Diskusi tentang dasar negara kini seolah telah menjadi diskusi
yang sangat berbahaya, penuh emosi, perlu kehati-hatian, dan senantiasa
mengarah ke satu kesimpulan yang tak terbantahkan. Padahal, semula para
founding fathers bangsa ini telah mendiskusikan masalah ini secara
cerdas, intelek dan lepas dari kesan emosi dan memaksakan kehendak.
Bagaimana dengan kita?
Diskursus tentang dasar negara yang hendak diterapkan di Indonesia sudah dimulai sejakDokuritsu Zyunbi Tjoosakai atau
Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
menggelar persidangan untuk merancang sendi-sendi dasar negara. Pada
sidang pertama BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mr Muhammad Yamin mengusulkan
konsep dasar negara dengan mengacu pada sejarah nasional, dan pendapat
para pemikir barat. Pada sidang-sidang selanjutnya, beberapa ulama yang
menjadi anggota BPUPKI sempat melontarkan gagasan mereka tentang
keharusan negara yang akan dibentuk di nusantara ini memakai aturan
Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sayang, pendapat mereka banyak yang tidak
terdokumentasikan, seperti pidato KH Ahmad Sanoesi dari Sukabumi. [i]
Namun, entah mengapa, hanya pidato mantan Ketua Pengurus Pusat
Muhammadiyah Ki Bagoes Hadikoesoemo pada persidangan ke dua tanggal 31
Mei 1945, yang ditemukan catatannya. Simaklah beberapa petikan pidato Ki
Bagoes Hadikoesoemo berikut ini:
“Tuan-tuan dan sidang yang terhormat! Dalam negara kita, niscaya
tuan-tuan menginginkan berdirinya satu pemerintahan yang adil dan
bijaksana, berdasarkan budi pekerti yang luhur, bersendi permusyawaratan
dan putusan rapat, serta luas berlebar dada tidak memaksa tentang
agama. Kalau benar demikian, dirikanlah pemerintahan itu atas agama
Islam, karena ajaran Islam mengandung kesampaiannya sifat-sifat itu.”
[ii]
Setelah mengutip Al-Qur’an surah An-Nahl ayat 90, surah An Nisa ayat
5, surah Ali Imron ayat 158, surah Syura ayat 38 dan surah Al Baqarah
ayat 256, Ki Bagoes Hadikoesoemo melanjutkan pidatonya:
“Dengan ayat-ayat yang singkat ini, cukuplah kiranya sudah untuk
mengetahui bahwa agama Islam itu cakap dan cukup serta pantas dan patut
untuk menjadi sendi pemerintahan kebangsaan di negara kita Indonesia
ini. Tetapi di antara tuan-tuan ada juga orang-orang yang tidak setuju
negara kita ini berdasarkan agama.”[iii]
Pada bagian akhir Ki Bagoes mengatakan :
“Oleh karena itu tuan-tuan, saya sebagai seorang bangsa Indonesia
tulen, bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek moyang saya pun
bangsa Indonesia juga yang asli dan murni belum ada campurannya; dan
sebagai seorang Muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan
Merdeka, maka supaya negara Indonesia merdeka itu dapat berdiri tegak
dan teguh, kuat dan kokoh, saya mengharapkan akan berdirinya negara
Indonesia itu berdasarkan agama Islam. Sebab, itulah yang sesuai dengan
keadaan jiwa rakyat yang terbanyak, sebagaimana yang sudah saya
terangkan tadi. Janganlah hendaknya jiwa yang 90 persen dari rakyat itu
diabaikan saja tidak dipedulikan. Saya khawatir apabila negara Indonesia
tidak berdiri di atas agama Islam, kalau-kalau umat Islam yang
terbanyak itu nanti bersifat pasif atau dingin tidak bersemangat:
sebagaimana yang dikuwatirkan juga oleh tuan Kiai Sanusi tadi. Tetapi
saya mengharapkan jangan sampai kejadian demikian. Tuan-tuan, sudah
banyak pembicara yang berkata, bahwa agama Islam itu memang tinggi dan
suci. Sekarang bagaimana kalau orang yang tidak mau diikat oleh agama
yang sudah diakui tinggi suci, apakah kiranya akan mau diikat oleh
pikiran yang rendah dan tidak suci? Kalau jiwa manusia tidakmau
bertunduk kepada agama perintah Allah, apakah kiranya akan suka
bertunduk kepada perintah pikiran yang timbul dari hawa nafsu yang
buruk? Pikirkan dan camkanlah tuan-tuan.” [iv]
Selama puluhan tahun, transkrip pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo ini
tidak pernah terungkap dalam pembicaraan politik dan urusan kenegaraan.
