Sejarah
bangsa Indonesia mencatat nama besar Majelis Syura Muslimin Indonesia
(Masyumi) sebagai partai Islam terbesar yang pernah ada. Masyumi
pada masanya sejajar dengan Partai Jama’atul Islam di Pakistan dan
Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Banyak yang lupa akan hal ini, dan
memang dalam pendidikan politik nasional kebesaran Masyumi seolah
tertutupi oleh arus besar lain, Nasionalisme dan Developmentalisme.
Padahal dalam masa keberadaannya, Masyumi sangat identik dengan gerakan
politik Islam yang memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam konteks
kenegaraan. Kini, ia telah berusia 60 tahun.
Masyumi
didirikan dalam Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta pada tanggal
7-8 November 1945. Kongres ini dihadiri oleh sekitar lima ratus utusan
organisasi sosial keagamaan yang mewakili hampir semua organisasi Islam
yang ada, dari masa sebelum perang serta masa pendudukan Jepang. Kongres
memutuskan untuk medirikan majelis syuro pusat bagi umat Islam
Indonesia yang dianggap sebagai satu-satunya partai politik bagi umat
Islam, yang secara resmi bernama Partai Politik Islam Indonesia
“MASYUMI”. Dengan Kongres Umat Islam Indonesia ini, pembentukan Masyumi
bukan merupakan keputusan beberapa tokoh saja, tapi merupakan keputusan
“seluruh umat Islam Indonesia”.
Segera
setelah berdiri, Masyumi tersebar merata di segenap penjuru tanah air,
hal itu dapat terjadi karena dukungan yang diberikan oleh
organisasi-organisasi yang menjadi pendukung Masyumi. Ada 8 unsur
organisasi pendukung Masyumi yakni NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam
(PERSIS), Persatuan Umat Islam, Al-Irsyad, Mai’iyatul Wasliyah,
Al-Ittihadiyah dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Dengan demikian
Masyumi berhasil menyatukan organisasi dan umat Islam Indonesia dalam
satu wadah perjuangan. Meski pada tahun 1952 NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai sendiri.
Selain
mempersatukan umat Islam Indonesia, alasan lain yang menjadi
pertimbangan didirikannya Masyumi adalah agar Islam memiliki peranan
yang signifikan ditengah arus perubahan dan persaingan di Indonesia saat
itu. Tujuan didirikannya Masyumi, sebagaimana yang terdapat dalam anggaran Dasar Masyumi tahun 1945, memiliki dua tujuan. Pertama, menegakkan kedaulatan negara republik Indonesia dan agama Islam. Kedua, melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.
Masyumi
percaya bahwa Islam menghendaki kesejahteraan masyarakat serta
penghidupan yang damai antara bangsa-bangsa di muka bumi ini. Dan
menentang kekejaman, kebuasan serta kepalsuan kapitalisme dan
imperalisme. Partai Masyumi bermaksud melaksanakan cita-cita Islam dalam
urusan kenegaraan hingga dapat mewujudkan susunan negara yang
berdasarkn keadilan menurut ajaran-ajaran Islam. Ia juga bermaksud
memperkuat dan menyempurnakan dasar-dasar pada UUD RI, sehingga dapat
mewujudkan masyarakat dan negara Islam. Suatu pemilihan umum yang umum
dan langsung merupakan tuntutan partai (Deliar Noer, 2000).
Tafsir
Asas Masyumi yang dirumuskan tahun 1952 juga mengemukakan agar semua
hukum dan peraturan negara hendaknya sesuai dengan hukum dan peraturan
Islam. Ini tidak merugikan mereka yang berlainan agama serta
partai-partai non-Islam karena tidak ada prinsip Islam yang berlawanan
dengan ajaran agama-agama lain.
