
Malaysia adalah salah satu negara dengan tingkat perekonomian paling maju di kawasan Asia Tenggara. Ibu kotanya, Kuala Lumpur, telah menjelma menjadi kota modern, dengan ikonnya menara kembar Petronas (Twin Tower).
Sebagian kalangan di negara jiran itu menganggap, arsitektur kembar dari salah satu bangunan tertinggi di dunia ini, punya arti khusus. Menara kembar merupakan simbol kerukunan.
Tidak berbeda dengan Indonesia, penduduk Malaysia mayoritas adalah penganut Islam. Jumlahnya mencapai lebih 60 persen dari total populasi yang sekitar 27 juta jiwa. Islam pun menjiwai segenap aspek kehidupan. Sejak merdeka dari Inggris pada 31 Agustus 1956, pemerintah menerapkan kebijakan yang senantiasa berlandaskan pada nilai-nilai agama.
Hal tersebut lantas dituangkan dalam konstitusi negara. Berdasarkan definisi pasal 160 undang-undang, segenap warga etnis Melayu dianggap beragama Islam. Meski begitu, konstitusi secara teoretis juga menjamin kebebasan beragama.
''Tantangan Malaysia pada abad ke-21 yakni bagaimana mewujudkan masyarakat Muslim yang demokratis di tengah kehidupan yang multietnis dan agama,'' urai pengamat senior dari BBC, Roger Hardy, dalam artikelnya bertajuk Malaysia: Islam and Multi-Culturalism. Kemajuan negara dan kebangkitan Islam. Itulah tema sentral yang diusung jajaran pimpinan pemerintahan. Dan Roger Hardy memiliki sejumlah catatan penting terkait penerapan dua konsep tadi.
Dimulai pada era tahun 80 dan 90-an. Ketika itu, negara seluas 329.847 kilometer persegi ini dipimpin oleh Perdana Menteri (PM), Dr Mahathir Mohammad.
Lebih jauh Hardy menjelaskan, Mahathir menginginkan terwujudnya kemajuan Islam di era modern. Didorong oleh tujuan tersebut, bersama partai berkuasa UMNO, Mahathir mencanangkan program modernisasi berdasarkan dua kebijakan utama.
Pertama, Islam memperoleh keistimewaan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Ini mencakup upaya penanaman nilai-nilai dan identitas Islam, membangun institusi keislaman serta membuka hubungan lebih luas dengan dunia Islam.
Kedua, meneruskan kebijakan affirmative action yang telah dimulai pada 70-an, yakni memberikan keistimewaan kepada etnis Melayu yang Muslim untuk menduduki pos-pos penting di pemerintahan maupun dalam bidang pendidikan.
Pengamat lain, yakni Hussin Muttalib, juga melihat pemerintah ingin mengembangkan Islam secara lebih kuat. ''Hal ini, misalnya, tampak dari kebijakan di sejumlah negara bagian,'' tegasnya dalam buku Islam in Malaysia ; From Revivalism to Islamic State.
Tahun 1987, negara bagian Johor, Selangor, Perlak, dan Malaka, mengeluarkan peraturan antipemurtadan. Bagi kaum non-Muslim yang terbukti melakukan pemurtadan, akan mendapatkan sanksi.
Selain itu, pemerintah menetapkan agar stasiun penyiaran milik negara, Radio and Television Malaysia (RTM), hanya menyiarkan program-program keislaman. Tak hanya itu, kementerian informasi mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk menerima Islam sebagai agama resmi negara, dan bisa menerima keistimewaannya di atas agama lain.
Pada 1991, dikeluarkan peraturan baru, yakni mereka yang ingin melamar pekerjaan sebagai pegawai pemerintah, diwajibkan memiliki pengetahuan agama Islam secara memadai. Termasuk kemampuan membaca Alquran.
Warga Muslim tak luput dari sanksi tegas. Bila tertangkap sedang mabuk di muka umum, mereka akan dihukum cambuk (jild). Dan semua ketentuan itu ditujukan sebagai upaya pengembangan dinamika keagamaan.
Sampai kemudian Dr Mahathir mencanangkan visi 2020 sebagai target pencapaian menjadi negara maju di tahun 2020. Tentu saja, kemajuan harus tetap berdasarkan pada moral dan nilai-nilai Islam.
Hanya saja, tidak semua kalangan menerima begitu saja apa yang lantas mereka sebut proses Islamisasi ini. Menurut Hardy, ada dua pihak yang cukup kritis, dan mereka memiliki alasan yang bertolak belakang.
Bagi kaum sekular, liberal, aktivis, dan pemerhati hak-hak asasi manusia, semisal Malik Imtiaz, kebijakan Islamisasi di bidang politik dan masyarakat, sudah terlampau jauh. Secara keras, dia bahkan mengibaratkan bahwa warga minoritas telah dianggap sebagai warga kelas dua.
Akan tetapi, dari sudut Partai Islam se-Malaysia (PAS), langkah itu justru belum cukup bila ingin membentuk negara berasaskan Islam. Memang, setelah memisahkan diri dari UMNO sekitar tahun 50-an, PAS selalu menyuarakan keinginan agar Malaysia menerapkan undang-undang syariah.
Keputusan Pengadilan
Seiring lengser -nya Dr Mahathir dari kursi perdana menteri tahun 2003, sambung Hardy, Malaysia memasuki masa transisi. Semua pihak berharap kepada Abdullah Ahmad Badawi, penerus Mahathir, untuk terus membawa kemajuan pada milenium baru.
