REPUBLIKA.CO.ID, Kontribusi pemikiran cendekiawan di masa Pemerintahan
Dinasti Abbasiyah mendapat banyak pengakuan. Berbagai kemajuan di bidang
ilmu pengetahuan berhasil ditorehkan.
Sejarah juga mencatat kejeniusan para ulama dalam hal merumuskan konsep negara dan sekaligus sistem politik pemerintahannya.
Terkait
hal itu, Al-Mawardi, pakar dan ahli tata negara yang memiliki nama
lengkap Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi, menulis
sebuah kitab yang cukup fenomenal, yaitu Adab Al-Wazir (Etika Seorang Menteri).
Kitab yang juga dikenal dengan judul Qawanin Al-Wizarah wa Siyasat Al-Mulk
(Pedoman Kementerian dan Kebijakan Raja) itu memuat segala hal
berkenaan dengan figur ideal seorang menteri dan konsep kementerian yang
sesuai dengan prinsip dan ideologi Islam.
Paling penting, kitab
ini memberikan nuansa religius dalam sistem ketatanegaraan. Tak heran,
kitab ini sarat dengan petuah bijak Al-Mawardi bagi para menteri. Untuk
lebih melengkapi karyanya, ia mengutip beberapa riwayat hadis dan kalam
hikmah yang pernah disampaikan kaum bijak.
Dibandingkan karyanya yang lain, seperti Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, Adab Ad-Dunya wa Ad-din, Al-Hawi, dan Al-Iqna’,
keberadaan fisik buku ini tergolong langka. Padahal, isi muatan
kitabnya tak kalah penting, terutama bila disandingkan dengan kitab yang
pertama, yaitu Al-Ahkam. Kitab ini semakin memperjelas dan
menyempurnakan pandangan tokoh yang masyhur dengan julukan Alboacen di
kalangan Barat itu, tentang konsep dan sistem ketatanegaraan.
Kehadiran
karya tokoh yang pernah menjadi kadi (hakim) dan duta keliling di masa
Abbasiyah ini, menjadi sebuah oase bagi kondisi perpolitikan di Basrah,
Irak kini. Konsep-konsep yang ditawarkan memberikan alternatif dan
menyodorkan solusi atas berbagai kekacauan perpolitikan yang terjadi di
negaranya.
Saat itu, terjadi kerusakan di sistem perpolitikan
Abbasiyah. Konon, otoritas dan wewenang seorang khalifah banyak
tereduksi oleh para menteri. Kondisi ini tampak saat Al-Mu’tashim
menjabat sebagai khalifah di Dinasti Abbasiyah menggantikan kerabatnya,
Al-Ma’mun. Para wazir memegang kekuasaan di pusat pemerintahan kala itu,
Baghdad. Bisa dibilang, khalifah tak ubahnya boneka mainan di mata
wazir. Meski demikian, sepak terjang mereka tidak sampai pada
pembangkangan dan makar.
0 Komentar