Oleh: Syamsuddin Arif
Kehidupan di muka bumi ini bermula sekitar 3,5 miliar tahun yang
lalu. Sejak itu pelbagai organisme bersaing satu sama lain untuk
bertahan hidup, kemudian ber‘evolusi’ menghasilkan aneka ragam spesies
baru yang semakin lama semakin canggih. Sampai muncul spesies baru
bernama manusia yang dengan akalnya mulai mencari asal-usul kehidupan.
Ribuan bahkan jutaan tahun berlalu tak seorang pun berhasil memberi
jawaban memuaskan. Baru pada tahun 1735 Carolus Linnaeus dari Swedia
menjadi ‘manusia pertama’ yang membuat klasifikasi berdasarkan kemiripan
dan memberikan ‘nama saintifik’ bagi tiap-tiap spesies. Dan baru pada
tahun 1859 teka-teki biologi tersebut berhasil dipecahkan oleh saintis
Inggris bernama Charles Darwin. Manusia, sebagaimana spesies lain,
‘muncul’ (evolved) dengan sendirinya dari proses seleksi alam.
Jika dipikirkan kembali, dongeng evolusi ini tidak hanya sarat dengan khayalan tetapi juga berunsur penghinaan. Pertama, kendati berangkat dari kajian empiris selama pelayarannya di Amerika Selatan, penyimpulan Darwin lebih bersifat dugaan (conjecture) ketimbang kepastian. Dalam konstruk epistemologi Islam, pengetahuan semacam ini disebut Ðann atau sangkaan. Validitasnya hanya sedikit lebih tinggi dari keragu-raguan dan kira-kira (wahm). Pengetahuan yang dibangun di atas teori serupa ini tidak sampai pada derajat yakin.
Mereka sekadar mengikuti sangka belaka, padahal sangkaan itu tidak bisa menggantikan kebenaran. (QS. an-Najm [53]:28).
Kedua, cerita evolusi itu juga mengesankan seolah-olah bangsa
kulit putih sajalah yang paling hebat. Tak salah jika banyak yang
menyebutnya ‘heroisme kolonial’.
Anehnya, khayalan Darwin itu menjelma menjadi dogma. “Susah untuk
menolak teori evolusi kalau ingin menjadi ahli biologi sekarang ini,
Pak!” ujar sahabat saya dari Unibraw, Malang. Ia ibarat rukun iman bagi
biolog modern. Di sinilah letak persoalannya. Ilmu-ilmu alam (natural sciences)
yang kita pelajari dan kita ajarkan kepada siswa dan mahasiswa ialah
ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa Eropa sejak 500
tahun terakhir. Mulai dari ilmu-ilmu alam hingga ilmu-ilmu sosial atau
humaniora.
Tak mungkin dipungkiri, ilmu-ilmu tersebut jelas diwarnai oleh akidah alias Weltanschauung
ilmuwan bersangkutan. Secara sadar ataupun tidak, pelbagai disiplin
ilmu yang kita konsumsi sekarang ini mengandung unsur-unsur halus
naturalisme, materialisme, dan sebagainya.
Tak jauh berbeda dengan khayalan ilmiah mengenai alam semesta. Konon,
kata para saintis, alam semesta ini ‘muncul’ akibat ledakan mahadahsyat
(Big Bang) yang terjadi sekitar 13.700 juta tahun silam. “Kalau
tidak percaya silakan hitung sendiri”, kata seorang teman setengah
berguyon. Ledakan tersebut melontarkan materi dalam jumlah sangat besar
ke segala penjuru. Materi-materi itulah yang mengisi alam semesta ini,
yang kemudian dinamakan bintang, planet, debu kosmis, asteroid, meteor,
energi, dan sebagainya. Inilah yang dikhayalkan oleh para saintis, bahwa
alam semesta ini terbentuk dengan sendirinya dan akan terus menerus
ada. Gambaran ini jelas memantulkan pandangan materialistis yang
menafikan kewujudan Tuhan.
Sayangnya, kebanyakan ilmuwan kita seperti tidak berkutik di hadapan
sains modern. Jauh dilubuk hati mereka mengakui AllÉh à sebagai pencipta
dan berkuasa atas segala sesuatu dari partikel terkecil hingga galaksi
dan jagat raya. Namun dalam pikiran mereka bertahta saintisme beserta
hulu-balangnya. Di saat kaum Muslim berlomba-lomba mengejar mantan
penjajah mereka dalam bidang sains dan teknologi, seruan ‘Islamisasi’
memang terdengar aneh. Apakah kaum Muslim harus menolak sains modern?
Oh, bukan itu maksudnya.
Islamisasi bermula dari kerangka berpikir, ‘worldview’ yang
terdiri dari gugusan konsep-konsep Islami berkenaan dengan Tuhan, Wahyu,
Nabi, Ilmu dan seterusnya. Ia berfungsi sebagai penyaring dan penepis
elemen-elemen yang tidak sesuai atau bertolak-belakang dengan
konsep-konsep Islami tersebut. Ini karena sesungguhnya cara kerja
pikiran kita tak ubahnya bagaikan sistem metabolisme badan. Meminjam
ucapan Seyyed Hossein Nasr, penulis buku Science and Civilization in Islam:
Tidak pernah ada sains yang diserap ke dalam sebuah peradaban tanpa
penolakan sedikit pun. Mirip dengan tubuh kita. Kalau kita cuma makan
saja, tetapi badan kita tidak mengeluarkan sesuatu, maka dalam beberapa
hari saja, kita akan mati. Sebagian makanan perlu diserap, sebagian lagi
harus dibuang
(No science has ever been integrated into any civilization without
some of it also being rejected. It’s like the body. If we only eat and
the body did not reject anything we would die in a few days. Some of the
food has to be absorbed, some of the food has to be rejected).
Artinya, kita hanya perlu bersikap lebih kritis dan selektif terhadap sains modern.
* Artikel ini pernah dimuat dalam Jurnal Islamia Republika edisi Agustus 2010
0 Komentar