Begitu pula pidato tokoh-tokoh Islam lainnya. Tentu sangatlah aneh jika
sekian banyak tokoh muslim anggota BPUPKI dan PPKI yang dikenal
masyarakat sebagai orator dan singa podium sama sekali tidak urun rembug
dalam masalah krusial seperti ini. Dalam Buku Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) –
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). 28 Mei 1945 – 22 Agustus
1945 yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara tahun 1998, terdapat
catatan kaki yang menarik:
“Risalah ini tidak terdapat baik dalam buku Prof. Mr. Muhammad
Yamin yang terbit pada tahun 1959, maupun dalam berkas arsip yang
diterima dari Negeri Belanda, dan yang ditemukan dalam perpustakaan Puri
Mangkunegaran Solo. Risalah ini diterima Sekretariat Negara dari arsip
keluarga Ki Bagoes Hadikoesoemo yang diserahkan oleh putra beliau,
Kolonel (L) Basmal Hadikoesoemo.” [v]
Hingga kini belum ada penyelidikan yang mendalam dan menyeluruh
tentang hilangnya beberapa arsip penting di awal kehidupan bernegara di
Indonesia ini, seperti raibnya notulen rapat BPUPKI dan PPKI. Padahal,
banyak di antaranya berisi pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo dan tokoh-tokoh
Islam lainnya. Namun beberapa pakar sejarah seperti Ahmad Mansyur
Suryanegara menduga, ada faktor kesengajaan dari beberapa pihak untuk
menggelapkan peran dan jasa para tokoh Islam. Parahnya, upaya
penggelapan sejarah itu justru dilakukan oleh beberapa orang tokoh
pendiri bangsa. Diduga, tujuannya adalah agar pemikiran, ide serta
peranan para founding fathers Indonesia dari kalangan ulama dan
tokoh-tokoh Islam tidak muncul, sehingga seolah kaum muslimin tidak
berperan sama-sekali dalam penyusunan sendi-sendi Negara Indonesia ini.
Setelah Ki Bagoes Hadikoesoemo berpidato, sebenarnya Mohammad Hatta
langsung menanggapi dan menolak ide Negara Islam yang dilontarkan Ketua
Pengurus Pusat Muhammadiyah itu. Memang, meski bernama Islam, pandangan
politik Hatta sesungguhnya sekuler. Sayang, pidato Hatta ini pun hingga
kini belum ditemukan notulensi maupun salinan aslinya, sehingga belum
jelas argumen-argumen Hatta. Padahal pidato Hatta itu pula yang kemudian
menjadi dasar pijakan penolakan para founding fathersIndonesia
yang konon berasal dari kalangan nasionalis sekuler dan non muslim
Indonesia Timur terhadap ide Negara Islam. Para sejarawan menduga, orang
yang bertanggung jawab menghilangkan beberapa pidato penting itu adalah
Prof Mr. Mohammad Yamin.
