Sebelumnya beredar sejumlah pesan singkat (SMS) di Jakarta tentang adanya pelarangan adzan dan berjilbab di ibukota Papua Barat
Manokwari di waktu sore hari itu tampak cerah (31/10). Matahari sebentar lagi pun akan tenggelam. Tak lama adzan sholat Maghrib berkumandang saling sahut-sahutan. Salah satunya adzan yang berkumandang dari Masjid An-Nuue yang beralamat di Jalan Pertanian Kosi Dalam, Manowari. Beberapa pria dewasa mengenakan sarung dan kopiah berjalan menuju masjid beratap biru itu.
Jamaah sholat Maghrib tak seberapa banyak, kurang lebih 20 orang. Selain pria dewasa, ada juga anak dan kaum wanita yang ikut dalam berjamaah. Lihat dari wajah mereka, nampaknya mereka para pendatang dari luar Papua.
Usai sholat, hidayatullah.com sempat berbincang-bincang dengan Ustadz Priyo, imam masjid tersebut. Terutama berkaitan dengan pesan singkat (SMS) melalui telepon genggam yang beredar di beberapa daerah, terutama Jakarta tentang adanya pelarangan mengumandangkan adzan dan berjilbab di ibu kota Papua Barat itu.
“Pelarangan mengumandangkan adzan dan berjilbab itu tidak benar,” kata pria kelahiran Jawa Tengah yang sejak kecil bermukim di Manokwari. Memang dulu, terang Priyo, sempat beredar rancangan peraturan daerah (Perda) Kota Injil yang dibuat oleh sekelompok non Muslim.
Dalam rancangan Perda tersebut tertulis adanya dua poin larangan itu. Tapi sekarang rancangan itu sudah tidak ada lagi. Pasalnya, saat rancangan itu heboh di tengah masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat dari kalangan Muslim dan Kristiani langsung menghadap Bupari Manokwari, Dominggus Mandacan untuk menyelesaikan masalah ini.
Meski demikian, Priyo mengaku, kamu Muslim was-was baca foto copi-an rancangan tersebut.
“Tidak cuma saya, pengurus dan jamaah di sini juga merasa cemas. Makanya waktu itu sempat ragu apakah adzan dikumandangkan menggunakan speaker atau tidak,” ujar Priyo.
Namun ia akhirnya bersyukur Perda itu kini sudah tidak lagi terdengar. Walaupun bukan jaminan usulan serupa tidak akan muncul kembali. Pasalnya, komposisi penduduk beragama Islam terhitung minoritas.
Di sisi lain, Ustadz Fadzlan Garamatan, dai berdarah Irian ini menilai soal SMS yang beredar itu ada pihak yang mencari keuntungan, baik ekonomi maupun politis.
“Tapi kami ambil positifnya saja, barangkali SMS itu bermakna agar umat Islam ada yang di wilayah barat Indonesia agar peduli terhadap saudaranya umat Islam yhang ada di wilayah Indonesia timur.” kata pria yang juga ketua umum AL-Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN), sebuah lembaga dakwah yang fokus berdakwah di bumi Cenderawasih.
Masyarakat, harap Fadzlan, tidak terpancing untuk bersikap anarkis saat mendapatkan SMS tersebut.
“Justru harus menganggap inilah saatnya dakwah dikobarkan di bumi Nuu Waar,” ujar ustadz yang biasa menyebut Papua dengan istilah Nuu Waar. [Ahmad/hidayatullah.com]
0 Komentar