Setiap zaman akan melahirkan masalah dan aliran
tersendiri. Setiap zaman akan melahirkan semangatnya sendiri, dan akan
melahirkan pahlawan-pahlawan tersendiri, yakni mereka yang akan menjadi
kekuatan pelopor dalam memecahkan masalah zamannya.
Kedudukan ummat
Islam pada bagian permulaan kemerdekaan tidak menguntungkan dibandingkan
dengan kedudukan mereka yang netral agama. Tampilnya Masyumi sebagai
partai Islam yang bercorak kesatuan dalam bulan-bulan pertama
kemerdekaan Indonesia bukanlah suatu kebetulan dalam sejarah (An
Historical Accident) yang tidak dilatarbelakangi kesadaran yang dalam
dan panjang. Kelahiran Masyumi dapat dikatakan sebagai suatu keharusan
sejarah (An Historical Necessity) bagi perjalanan politik umat Islam
Indonesia. Masyumi kemudian tampil sebagai pembela demokrasi yang
tangguh dalam negara Republik Indonesia. Partai baru ini dalam tempo
singkat telah muncul sebagai partai yang sangat mengakar dalam
masyarakat Indonesia. Ulama dan para pemimpin politik Islam dari seluruh
Tanah Air segera bergabung dengan partai ini. Kekuatan dan sekaligus
kelemahan Masyumi menurut suatu analisis justru terletak pada sifatnya
yang federatif, menurut A.R. Baswedan (1909-1986) salah seorang pemimpin
penting Masyumi. Masyumi bersama golongan lain memusatkan pada
perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang masih dirongrong keinginan
Belanda untuk meneruskan penjajahan kembali. Dalam periode yang sangat
kritis itu tetap mempertahankan kemurnian dan cita-cita kemerdekaan.
Secara
umum dapat dikatakan, perilaku politik Masyumi selama periode kritis
itu hampir-hampir tanpa cacat. Pemihakannya kepada martabat Republik
Indonesia begitu jelas, konsisten, dan penuh perhitungan. Dalam
perspektif inilah, orang dapat menilai mengapa partai Masyumi dan PNI
mengadakan demonstrasi bersama di Yogyakarta di jalan di depan Istana
dengan menyuarakan anti Amir Syarifuddin, salah seorang tokoh puncak
golongan kiri yang pada September 1948 juga mengarsiteki pemberontakan
Madiun.
Goncangan besar dalam tubuh Masyumi terjadi pada Mei 1952.
Saat itu NU mengikuti jejak SI meninggalkan Masyumi di Konggres
Palembang. Sejak itu NU menyatakan diri sebagai sebuah partai politik
dan meninggalkan watak Jam’iyahnya. Dalam menghindari banyak kasus
partai Islam baru ini lebih dekat kepada PNI atau bahkan PKI ketimbang
Masyumi. Sikap Masyumi yang menentang ide Demokrasi Terpimpin semakin
menempatkan kaum modernis itu pada posisi politik yang terpencil.
Ditambah lagi dengan keluarnya Muhammadiyah dari tubuh Masyumi, yang
separuh dari seluruh anggotanya di Indonesia adalah orang Muhammadiyah,
dan menjadikan Masyumi semakin lemah.
Masa permulaan demokrasi
terpimpin tahun 1957 mencatat Masyumi bukan saja tambah renggang dan
asing bagi Soekarno melainkan juga tambah bertentangan secara
konfrontatif dengan Presiden. Dengan Natsir sebagai Ketua Umum Partai,
garis kebijaksanaan politik Masyumi terhadap Soekarno tambah keras, ia
tidak dapat berkompromi dengan Soekarno dalam soal demokrasi.7 Dalam
mekanisme pelaksanaan demokrasi terpimpin anggota-anggota yang duduk
dalam Dewan DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) adalah mereka
yang disukai Soekarno, dan bertugas mengiyakan Move politiknya. Karena
itu tidaklah mengherankan bahwa orang-orang Masyumi dan PSI yang
menentang politik Soekarno harus tersingkir.8 Di mata Masyumi sistem
demokrasi terpimpin akan membawa bencana bagi bangsa dan negara.
Semangat inilah sebagai idealisme martir Masyumi, yang mempunyai resiko
politik yang besar bagi golongan modernis Muslim di Indonesia. Masyumi
sebagai cagar demokrasi tampaknya tidak punya pilihan lain kecuali
menghadapi Soekarno dan sistemnya. Harapan Masyumi bahwa rakyat akan
berpihak kepada demokrasi, tidak kepada sistem otoriter, ternyata
sia-sia. Sementara itu, PKI yang sangat lihai dalam manipulasi politik,
berpihak sepenuhnya kepada sistem Soekarno. Pada masa Demokrasi
Terpimpin, jargon politik PKI tentang golongan “kepala batu” sudah
menyatu dengan jargon politik Soekarno yang juga menilai Masyumi sebagai
kekuatan “kepala batu” yang merintangi penyelesaian revolusi Indonesia.
Karena itu, Masyumi tidak patut lagi hidup pada era demokrasi
terpimpin. Dengan demikian, di antara prinsip demokrasi terpimpin
sebagaimana dikemukakan oleh Soekarno “tanpa otokrasi diktator” tidak
berlaku bagi Masyumi. Masyumi harus dikorbankan “demi revolusi”.9 Semua
ini adalah kepandaian manuver PKI dengan bantuan penuh dari Presiden
Soekarno.
Akhirnya pukulan terakhir dialami partai Masyumi yang
gigih mempertahankan prinsipnya ini. Pukul 05.20 pagi tanggal 17 Agustus
1960 hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Pimpinan Pusat
Masyumi menerima surat dari Direktur Kabinet Presiden yang mengemukakan
bahwa Masyumi harus dibubarkan. Dalam waktu 30 hari setelah keputusan
ini, yaitu 17 Agustus 1960. Pimpinan partai Masyumi harus menyatakan
partainya bubar, pembubaran ini harus diberitahukan kepada Presiden
secepatnya. Kalau tidak, partai Masyumi akan diumumkan sebagai partai
terlarang. Kurang dari sebulan demikian yaitu tanggal 13 September,
pimpinan pusat Masyumi menyatakan partainya bubar. Ini tidak berarti
bahwa Masyumi menyetujui instruksi Presiden.
Sumber: http://campus-student.blogspot.com/2009/08/pembubaran-partai-masyumi-tinjauan.html
0 Komentar