Tidak hanya sekadar menyembunyikan pidato penting dari beberapa tokoh
nasional saat itu, Mohammad Yamin justru menambahkan beberapa teks
pidato miliknya sendiri pada buku yang disusunnya, “Naskah Persiapan UUD
1945”, padahal menurut Mohammad Hatta, Yamin tidak pernah berpidato
seperti yang ditulisnya itu di sidang BPUPKI. [vi] Meskipun demikian,
fakta tentang adanya pidato bantahan Hatta tentang ide pembentukan
negara Indonesia berdasarkan azas Islam sebagaimana dilontarkan oleh Ki
Bagoes Hadikoesoemo dan KH Ahmad Sanoesi, dapat ditemukan dari pidato
Prof. Dr. Mr. Soepomo yang pada prinsipnya kurang lebih sejalan dengan
ide Hatta. Berikut petikannya:
“Oleh anggota yang terhormat Tuan Moh Hatta telah diuraikan
dengan panjang lebar, bahwa dalam negara persatuan di Indonesia
hendaknya urusan negara dipisahkan dari urusan agama. Memang di sini
terlihat ada dua faham, ialah faham dari anggota-anggota ahli agama,
yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan
anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh Tuan Moh. Hatta, ialah
negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan
Islam, dengan lain perkataan: bukan negara Islam. Apa sebabnya di sini
saya mengatakan “bukan negara Islam?” Perkataan “negara Islam” lain
dengan artinya dari pada perkataan “Negara berdasarkan atas cita-cita
luhur dari agama Islam”. Apakah perbedaannya akan saya terangkan. Dalam
negara yang tersusun sebagai “negara Islam”, negara tidak bisa
dipisahkan dari agama. Negara dan agama adalah satu, bersatu padu.”[vii]
Kemudian, Soepomo melanjutkan:
“Tadi saya mengatakan bahwa dalam negara Islam, negara tidak bisa
dipisah-pisahkan dari agama, dan hukum syariah itu dianggap senagai
perintah Tuhan untuk menjadi dasar, untuk dipakai oleh negara. Dalam
negara-negara Islam, misalnya di negara Mesir dan lain-lain yang menjadi
soal, ialah apakah hukum syariat dapat dan boleh diubah, diganti,
disesuaikan menurut kepentingan internasional menurut aliran zaman? Ada
suatu golongan yang terbesar yang mengatakan bahwa itu tidak
diperbolehkan. Tetapi ada lagi golongan yang mengatakan bisa disesuaikan
dengan zaman baru. Umpamanya saja seorang ahli agama terkenal, yaitu
Kepala dari sekolah tinggi “Al-Azhar” di Kairo, Muhammad Abduh yang
termasyhur namanya – dan ia mempunyai murid di sini juga—mengatakan,
“Memang hukum syariah bisa diubah dengan cara “ijmak”, yaitu
permusyawaratan, asal tidak bertentangan dengan Qur’an dan dengan Hadis.
Ada lagi yang mempunyai pendirian yang lebih radikal, seperti Ali Abdul
Razik, yang mengatakan bahwa agama terpisah daripada hukum yang
mengenai kepentingan negara. Dengan pendek kata, dalam negara-negara
Islam masih ada pertentangan pendirian tentang bagaimana seharusnya
bentuk hukum negara, supaya sesuai dengan aliran zaman modern, yang
meminta perhatian dari negara-negara yang turut berhubungan dengan dunia
internasional itu…”[viii]
Dalam sidang BPUPKI selanjutnya, sebenarnya terjadi perdebatan seru
akibat perbedaan tajam antara kubu Islam –kubu terbesar dengan 35 orang
anggota– yang menghendaki dasar negara Indonesia berdasarkan Islam, dan
kubu sekuler dan non muslim yang tidak menghendaki peran agama (Islam)
dalam negara. Golongan Sekuler dan non muslim menginginkan Indonesia
berdasarkan prinsip kebangsaan. Perdebatan panjang itu tidak
terselesaikan sampai tanggal 1 Juni. Saat itu, Soekarno berpidato selama
satu jam yang penuh dengan janji dan rayuan kepada para tokoh BPUPKI
dari kubu Islam agar mau berkorban dan berkompromi untuk membangun
cita-cita Negara Indonesia yang hendak dicapai bersama. Pidato panjang
yang sangat memukau hadiri itu dikemudian hari dikenal dengan judul
Lahirnya Pancasila. Berikut beberapa petikannya:
“Saya minta, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara
Islam lain: maafkan saya memakai perkataan, “kebangsaan” ini! Saya pun
orang Islam. Tetapi saya meminta kepada saudara-saudara, janganlah
saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama
buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan
dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat,
seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari
yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang
sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka
Tuan adalah orang Bangsa Indonesia, datuk-datuk Tuan, nenek moyang Tuan
pun Bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang
dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan
Negara Indonesia. [ix]
Selanjutnya, untuk menarik perhatian para politisi muslim anggota
BPUPKI, Soekarno mencoba meyakinkan mereka bahwa dirinya pun sejatinya
adalah seorang pembela Islam. Soekarno mengatakan:
“Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara
agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam –maaf beribu maaf, keislaman
saya jauh belum sempurna—tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya
dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tidak lain
tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela
Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita
perbaiki segala hal juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan
pembicaraan dan permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.” [x]
Ketika menjelaskan tentang prinsip musyawarah mufakat, Soekarno pun menyinggung sentimen kaum muslimin :
“Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa Kepala-Kepala Negara, baik
khalif maupun Amirul Mu’minin harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kita
mengadakan Kepala Negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagoes
Hadikoesoemo misalnya menjadi Kepala Negara Indonesia dan mangkat,
meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya,
dengan otomatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu
saya tidak mufakat kepada prinsip monarkhi.” [xi]
Namun, pada saat menjelaskan tentang prinsip Indonesia Merdeka dengan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Soekarno justru seolah melupakan
kewajiban kaum muslimin untuk melaksanakan syari’at Islam ketika mengaku
sebagai seorang muslim, dan ber-Tuhan menurut ajaran Nabi Muhammad SAW.
Dengan lugas ia mengatakan :
“Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri.
Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang belum
ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan
ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita
semua ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap
orangnya dapat menyembah Tuhan dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat
hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme
agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan.”
[xii]
Dalam perdebatan selanjutnya, saat itu akhirnya para politisi Islam
harus susah payah untuk berkompromi dengan rumusan undang-undang dasar
yang tidak tegas menyebutkan tentang negara Islam, presiden Islam dan
sebagainya. Akhirnya dibentuklah sebuah panitia kecil beranggotakan
sembilan orang yang akan merumuskan pokok pikiran pendirian negara
Indonesia. Mereka adalah Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr Ahmad
Soebardjo, Abikusno Tjokrosujoso, Prof. Abdul Kahar Muzakir, KH. Wahid
Hasyim, Mr. A.A. Maramis, H. Agus Salim, Mr. Mohammad Yamin.
Pada tanggal 22 Juni 1945, panitia kecil yang kemudian disebut dengan
nama Panitia Sembilan itu berhasil merumuskan suatu konsensus politik
yang mencerminkan dan mewadahi aspirasi semua golongan. Pengorbanan itu
rupanya masih agak terobati dengan adanya rumusan konsensus yang disebut
Piagam Jakarta itu. Mr. Mohammad Yamin menyebutnya sebagai “Jakarta
Charter”, Prof. Dr. Mr. Soepomo meyebut konsensus itu sebagai
“Perjanjian Luhur”, sedangkan Dr. Sukiman Wirjosandjojo menyebutnya
sebagai “Gentlemen Agreement”. Bagi kalangan Islam, inti dari Piagam
Jakarta adalah kalimat: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at
Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Piagam Jakarta inilah yang seharusnya
dibacakan pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Tapi kekecewaan merebak ketika sehari setelah proklamasi, faksi Islam
sekali lagi harus menerima kompromi demi pembentukan negara Indonesia
yang dicita-citakan. Kompromi itu bermula dari pertemuan awal beberapa
tokoh pada tanggal 18 Agustus 1945 untuk merumuskan dasar Ideologi
bangsa dan negara, Pancasila, serta konstitusi Oendang-oendang Dasar
1945. Mereka yang ikut dalam pertemuan itu adalah KH Wachid Hasjim dari
Nahdlatul Ulama, Ki Bagoes Hadikoesoemo dari Muhammadiyah, Mr Kasman
Singodimedjo dari Muhammadiyah, Mohammad Hatta dari Sumatera Barat dan
Teoekoe Mohammad Hassan dari Aceh. Dalam rapat itu dibicarakan tentang
rencana perubahan sila pertama Pancasila dalam Piagam Djakarta, 22 Juni
1945, yakni sila Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya.
