
NAIROBI--Industri keuangan syariah di Africa tengah berjuang mengatasi presepsi negatif di kalangan non-Muslim agar sistem keuangan itu dapat diterima semua jenis nasabah. Masklum, para pelaku bisnis keuangan Islam di benua tersebut berencana melakukan perluasan ke bagian sub-Sahara Afrika, wilayah yang didominasi penduduk Kristen.
Para pakar bisnis mengatakan lembaga kebijakan di negara-negara Afrika wilayah sub Sahara perlu memfasilitasi sistem alternatif dalam perbankan mereka. Beberapa negara di sub-Sahara sudah ada yang merespon, seperti Kenya yang baru-baru ini melakukan penyesuaian dalam undang-undang perbankannya dengan memasukkan sistem keuangan Islami.
Tak jauh terpaut dengan itu, Grup Standard Bank cabang Afrika Selatan, baru saja meluncurkan produk syariah pertama di Tanzania. Kini mereka tengah menunggu persetujuan undang-undang baru untuk membuka layanan serupa di Nigeria, demikian menurut kepala personal dan bisnis perbankan di Standard Bank, Terry Moodley.
"Sebagai awalan kami memang membidik dua negara ini," ujar Terry. "Mereka memiliki basis nasabah yang besar yang berpotensi tertarik dengan skema yang ditawarkan perbankan syariah. Kami pun menyadari jika 40 persen penduduk Afrika adalah Muslim," ujarnya seperti yang dikutip Reuters, Kamis, (6/5)
Separuh penduduk Tanzania beragama Islam. Sekitar 80 persen warga negara itu tinggal di wilayah pedalaman dan 95 persen dari penduduk di wilayah terpencil tersebut hingga kini tidak tersentuh oleh layanan perbankan, demikian menurut keterangan menteri keuangan Tanzania.
Oleh karena itu, Moodley berharap peluncuran layanan perbankan syariah dapat sedikit mendongkrak kehidupan warga Tanzania. Ia menyatakan dalam beberapa bulan ke depan, begitu perbankan syariah yang diluncurkan memperoleh cukup dana dari nasabah, bank akan merilis produk pinjaman.
"Jika kami kebetulan membutuhkan dana di saat kami telah meluncurkan produk pinjaman, namun saat itu kami tak punya cukup jaminan dari deposit--yang juga berasal dari bisnis syariah, maka kami akan mencari sumber alternatif pendanaan yang tetap berbasis syariah," papar Modley. Tapi, sejauh ini bank tersebut masih belum ingin berpatisipasi dalam lelang surat berhaga milik pemerintah.
Tantangan di Sub-Sahara
Kawasan Afrika Utara dengan banyak negara Islam dan populasi Muslim, seperti Mesir dan Sudan, memang relatif mudah bagi praktek bisnis syariah. Keuangan Islami telah berjalan selama berdekade di wilayah tersebut.
Namun, ketika pengusaha mencari celah meluaskan bisnis di negara-negara sub-Sahara seperti Uganda--denga 80 persen penduduk penganut Kristiani, tentu cerita akan berbeda. Pelarangan bunga sekaligus spekulasi dalam investasi dan jaminan aset nyata, bukan kelaziman bagi nasabah non-Muslim.
"Tantangan terbesar yang kami hadapi adalah presepsi bahwa bank ini hanya untuk nasabah Muslim, itu sangat tidak benar," ujar pimpinan Gulf African Bank, Suleiman Shahbal. Bank yang ia pimpin baru berdiri pada 2008 lalu dan menjadi satu dari dua bank syariah di Kenya.
"Ini adalah bisnis dan terus terang kami tidak membedakan apakah anda Muslim, Kristen, Hindu, tak percaya tuhan atau apa pun," ujar Suleiman. Ia juga mengungkapkan hambatan lain dalam bisnis, yaitu tudingan masyarakat non-Muslim bahwa bank syariah menyembunyikan agenda politik.
"Beberapa orang bahkan bersikap ekstrim. Padahal ini tak ada hubungan dengan politik dan kami tak punya agenda politik," tegas Suleiman. "Ada pula yang menuduh kami mendukung Al Qaidah, tentu saja itu tak masuk akal," imbuhnya.
Sejauh ini, bank-bank syariah beroperasi dalam skala kecil di sedikit negara Sub-Sahara, seperti Kenya, Afrika Selatan, Botswana dan Nigeria. Sejumlah pelaku bisnis syariah kini membidik Tanzania, Malawi, Uganda dan Zambia dalam rencana perluasan di masa depan dan negara itu memiliki populasi Muslim sebagai minoritas.
Bisnis keuangan Islam berhasrat melebarkan sayap agar tak hanya berpusat di wilayah Timur Tengah dan Asia Tenggara. Kepala FNB Afrika Selatan dan WestBank Islamic Finance, Ebrahim Ahmed Patel, dalam konferensi mengatakan potensi pasar keuangan syariah di Afrika sangat besar bernilai 235 milyar juta Dolar atau di atas Rp2000 triliun Rupiah.
Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
0 Komentar