Foto: Para pengurus Islamic centre Jepang musyawarah.
Banyak pengalaman yang bisa dipetik dari menjalankan ibadah puasa Ramadhan di negara ateis, seperti Jepang. Dari lama puasa di musim panas yang mencapai 14,5 jam sampai susahnya mencari tempat untuk shalat tarawih berjamaah.
Seperti yang dialami Megasari Pusparini, wanita asal Bantul, Jawa Tengah, yang telah delapan tahun tinggal di negeri matahari terbit itu. Tahun pertama hingga keempat, ia habiskan di sebuah kota kecil di Pulau Kyushu, Beppu. ''Karena waktu itu masih kuliah, saya banyak berkumpul dengan teman-teman kampus saya,'' kata wanita lulusan Ritsumeikan Asia Pacific University (APU) itu.
Ia menjalankan ibadah puasa bersama dengan Muslim dan Muslimah dari berbagai negara, karena di APU terdapat mahasiswa-mahasiswi dari 78 negara di dunia, baik dari Eropa, Amerika, dan Afrika. Mega pun menjalankan puasa dengan gembira.
''Apalagi, teman-teman dari Jepang yang non-Muslim sering ikut dalam acara-acara Ramadhan. Biasanya mereka ingin tahu mengenai kegiatan-kegiatan tersebut,'' katanya.
Seringkali Mega ditanyai oleh teman-teman dari Jepang tentang puasa dan Islam. ''Rasanya senang bisa mengenalkan Islam kepada mereka. Kenapa kita harus shalat, kenapa harus puasa, kenapa dilarang makan babi, kenapa memakai jilbab, dan masih banyak kenapa yang lain lagi,'' ungkapnya.
Meskipun demikian, hambatan yang dijumpai juga tidak ringan. Misalnya, sangat sulit menjumpai tempat untuk shalat tarawih. Oleh karena itu, Mega kini tinggal di Osaka. Di sini, bersama dengan teman-teman komunitas Muslimnya, harus mengadakan shalat tarawih sendiri.
Dikejar polisi
Pada saat pertama kali Mega datang ke Jepang, tahun 2002, berdekatan dengan peristiwa serangan teroris 11 September di WTC, New York (AS). Islam menjadi kambing hitam dan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan agama ini sangat diawasi hingga ke Jepang.
Ia pun terpaksa bergerilya ketika hendak beribadah di kampus. Mega mengaku shalat di tempat-tempat semacam emergency exit, di kelas kosong, di tangga, di kamar ganti toilet, atau di perpustakaan. ''Kadang-kadang shalatnya sambil deg-degan,'' katanya.
Bahkan, pernah suatu kali terjadi peristiwa yang membuatnya sedih. Yaitu, saat dirinya ketahuan shalat di perpustakaan. Petugas perpustakaan mengusirnya dengan mengatakan: ''Tidak ada tempat shalat baginya di kampus.''
Selama kuliah, ia memang tidak pernah ketahuan kala menjalankan shalat di kampus. Suatu kali ia juga pernah dikejar-kejar polisi ketika pulang dari shalat tarawih di kampusnya.
''Waktu itu, kegiatan keagamaan dilarang di kampus sehingga kami sering kucing-kucingan dengan para aparat setempat,'' ungkap Mega.
Masalah cuaca juga menjadi hambatan bagi dirinya dalam menjalankan puasa. Tahun ini, bulan Ramadhan di Jepang jatuh pada musim panas sehingga lama puasa adalah 14,5 jam. Namun, Mega mengaku telah terbiasa dengan keadaan tersebut. Begitu juga, dengan makanan halal yang selama hari-hari biasa saja sudah susah dijumpai di Jepang.
Mega, yang tahun depan akan kembali ke Indonesia, berpesan kepada orang-orang yang sedang atau hendak menjalankan Ramadhan di Jepang, agar menikmati saja segala tantangan yang ada. Ia juga mengimbau agar lebih banyak berkumpul dengan komunitas Muslim terdekat.
''Hambatan yang ada Insya Allah akan membuat semuanya lebih indah. Mungkin Allah memang sedang menggembleng kita menjadi Muslim dan Muslimah yang lebih tangguh,'' tutur Mega. nan/taq
0 Komentar