Oleh: Muthoifin (Guru Pesantren Hidayatullah, Solo)
Dalam beberapa buku karya Ki Hadjar Dewantara tidak dijumpai istilah “karakter”, dengan makna “akhlaq” dalam Islam. Tapi, secara inplisit istilah itu muncul dalam berbagai buku karangannya dengan istilah “budi pekerti”. Oleh Ki Hadjar, budi pekerti diletakkan sebagai jiwa atau ruh daripengajarananya. Sebab, menurutnya, pengajaran dan budi pekerti ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Pengajaran atau pendidikan berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak didiksupaya mereka kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan susila. (Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama (Pendidikan), Yogyakarta: Majlis Luhur Tamansiswa, 1967).
Budi pekerti menurut Ki Hadjar bukan sekedar konsep
teoritis sebagaimana yang dipahami masyarakat pada umumnya. Pengajaran
budi pekerti juga bukan berarti mengajar teori tentang baik buruk, benar
salah dan seterusnya; bukan pula pengajaran dalam bentuk pemberian
kuliah atau ceramah tentang hidup kejiwaan atau peri-keadaban manusia dan atau keharusan memberi keterangan-keterangan tentang budi pekerti secara luas dan mendalam. Pengajaran budi pekerti, tegas Ki Hadjar, diterapkan untuk menyokong perkembangan hidup anak-anak, menuju ke arah peradaban dalam sifatnya yang umum, seperti mengajarkan anak
bagaimana duduk yang baik, tidak berteriak-teriak agar tidak mengganggu
orang lain, bersih badan dan pakaian, hormat terhadap ibu bapak dan
orang lain, suka menolong dan lain sebagainya. (Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005).
Ki Hadjar yang dikenal sebagai tokoh pendidikan mengharapkan, anak-anak didik hendaknya diberikan anjuran-anjuran untuk melakukan pelbagai laku yang baik dengan cara disengaja. Denganbegitu maka syarat pendidikan budi pekertiyang dahulu biasa saja disebut metode menyadari, menginsyafi dan melakukan, ataungerti, ngerasa dan ngelakoni (“tri-nga”) dapat terpenuhi. (Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian A (Kebudayaan), Yogyakarta: Tamansiswa, 1967)
Ki Hadjar menghendaki budi pekerti yang bersifat terintegrasi dengan
pengajaran pada setiap bidang studi. Dengan kata lain, Ki Hadjar
menginginkan bahwa pada setiap pengajaran bidang studi apapun harus
mengintegrasikannya dengan pendidikan budi pekerti, dan tidak berhenti
pada pengajaran mata pelajaran tersebut semata-mata. Baginya pengajaran
adalah alat bukan tujuan. Pengajaran matematika misalnya adalah alat
untuk menghasilkan anak yang memiliki keterampilan dalam memahami dan
mempraktikkan rumusan hitungan secara tepat dan akurat. Namun bersamaan
dengan itu pengajaran matematika tersebut harus diarahkan pada
menghasilkan manusia yang dapat bersikap teliti, cermat, kerja teratur
dan jujur. (Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005).
Budi pekerti – dalam implementasi di Perguruan Tamansiswa – bertujuan agar anak-anak didik dapat kemajuan alam hidupnya lahir dan batin menuju ke arah adab kemanusiaan.
Budi pekerti di sini juga tidak hanya menghendaki pembentukan intelek,
tetapi menghendaki juga pendidikan dalam arti pemeliharaan dan pelatihan
susila (budi), karena menurut Ki Hadjar, adab
atau keluhuran budi manusia itu menunjukkan sifat batinnya manusia,
sedangkan kesusilaan atau kehalusan itu menunjukkan sifat hidup
lahiriyah manusia yang serba halus dan indah.Ki Hadjar menyatakan, “Bahwa budipekerti seseorang itu dapat mewujudkan sifat batinnya seseorang dengan pasti dan tetap”. Ki Hadjar juga menegaskan, “Bahwa tidak ada dua budi pekerti orang yang sama, meskipun sama dua roman wajah seseorang, tidaklah sama kedua budi pekertinya”. (Abdurrahman Surjomiharjo,Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Sinar Harapan, 1986).