Di antara aspirasi tersebut, adalah kesetaraan di antara warga negara dan pemeluk agama. ''Itulah tantangan terbesar pada era post-Mahathir,'' papar Hardy.
Dikatakan, perlu ada langkah dan kebijakan yang bisa mengakomodasi keinginan segenap pihak, baik kalangan minoritas maupun Islam. Dan hal itu tidaklah mudah.
Terbukti dari insiden pekan lalu. Tiga gereja di Kuala Lumpur diserang oleh orang tidak bertanggung jawab, yang segera menarik perhatian dunia internasional mengingat selama ini jarang muncul kekerasan berlatar agama di sana.
Pemicu kejadian diduga terkait keputusan Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur tanggal 31 Desember 2009, yang membolehkan umat non-Muslim memakai kata-kata 'Allah' untuk menyebut Tuhan mereka. Beberapa kelompok Islam kecewa atas keputusan tersebut.
Polemik berawal saat ada pelarangan terhadap surat kabar non-Muslim, The Herald, untuk menampilkan kata-kata 'Allah' pada penerbitan edisi berbahasa Melayu. Pelarangan telah diberlakukan selama tiga tahun. Akan tetapi, oleh keputusan pengadilan, pelarangan tadi dicabut. PM Najib Tun Razak menyampaikan keprihatinan seraya mengutuk perusakan gereja-gereja itu. Ia menyebutkan bahwa, ''Tindakan semacam itu akan dapat menghancurkan harmonisasi di negara tersebut.''
Kolumnis kondang, Karim Raslan, berpendapat, insiden ini tidak perlu terjadi di Malaysia yang mayoritas Muslim. Dalam situs The Malaysia Insider, Raslan meminta agar segenap warga dapat mengenyahkan rasa takut dan lebih percaya diri untuk membangun kerukunan.
Konsep Islam Hadhari
Prestasi yang dicapai Malaysia tak lepas dari penerapan konsep Islam Hadhari. Konsep ini untuk pertama kali diperkenalkan oleh PM Abdullah Ahmad Badawi (kala itu), dalam pidatonya di hadapan Dewan Umum Partai UMNO, September 2004.
Islam Hadhari adalah sebuah konsep tatanan kehidupan beragama untuk mewujudkan kemajuan umat di segala bidang. Menurut Pak Lah, sapaan akrab Badawi, Islam Hadhari merupakan upaya untuk membawa umat Islam kembali ke dasar dan fundamental Islam sesuai Alquran dan hadis tentang dasar-dasar pembentukan masyarakat madani.
Pada era globalisasi dewasa ini, umat Islam dituntut untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Dengan itu maka umat akan mampu bersaing dan mencapai kesejahteraan.
Di negara-negara mayoritas Muslim, segala upaya perlu dilaksanakan guna menuju penguasaan ilmu dan teknologi dengan tetap berlandaskan pada nilai-nilai keislaman. Tantangan itulah yang melandasi munculnya konsep Islam Hadhari.
Ada 10 prinsip Islam Hadhari, antara lain, iman dan takwa kepada Allah, pemerintahan yang adil dan dipercaya, kebebasan dan kemerdekaan rakyat, penguasaan ilmu pengetahuan, perkembangan ekonomi yang seimbang dan komprehensif, serta taraf hidup yang memadai bagi semua golongan.
Selain itu juga perlindungan hak kaum minoritas dan perempuan, integritas moral dan budaya, perlindungan lingkungan hidup, serta pertahanan yang kuat.
Konsep tersebut pernah disampaikan oleh Pak Lah dalam sambutannya di Oxford Centre of Islamic Studies, Magdallen College, University of Oxford, Inggris. Hal serupa dilakukan di depan sidang Jamiah Milliah Islamiyyah di New Delhi, India.
Pada berbagai kesempatan, Pak Lah menjelaskan bahwa pendekatan Islam Hadhari diharapkan dapat membawa kemajuan bagi umat Islam di negara itu dan bermanfaat bagi pembangunan Malaysia. Sehingga, pendekatan Islam Hadhari adalah tujuan jangka panjang untuk memastikan umat Islam serta orang Melayu maju dan berjaya.
''Saya tidak menginginkan bila kita nanti menjadi sebuah negara maju berdasarkan visi Wawasan 2020, semuanya maju tapi bila kita menengok kepada umat Islam di sini, kita masih terbelakang,'' katanya pada harian Utusan Malaysia.
Hadhari berasal dari kata hadhara yang maknanya hadhir (hadir). Kupasan dari istilah hadhir ini ialah realitas. Jadi, Islam Hadhari ialah Islam Realitas. ''Realitas adalah yang sebenarnya, yang betul-betul Islam, yang murni dan hakiki, atau Islam seperti yang dibawa oleh Rasulullah SAW,'' papar Pak Lah.
Akan tetapi, pada perjalanannya, konsep ini menimbulkan beragam opini di tengah masyarakat. Bahkan, ada yang berpendapat Islam Hadhari adalah Islam sekular.
Menanggapi penafsiran semacam itu, Najib Tun Rajak yang kini menjabat PM Malaysia, meminta umat Muslim Malaysia untuk memahami konsep Islam Hadhari dalam kehidupan sehari-hari. ''Bila sudah memahami, tiada lagi kontroversi, sebab Islam Hadhari berdasarkan ajaran Islam,'' ujarnya.
0 Komentar