Menjadi Islam bukan hanya dinilai dari penampilan atau simbol yang dipakai seseorang serta antusiasme mereka untuk mendakwahkan Islam dengan lisan. Ada hal yang juga sangat mendasar yang juga akan berfungsi sebagai dakwah terhadap orang lain, yaitu mempraktikkan akhlak mulia dan terpuji (akhlâq al-karîmah) yang merupakan misi utama dakwah Nabi Saw.
Bagi dakwah, hal ini sangat penting karena orang lain akan lebih dulu melihat akhlah yang dimiliki seorang pendakwah sebelum mendengar ucapan-ucapannya. Beberapa di antara akhlak yang mesti disandang seorang muslimah, sebagai contoh, antara lain: jujur, menepati janji, tidak sombong, menjauhi sifat ananiyah (egois), tidak meremehkan orang lain, tidak riya, murah senyum, dermawan, tawadhu, tidak membuang muka, dan akhlak terpuji lainnya. Sifat-sifat ini sangat penting dan akan dilihat oleh orang. Kalau ini tidak dinmiliki sebaik apapun ceramah disampaikan atau tulisan dibuat tidak akan banyak berefek. Dengan demikian, memiliki akhlak karimah adalah salah satau cara yang efektif pula untuk keberhasilan dakwah.
Dua metode tersebut merupakan bagian dari metode uswah atau contoh (dakwah bil-hâl). Dengan cara ini dakwah dapat lebih mengena di hati masyarakat karena bukan hanya kata-kata tetapi langsung dengan peraktek nyata. Dengan begitu, mereka dapat melihat dan mencontoh secara langsung. Dalam pepatah Arab dikatakan, ”Lisânul-hâl bisy-syikâyati anthaqu.” (Lisan kenyataan lebih lantang dalam berbicara).
Metode yang terakhir adalah dakwah bil-kitab. Dakwah dengan metode ini adalah dakwah dengan menggunakan tulisan seperti mempublikasikan tulisan-tulisan bernuansa dakwah dalam bentuk buku, majalah, bulletin maupun Koran. Dakwah dengan cara ini cakupannya lebih luas tidak tertuju pada orang-orang yang ada di sekeliling kita saja. Dakwah dengan cara ini resonansinya lebih luas daripada dakwah bil-lisan.
Bagi wanita, dakwah bil-kitab tidak terlalu menuntut mereka untuk keluar rumah dan meninggalkan kewajiban serta tanggung jawab selaku ibu rumah tangga. Dengan cara seperti itu, dakwah pun akan tetap terlaksana tanpa menghambat rutinitas kita yang lain. Metode ini dapat menjadi alternatif dakwah yang paling tepat bagi para wanita. Sayang, banyak wabita yang tidak berusaha untuk memanfaatkan peluang dakwah yang satu ini. Dunia para penulis masih didominasi oleh kaum laki-laki.
Sekali lagi, jika masih ada perempuan yang berpikir bahwa dakwah bukan kewajiban perempuan, maka itu adalah pendapat yang sangat salah! Setiap individu mempunyai kewajiban untuk amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kita selaku perempuan. Wallalu a’lam.
Lena Mardiana (Aktivis PD Pemudi Persis Garut, Mahasiswi Jurusan Tafsir-Hadis STAI Persatuan Islam Garut)
0 Komentar