Semua berawal dari ungkapan Mohammad Hatta tentang adanya informasi
dari seorang opsir Jepang. Si Opsir Jepang –yang hingga kini tidak
pernah diketahui namanya itu– konon mengatakan bahwa golongan Kristen
dari Indonesia Timur tidak setuju dengan adanya tujuh kalimat inti dalam
Piagam Jakarta. Jika tujuh kalimat itu diterapkan, konon, mereka
khawatir akan terjadi diskriminasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. “Mereka lebih suka berdiri di luar republik,” katanya.
Padahal, dalam bukunya, Ahmad Mansyur Suryanegara sempat mengutip
keterangan Deliar Noer, sebagai berikut:
“Menurut Deliar Noer, dari keterangan A Kahar Moezakkir,
sebenarnya AA Maramis walaupun dari perwakilan Kristen menyetujui 200 %
terhadap Preambule atau Piagam Djakarta. Persetujuan ini terjadi karena
Ketoehanan tidak dituliskan dengan Jang Maha Esa. Jadi tidak
bertentangan dengan keyakinan Trinitas ajaran Kristen. Sedangkan
Ketoehanan dengan kewajiban mendjalankan Sjariat Islam bagi
pemeloek-pemeloeknja, diberlakukan untuk umat Islam saja. Tidak untuk
seluruh bangsa Indonesia. Artinya umat Kristen dan Katolik tidak terkena
Sjariat Islam.” [xiii]
Karena itu, rencana perubahan yang ditawarkan Mohammad Hatta ini
ditolak oleh KH Wahid Hasjim maupun oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo. Namun,
dengan berbagai pendekatan akhirnya kedua tokoh ulama itu bersedia
berkompromi dengan bersedia menghilangkan ketujuh kata dalam Piagam
Djakarta itu. Hilangnya kalimat itu memang dirasakan sebagai pengorbanan
yang tiada taranya dari umat Islam. Bahkan banyak pula yang menganggap
bahwa kesepakatan itu sebagai sebuah pengkhianatan dan kekalahan para
tokoh dan ummat Islam yang sangat menyakitkan. Tapi, menurut mendiang
Menteri Agama Alamsjah Ratuperwira Negara, penghilangan ketujuh
kata-kata kunci itu merupakan hadiah terbesar umat Islam bagi bangsa
Indonesia.
Simak Kelanjutannya di Diskursus Tentang Dasar Negara Bagian II
Oleh : Hanibal Wijayanta – Jurnalis Senior
===
[i] KH Ahmad Sanoesi adalah seorang tokoh ulama Jawa Barat. Kiai
Sanoesi adalah Ketua Persatoean Oemat Islam Indonesia, pendiri
pesantren Gunung Puyuh Sukabumi, pendiri Al-Ittihadul Islamiyah, dan
kemudian menjadi anggota Komite Nasional Indonedia Pusat KNIP. Namun,
ulama besar ini nyaris tak pernah disebut-sebut perannya sebagai
founding fathers Indonesia. Lihat Ahmad Mansyur Suryanegara. Api Sejarah
2. Salamadani. Bandung 2010.
[ii] Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Risalah Sidang
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) –
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). 28 Mei 1945 – 22 Agustus
1945. Sekretariat Negara. Jakarta. 1998. Halaman 41.
[iii] Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. halaman 42.
[iv] Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. halaman 48.
[v] Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. halaman 33
[vi] Ahmad Mansyur Suryanegara. Api Sejarah 2. Salamadani. Bandung. 2010. Halaman 128.
[vii] Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. halaman 57-58.
[viii] Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. halaman 59.
[ix] Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. halaman 92-93.
[x] Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. halaman 98.
[xi] Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. halaman 101.
[xii] Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. halaman 101.
[xiii] Ahmad Mansyur Suryanegara. Api Sejarah 2. Salamadani. 2010. Halaman 133
0 Komentar