Dalam
masalah kenegaraan, Masyumi memperjuangkan terbentuknya negara hukum
menurut Islam dengan bentuk Republik. Negara hendaklah menjamin
keselamatan jiwa dan benda tiap orang dan kebebasan bergama. Masjumi
lebih menyukai terbentuknya kabinet presidensial dengan tanggung jawab
kepala negara kepada Dewan Perwakilan Rakyat. DPR sebaiknya terdiri dan
dua badan: dewan berdasar pemilihan umum dengan perwakilan berimbang,
dan senat sebagai wakil daerah yang juga berdasar pemilihan umum.
Hak-hak asasi manusia hendaknya dijamin dalam UUD. Hak-hak politik,
sosial, dan ekonomi kaum wanita sederajat dengan kaum pria.
Cara
yang ditempuh untuk mencapai tersebut adalah dengan menyusun tenaga
yang tertib, membangunkan peri kehidupan lahir batin, pengertian dan
akhlak umat, dan mendidik sifat, kekuatan dan kecakapan untuk memperoleh
segala syarat, mendukung dan mengembangkan cita-cita Islam sebagai tata
cara hidup (way of life) yang memberikan rahmat bahagia bagi segenap makhluk.
Menurut Masyumi, cita-cita ini hanya bisa tumbuh dalam ketertiban dan keamanan. Kekacauan
akan memboroskan tenaga, harta dan jiwa. Kekacauan akan meruntuhkan
segala usaha dari pihak mana pun yang mengakibatkan kekacauan dan
kelumpuhan negara serta alat-alatnya. Masyumi mengakui perlu adanya ulil amri, yaitu
pemerintahan yang memegang kekuasaan menurut hukum dan musyawarah.
Partai menolak orang atau pihak yang menggunakan kekuasaan paksaan atau
melakukan perkosaan atas suatu pihak yang lain untuk mencapai maksudnya.
Sebagai
partai yang terlibat dalam membentuk dan menjalankan pemerintahan,
berbagai program dan kebijakan strategis partai ini telah mewarnai dan
menentukan arah perjalanan bangsa. Selain itu kader-kader Masyumi ikut
masuk dalam kabinet yang dibentuk. Bahkan sempat menjadi Perdana
Menteri, seperti halnya Muh Natsir (1950-1951). Di bawah PM Sukiman
(1951-1952), RI melalui penandatanganan suatu perjanjian di bawah
Undang-Undang MSA (Mutual Security Act) pernah membuat langkah berani
dengan menegaskan posisinya ada pada blok Barat (Amerika Serikat) dalam
kancah pergaulan internasional.
Mendagri Mohammad Roem adalah konseptor utama UU Pemilu pertama yang mulai dirumuskan pada m
asa Kabinet Wilopo (1952-1953), selain Moh Roem juga dikenal sebagai diplomat ulung, ia menjadi delegasi Indonesia dalam perundingan dengan Belanda yang dikenal dengan Perjanjian Roem-Royen. Masyumi juga yang pertama mengusulkan dan menggodok RUU Anti-Korupsi pada di masa Boerhanoeddin Harahap memimpin kabinet (1955-1956). Di era Boerhanoeddin pulalah berhasil diselenggarakan pemilu pertama tahun 1955, dan dianggap merupakan pemilu yang paling demokratis sepanjang sejarah bangsa. Tokoh lain seperti Syafrudin Prawiranegara merupakan pakar ekonomi yang juga pernah menjadi Gubernur Bank Indonesia pertama tahun 1950. Beliau pulalah yang menjadi Pimpinan PDRI (Pimpinan Darurat Republik Indonesia) ketika Soekarno, Hatta dan beberapa menteri ditawan Belanda.
asa Kabinet Wilopo (1952-1953), selain Moh Roem juga dikenal sebagai diplomat ulung, ia menjadi delegasi Indonesia dalam perundingan dengan Belanda yang dikenal dengan Perjanjian Roem-Royen. Masyumi juga yang pertama mengusulkan dan menggodok RUU Anti-Korupsi pada di masa Boerhanoeddin Harahap memimpin kabinet (1955-1956). Di era Boerhanoeddin pulalah berhasil diselenggarakan pemilu pertama tahun 1955, dan dianggap merupakan pemilu yang paling demokratis sepanjang sejarah bangsa. Tokoh lain seperti Syafrudin Prawiranegara merupakan pakar ekonomi yang juga pernah menjadi Gubernur Bank Indonesia pertama tahun 1950. Beliau pulalah yang menjadi Pimpinan PDRI (Pimpinan Darurat Republik Indonesia) ketika Soekarno, Hatta dan beberapa menteri ditawan Belanda.
