AKARTA (Berita SuaraMedia) - Pemerintah tidak akan segan-segan membekukan hingga membubarkan organisasi massa yang meresahkan masyarakat. Tiga organisasi yang sudah disebutkan kemarin diharapkan dapat mengoreksi diri.
"Kami harap tiga ormas itu bisa introspeksi diri," kata Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di kantornya, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa 31 Agustus 2010.
Tiga organisasi massa yang disebut Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri kemarin yakni, Front Pembela Islam (FPI), Forum Betawi Rempug (FBR), dan Barisan Muda Betawi.
Gamawan mengakui, keresahan masyarakat atas tiga organisasi itu juga menjadi salah satu pertimbangan. "Penolakan begitu meluas," kata mantan Gubernur Sumatera Barat ini.
Gamawan sudah mendapatkan data soal ormas-ormas yang diduga melakukan tindakan kekerasan itu dari Kapolri. Nantinya, jika ada peristiwa kerusuhan terjadi di tingkat pusat maka petugas dari Kementerian Dalam Negeri akan turut andil.
"Bila di Provinsi, maka ada Gubernur. Tergantung kepengurusan mana ini. Mekanismenya itu teguran. Selama diberikan teguran satu kali, dua kali, dan yang ketiga kali dibekukan," ujar dia.
Kendati demikian, Gamawan menekankan ada dua hal penting terkait ormas. Pertama soal dugaan pelanggaran yang dilakukan itu atas nama organisasi atau individiu. "Kalau individu itu tinggal individunya saja yang dipidanakan. Kalau organisasi, itu ada mekanismenya," kata Gamawan.
Hal kedua yang tidak kalah pentingnya adalah pelanggaran Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Menurut Gamawan, ormas-ormas yang diduga menerima dana dari luar negeri, tanpa izin pemerintah, juga termasuk pelanggaran.
"Dapat bantuan dari asing atau memberikan kepada asing tanpa izin pemerintah, menurut Undang-Undang juga melanggar," jelas Gamawan.
Sebelumnya, Kapolri Bambang Hendarso Danuri menjelaskan, dari tahun ke tahun, ada tiga ormas yang melakukan tindakan kekerasan berulang-ulang. Mereka adalah Front Pembela Islam (FPI), Forum Betawi Rempug (FBR), dan Barisan Muda Betawi.
Menanggapi hal itu, Ketua Bidang Nahi Munkar FPI Munarman menilai data Kapolri itu tidak valid. Juru bicara FBR, Junaedi, juga menganggap informasi yang diterima Kapolri tidak tepat. Sedangkan, Ketua Dewan Pembina Barisan Muda Betawi menilai Kapolri sebaiknya jangan membangunkan Macan tidur.
Sementara itu, Direktur Pelaksana Imparsial Poengky Indrati menilai, revisi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang saat ini tengah digodok Pemerintah dapat menjadi ancaman bagi keberlangsungan ormas secara keseluruhan.
Poengky meminta Pemerintah bersikap transparan dan melibatkan masyarakat madani dalam penyusunan draft-nya. Salah satu bentuk ancamannya adalah keberadaan komisi yang mengawasi kegiatan ormas.
"Pada RUU Ormas ini, akan dibentuk sebuah komisi yang mengamati aktivitas maupun pendanaan organisasi. Jadi, kalau ormas ini dianggap berbahaya, maka komisi ini bisa memberikan usulan kepada Pemerintah untuk membubarkan atau membekukannya. Ini berbahaya. Intervensi pemerintah tinggi sekali. Ini melanggar kebebasan berserikat, berkumpul, dan beroganisasi," kata Poengky.
Tak hanya itu, pada RUU Ormas, jika disahkan, Pemerintah berhak mengatur mulai dari organisasi kemasyarakatan bertingkat internasional hingga pedesaan.
Imparsial meminta Kemendagri menyusun RUU Ormas yang menutup ruang bagi adanya intervensi dan campur tangan Pemerintah. Sementara itu, terkait pembekuan ormas meresahkan, Poengky mengatakan setuju dengan wacana tersebut. "Namun, pembekuan organisasi harus ada hal yang melatarbelakanginya. Dan hal tersebut harus dibuktikan di depan hukum dan ada putusan hukum berkekuatan tetap," kata Poengky.
Di lain pihak, anggota Komisi II DPR Nurul Arifin berpendapat pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas) yang anarki bukanlah solusi efektif. "Percuma kalau dibubarkan. Mereka tinggal ganti nama, dan itu bisa jadi backfire (blunder) ke depannya," kata Nurul di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.
"Bisa saja FPI berubah nama menjadi Garda Pembela Islam atau Garda Pembela Indonesia," ujar legislator Golkar tersebut. Menurutnya, ketegasan sikap pemerintah dan pengelolaan ormas akan lebih efektif untuk mengendalikan sejumlah ormas yang selama ini terbiasa bertindak di luar koridor hukum.
Nurul juga membantah apabila UU No. 8 Tahun 1985 tentang Ormas disebut sudah tidak relevan lagi. "Undang-undang itu masih sangat relevan dan komprehensif," ujar Nurul. Pasalnya, kata Nurul, UU tersebut ternyata telah mencantumkan pasal tentang sanksi terhadap ormas anarki, termasuk sanksi berupa pembekuan apabila ormas terkait mengabaikan teguran pemerintah.
"Awalnya, ormas terkait akan diberi teguran apabila melanggar hukum. Teguran diberikan sampai tiga kali. Apabila mereka mengabaikan teguran pertama, kedua, dan ketiga itu, maka selanjutnya mereka dapat dibekukan," kata Nurul yang mengaku telah mempelajari seluruh pasal yang ada di dalam UU Ormas.
"Jadi, mengubah Undang-undang bukan sebuah hal yang mendesak. Penegakan hukumlah yang lebih urgen," ujar Nurul.
Bagaimanapun, ia mengaku UU Ormas memang perlu direvisi, khusus untuk beberapa pasal terkait larangan ajaran komunisme dan marxisme. "Pasal itu tidak diperlukan lagi. Masyarakat sudah tahu mana yang boleh atau tidak terkait hal itu," tuturnya.
Bilapun masyarakat meminta pembubaran atau pembekuan ormas tertentu, ujar Nurul, maka yang berwenang untuk melakukannya adalah Kementerian Dalam Negeri, bukan kepolisian.
Kemarin, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto mendesak DPR merevisi UU Ormas. Menurut Djoko, sanksi yang diatur UU Ormas itu tak cukup memadai menjerat ormas-ormas yang melakukan tindakan kekerasan. (fn/v2v/km) www.suaramedia.com
0 Komentar