Ki Hadjar pun berpendapat bahwa pendidikan
budi pekerti harus mempergunakan syarat-syarat yang selaras dengan jiwa
kebangsaan menuju kepada kesucian, ketertiban dan kedamaian lahir batin. Menyimak gagasan dan pemikirannya tentang pendidikan budi pekerti, terlihat dengan jelas, konsep budi pekerti Ki Hadjar diarahkan pada pembentukan karakter bangsa yang sesuai dengan nilai-nilaibudaya bangsa yang universal. (Ki Hadjar Dewantara, Asas-asas dan Dasar-dasar Tamansiswa, Yogyakarta: Tamansiswa, 1964)
Pendidikan adab
Sebagai ajaran yang berdasarkan pada wahyu Allah, Islam tidak menolak nilai-nilai universal yang baik. Tetapi, Islam meletakkan sifat-sifat baik seperti: jujur, sopan dan toleransi semuanya dalam bingkai dan dasar keimanan, bukan
sekedar “rasa kemanusiaan” semata yang lepas dari nilai-nilai Islam.
Seorang muslim diajarkan untuk jujur, bukan karena kemanfaatan sifat
jujur semata, tetapi karena jujur itu perintah Allah Swt. Sebagaimana diungkapkan Adian Husaini,
bahwa semua aktifitas kemanusiaan baik berupa amal shaleh, akhlak,
maupun nilai-nilai kebajikan lainnya seperti jujur, kebersihan, dan
kerja keras, harus dilandasi dan dalam bingkai keimanan. Jika amal
shaleh atau sifat kemanusiaan tidak dilandasi dengan keimanan, maka
perbuatan itu akan menjadi berbahaya bahkan melanggar batas-batas ketentuan Allah Swt”.(Adian Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia berkarakter dan Beradab, Jakarta: Cakrawala, 2013).
Dalam perspektif Islam, hubungan antara iman dan budi pekerti adalah hubungan yang tidak bisa dilepaskan, karena iman
merupakan sumber akhlak yang luhur. Akhlak inilah yang pada gilirannya
menuntun manusia untuk menemukan kebenaran dan hakikat sesuatu.
Sedangkan ilmu menuntun manusia untuk menjadi manusia yang beradab. Hal ini sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad Saw. yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (M. Athiyah al-Abrasyi, Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam,Bandung: Pustaka Setia, 2003)
Jadi dalam perspektif Islam, pemikiran Ki Hadjar tentang pendidikan budi pekerti, perlu dilandasi keimanan, bukan berdasarkan budaya semata. Dan semua aktivitas yang berpijak pada dasar keimanan akan mendatangkan hasil yang lebih berkualitas, lahir maupun bathin, lantaran iman merupakan hubungan antara hamba dan SangKhaliq. (Abdurrahman al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: GIP, 2005).
Dengan demikian, menurut penulis, gagasan Ki Hadjar, agar lebih efektif dan “selamat”, maka pendidikan budi pekerti ini perlu didasarkan pada unsur-unsur ketauhidan, sehingga makin selaras dengan tujuan Pendidikan Nasional yang bertujuan meningkatkan iman dan takwa, sesuai UU Sisdiknas No 20 (Pasal 3) tahun 2003.“Budi pekerti” yang tidak dilandasi keimanan, berpotensi menyimpang dari ajaran Tuhan dan merusak esensi kemanusiaan.
Allah
SWT misalnya menggariskan, hanya boleh tolong menolong dalam kebaikan.
Maka toleransi bisa dilakukan, tetapi tidak untuk kemusyrikan dan
kejahatan. Cinta kasih sesama manusia perlu dibatasi dengan pijakan
iman. Tidak boleh misalnya menikah sesama jenis, meski berdasar kasih
sayang antar sesama. Maka, idealnya semboyan Pendidikan Nasional kita
diubah menjadi: “Iman, Ilmu, Amal”. Bukan sekedar: tut wuri handayani. (***)
0 Komentar