Pada
pemilu 1955, Masyumi membuktikan diri sebagai partai Islam terbesar.
Masyumi mendapat dukungan suara terbanyak, yakni 10 dari 15 daerah
pemilihan di seluruh Indonesia. Ini menunjukkan Masyumi memiliki wilayah
pengaruh yang paling luas dibanding partai lain. Bandingkan
dengan PNI dan NU yang masing-masing hanya menang di dua daerah
pemilihan. Karena pada saat itu sistem pemilu yang digunakan
proporsional, maka sehingga perolehan suara tidak otomatis langsung
terbesar. Total perolehan suara Masyumi sebesar 21%. Masyumi memperoleh
58 kursi, sama besarnya dengan PNI. Sementara NU memperoleh 47 kursi dan
PKI 39 kursi.
Partai Politik Modern
Masyumi
berjasa mengenalkan identias Islam yang modern di Indonesia. Karakter
Islam modern yang dimiliki Masyumi antara lain; melihat bahwa dalam
masalah-masalah muamalah doktrin hanya memberikan ketentuan-ketentuan umum yang bersifat universal. Karena itu ijtihad harus digalakkan. Selanjutnya, Masyumi juga meyakini bahwa ijma’
yang dicapai oleh generasi terdahulu dapat diperbaharui jika
faktor-faktor prikologis, sosial, politik dan ekonomi yang
melatarbelakanginya juga telah berubah. Selain itu, Masyumi juga
memandang positif pluralisme, dan keleluasaan untuk mengambil hikmah
dari manapun asalnya. Karenanya, modernisme juga cenderung untuk
bersikap terbuka dan toleran. (Yusril, 1999).
Hal
ini ditunjukkan dengan berbagai kebijakan dan tindakan yang dilakukan
Masyumi. Sejak awal, Masyumi telah terlibat dalam pemerintahan, mau
berkoalisi bahkan berkompromi dengan partai lain dalam pembentukan
kabinet. Karena bagi Masyumi, keterlibatan dalam pemerintahan merupakan
langkah strategis untuk mencapai tujuan. Selain itu Masyumi juga
mengadopsi struktur dan mekanisme partai yang lazim dipakai oleh sistem
kepartaian Barat.
Tentang
Demokrasi, Masyumi mengemukakan sikap bahwa demokrasi yang berasaskan
paham kerakyatan adalah prinsip pemerintahan yang paling sesuai dengan
Islam dan realitas masyarakat Indonesia. Dalam rancangan Undang-undang
Dasar Republik (Islam) Indonesia usulan Masyumi, dikatakan bahwa
kedaulatan adalah ditangan seluruh rakyat Indonesia sebagai amanah Tuhan
kepada mereka. Sebagaimana kedudukan manusia sebagai khalifah Tuhan di
muka bumi. Kedaulatan rakyat ini, menurut Masyumi, dilaksanakans ecara
periodik dalam suatu pemilihan umum yang bebas dan jujur untuk memilih
wakil-wakil rakyat di dewan-dewan perwakilan.
Masyumi
dengan tegas menolak gagasan Soekarno tahun 1956 untuk ”mengubur
partai-partai” dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Natsir mengatakan
bahwa membubarkan semua partai berarti mengganti demokrasi dengan
diktatorisme. Jika semua partai dikuburkan, maka demokrasi pun akan
masuk ke liang kubur.
Dalam
Tafsir Asasnya, untuk masalah kenegaraan Masyumi memperjuangkan
terbentuknya negara hukum menurut Islam dengan bentuk Republik. Negara
hendaklah menjamin keselamatan jiwa dan benda tiap orang dan kebebasan
bergama. Masyumi lebih menyukai terbentuknya kabinet presidensial dengan
tanggung jawab kepala negara kepada Dewan Perwakilan Rakyat. DPR
sebaiknya terdiri dan dua badan: dewan berdasar pemilihan umum dengan
perwakilan berimbang, dan senat sebagai wakil daerah yang juga berdasar
pemilihan umum. Hak-hak asasi manusia hendaknya dijamin dalam UUD.
Hak-hak politik, sosial, dan ekonomi kaum wanita sederajat dengan kaum
pria.
Meski
demikian, sebagai partai Islam yang memiliki konsepsi yang mendalam
tentang Islam, Masyumi dengan tegas menolak sekulerisme. Masyumi
meyakini bahwa Agama tidak boleh dipisahkan dari negara. Natsir dalam
Kapita Selekta (1973) mengungkapkan bahwa agama Islam mempunyai aturan
yang berkenaan dengan hukum-hukum kenegaraan dan pidana, muamalah yang
semuanya itu adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari agama Islam
itu sendiri. Orang yang tidak mau negara menjalankan semua peraturan
agama Islam yang berhubungan dengan hal tersebut pada hakekatnya bukan
memisahkan agama dari negara, melainkan melemparkan sebagian dari
hukum-hukum Islam. Kalau kekuasaan ada dalam tangan orang Islam,
orang-orang beragama lain tak usah khawatir. Mereka akan mendapat
kemerdekaan beragama secara luas.
Orang
yang tidak mau mendasarkan negara kepada hukum-hukum Islam dengan
alasan tidak mau merusakkan hati orang yang bukan beragama Islam,
sebenarnya berlaku zalim kepada orang Islam sendiri yang
bilangannya 20 kali lebih banyak. Ini berarti merusakkan hak-hak
mayoritas, bukan lantaran hak-hak itu berlawanan dengan hak-hak dan
kepentingan minoritas tapi semata-mata takut kalau-kalau pihak minoritas
itu tidak suka.
Dengan
alasan yang tidak jauh berbeda, Masyumi juga menolak komunisme. Selain
itu juga karena komunisme itu sendiri anti-demokrasi, karena komunisme
hendak menghapuskan pluralisme dan membentuk suatu masyarakat yang
monolitik.
Karena
penolakan Masyumi terhadap Demokrasi Terpimpin, dan keterlibatan
pimpinan Masyumi dalam PRRI, Soekarno memiliki alasan untuk membubarkan
Masyumi. Rencana pembubaran Masyumi oleh Soekarno ini ditanggapi oleh
tokoh-tokohnya dengan mengatakan bahwa dibawah Demokrasi Terpimpin,
Masyumi akan menjadi ”mayat berjalan”. Secara fisik Masyumi masih hidup,
tetapi secara ruh sebenarnya telah mati. Tanpa demokrasi
, Masyumi telah kehilangan raison d’etre untuk terus hidup. Karena itu Masyumi lebih baik bubar daripada turut menjadi ”mayat hidup” di alam demokrasi terpimpin.
, Masyumi telah kehilangan raison d’etre untuk terus hidup. Karena itu Masyumi lebih baik bubar daripada turut menjadi ”mayat hidup” di alam demokrasi terpimpin.
Pewaris Masyumi
Memang,
tahun 1960 Masyumi akhirnya bubar. Namun pemikiran dan perjuangan
Masyumi dengan para tokoh-tokohnya tetap bersemayam dihati rakyat.
Meskipun Masyumi gagal direhabilitasi di masa Soeharto, karena
kekhawatiran Soeharto terhadap politik Islam yang sangat besar dan kuat,
dengan dibungkus alasan keterlibatan tokoh-tokohnya dalam pemberontakan
PRRI, namun pemikiran dan perjuangan Masyumi ini tetap
berkesinambungan. Pada tahun 1967, oleh Natsir (setelah keluar penjara)
Masyumi ditransformasikan menjadi gerakan sosial keagamaan dengan
mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII).
Untuk
menjelaskan transfromasi gerakan dengan substansi pemikiran yang tetap
sama ini Natsir mengutarakan ungkapan yang fenomenal, ”kalau dulu kita berdakwah dengan politik, maka sekarang kita berpolitik dengan dakwah”. Dari DDII inilah pewarisan pemikiran Masyumi yang modernis namun militan tetap dapat dilaksanakan.
Di
era Reformasi, cukup banyak berdiri partai politik yang memperkenalkan
diri sebagai pewaris Masyumi. Namun dalam pemilu 1999, hanya Partai
Bulan Bintang (PBB)-lah ”pewaris Masyumi” yang berhasil memperoleh kursi
di DPR RI dan lolos electoral treshold. Sayangnya, pada pemilu
2004, PBB yang telah menjadi satu-satunya partai politik yang mengklaim
sebagai pewaris Masyumi dan sejak berdirinya didukung penuh oleh
Keluarga Bulan Bintang (perkumpulan yang dibuat oleh mantan tokoh
Masyumi) tidak mengalami meningkatan dan hanya memperoleh 2,62%
suara. Hal ini berarti, PBB tidak dapat lagi meneruskan kiprahnya di
pentas politik nasional karena gagal mengumpulkan suara diatas electoral treshold (3%). Karenanya harus membentuk partai baru lagi, atau bergabung dengan partai lain.
Padahal
PBB memiliki figur dan citra yang mengingatkan orang akan kebesaran
Masyumi di masa lalu. Yusril yang menjadi ketua pertamanya dikenal
sebagai intelektual yang secara personal dekat dan paling apresiatif
terhadap ide-ide Natsir. Sosok Yusril yang akademisi mengingatkan orang
akan karakter para intelektual-politisi Islam modernis di Masyumi dulu.
Kampanye-kampanye PBB tentang penerapan syariat Islam dan Piagam Jakarta
mengingatkan orang akan perjuangan Masyumi dalam sidang-sidang BPUPKI,
PPKI, dan Konstituante.
Hal
ini menunjukkan bahwa PBB gagal melakukan kontekstualisasi lebih jauh
terhadap pemikiran-pemikiran Masyumi. Berhenti hanya pada citra dan
simbol Masyumi menyebabkan PBB terjebak pada romantisme masa lalu.
Sedangkan masyarakat hanya bisa didekati dengan keteladanan moral dari
para tokohnya dan kerja-kerja praktis untuk membantu dan menyelesaikan
permasalah mereka.
Selain
itu PBB tidak mewarisi basis pendukung Masyumi sendiri. Anggota
penopang utama Masyumi, misalnya Muhammadiyah, telah memiliki alternatif
lain sebagai saluran politiknya. PBB juga secara resmi tidak memiliki
pengakuan dari organisasi-organisasi Islam, sebagaimana model
keanggotaan dalam Masyumi, termasuk dukungan resmi dari DDII.
Selain
PBB, dalam pemilu 2004 terdapat partai Islam modernis yang dapat pula
dianggap sebagai pewaris Masyumi, yakni Partai Keadilan Sejahtera.
Partai ini adalah partai yang fenomenal. Gagal mencapai electoral treshold di
pemilu 1999 karena memperoleh hanya 1,4% suara, namun pada pemilu 2004
berhasil mengantongi 7,34% suara atau 45 kursi DPR RI. PKS
berhasil menarik simpati masyarakat dengan aktivitas real
kemasyarakatan dan konsistensi aktivisnya, yang ditegaskan dalam slogan “besih dan peduli”.
PKS memiliki pemikiran politik yang sama dengan Masyumi. Cara PKS dalam memandang Islam dan negara yang syumuliah
dan menolak sekulerisme tidak berbeda dengan Masyumi. Begitu pula cara
pandangnya terhadap demokrasi, modernisme dan pluralisme. PKS melakukan
koalisi dengan pemerintahan, seperti yang dilakukan Masyumi. PKS juga
memiliki tokoh-tokoh yang kental intelektualitasnya.
PKS diembrioi oleh gerakan tarbiyah yang didirikan oleh aktivis-aktivis kampus yang berasal dari pengajian-pengajian kampus (halaqah)
yang tergabung dalam Masjid atau Lembaga Dakwah Kampus (Damanik, 2002).
Sementara jika dirunut lebih jauh, aktivitas dakwah kampus justru
dibangun dan dikembangkan oleh tokoh-tokoh Maasyumi.
Natsir
melihat ada tiga fondasi kekuatan Umat Islam yakni dunia pesantren,
masjid, dan kampus. Karenanya Natsir melalui Dewan Dakwah mendirikan
masjid-masjid dan pesantren yang berdekatan dengan kampus. Untuk
kaderisasi Natsir mengadakan training bagi para mahasiswa, yang kemudian
oleh Imadudin dikembangkan menjadi Tranining Mujahid/Manajemen Dakwah
(TMD). Selanjutnya DDII pada tahun 1974 meluncurkan program yang disebut
dengan Bina Masjid Kampus. Dari sini kemudian pembinaan terhadap
mahasiswa oleh mantan tokoh-tokoh Masyumi dapat diteruskan. Model dakwah
kampus ini kemudian cepat berkembang dan menyebar keseluruh Indonesia
dan menjadi trend di kampus-kampus.
Natsir
juga mengirim kader-kadernya untuk belajar ke Timur Tengah. Selanjutnya
selain melakukan pembinaan kepada mahasiswa, para alumni Timur Tengah
seperti Abu Ridha dan Rahman Zainudin diminta oleh Natsir untuk
menerjemahkan buku-buku yang ditulis kalangan Ikhwanul Muslimin (IM) ke
dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kesamaan pemikiran Islam
antara Masyumi dan IM.
IM telah melakukan formulasi terhadap ideologi dan pemikiran-pemikirannya lewat buku-buku, sedang Masyumi tidak. Buku-buku ini kebanyakan diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang, milik DDII. Dari sinilah pemikiran IM marak di kalangan aktivis kampus, dan kemudian menjadi rujukan bagi gerakan tarbiyah. Sehingga tidak salah jika disebutkan bahwa aktivis PKS adalah orang-orang yang secara substantif mewarisi visi politik dakwah dari para tokoh Masyumi (Furqon, 2004).
IM telah melakukan formulasi terhadap ideologi dan pemikiran-pemikirannya lewat buku-buku, sedang Masyumi tidak. Buku-buku ini kebanyakan diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang, milik DDII. Dari sinilah pemikiran IM marak di kalangan aktivis kampus, dan kemudian menjadi rujukan bagi gerakan tarbiyah. Sehingga tidak salah jika disebutkan bahwa aktivis PKS adalah orang-orang yang secara substantif mewarisi visi politik dakwah dari para tokoh Masyumi (Furqon, 2004).
Meski telah 60 tahun berdiri dan 45 tahun dibubarkan, namun kita masih dapat belajar dari kiprah Masyumi di masa lalu. Pertama, Masyumi mengajarkan kepada umat Islam untuk mengutamakan ukhuwah dan mementingkan persatuan umat. Kedua,
Masyumi membuktikan kepada dunia internasional bahwa Islam dapat
ditampilkan dalam wujud yang modern, intelektual dan kontekstual. Ketiga,
Masyumi mencetak sangat banyak figur tokoh besar yang dapat diteladani,
baik pemikiran, idealisme, konsistensi maupun kesederhanaannya. Seperti
yang dapat dilihat pada Natsir, Roem, Sukiman, Burhanudin, Syafrudin
dll. Wallahu’alam.
Muh Hermawan Ibnu Nurdin
Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik UI
0 Komentar