Oleh: Rizal Aminuddin
TUJUH putuh tahun lalu,
tetapnya 22 Juni 1945, ditandatangi bersama suatu naskah “gentleman
agreement” oleh 9 orang anggota Panitia Sembilan suatu panitia kecil dr
BPUPKI yang masing-masing mewakil 2 kelompok besar di BPUPKI yakni
Nasionalis Sekular dan Nasionalis Islam antara lain; Soekarno
(Nasionalis – sekuler), Mohammad Hatta (Nasionalis -sekular), A.A.
Maramis (Nasionalis -sekular), Abikoesno Tjokrosoejoso
(Nasionalis-Islam), Abdul Kahar Muzakir (Nasionalis- Islam), H.Agus
Salim (Nasionalis-Islam), Achmad Subardjo (Nasionalis -sekular), H.
Wahid Hasjim (Nasionalis-Islam), dan Muhammad Yamin
(Nasionalis-sekular).
Naskah tersebut dipersiapkan sebagai teks Proklamasi yang di dalamnya ada rumusan resmi Pancasila I :
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluk-nya;
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyarawaratan/perwakilan;
5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyarawaratan/perwakilan;
5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
Naskah itulah yang sering disebut dengan “Piagam Jakarta”.
Lima dasar tersebut dimaksudkan akan
menjadi landasan filosofis bernegara yang merupakan hasil kompromi
kelompok yang ada di Indonesia baik berdasarkan agama atau suku/adat.
Akhirnya naskah tersebut tidak dibacakan
saat proklamasi 17 Agustus 1946 justru Soekarno, Hatta dan rekan-rekan
lainnya menyusun sendiri teks proklamasi yang kenal sampai sekarang ini.
Naskah Piagam Jakarta itu dibahas ulang
dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945 dengan hasil mengganti sila 1
Ketuhanan, dengan ‘kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluk-nya’ menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.
Sekalipun kecewa,. kelompok
nasionalis-Islam bisa menerima dengan harapan teks Sila 1 yang 7 kata
itu bisa dikembalikan dalam UUD Negara saat berikutnya.
Tapi perkembangan waktu tak kunjung datang ditepati janji itu khususnya oleh Soekarno.
Konon, Prof. A. Kahar Muzakkir (anggota Panitia Sembilan) pernah bertanya dalam suatu forum kepemudaan tentang kapan proklamasi kemerdekaan Indonesia?
Konon, Prof. A. Kahar Muzakkir (anggota Panitia Sembilan) pernah bertanya dalam suatu forum kepemudaan tentang kapan proklamasi kemerdekaan Indonesia?
Hampir semuanya menjawab 17 Agustus 1945. Tapi Prof. Kahar menjawab proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah pada 22 Juni 1945.
Karena teks Piagam Jakarta itu adalah teks
Proklamasi dan dibaca serta ditandatangi di Jakarta 22 Juni 1945 di
hadapan sidang BPUPKI yang di dalamnya ada wakil pemerintah Jepang
sebagai Wakil Ketua BPUPKI Itibangase Yosio.
7 kata itu ‘Ketuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluk-nya’ mempunyai arti
besar bagi kaum nasionalis-Islam baik yang saat itu dan sampai sekarang.
Sebab kalimat itu akan mempengaruhi
langsung arah bernegara dan kebijakan pemerintah Indonesia yang
penduduknya mayoritas Muslim.Bukan berati dengan adanya kalimat itu
kemudian meminggirkan dan menyepelekan umat yang non-Muslim, sebab
bagaimanapun, hak-hak mereka sebagai warga dan bangsa Indonesia wajib
dijaga dan diapresiasi menurut dasar kemanusian dan keadilan.
Karena dalam Islam itu suatu yang prinsip
dalam hubungan dengan antar manusia menjaga dan menjunjung tinggi harkat
kemanusiaan itu sendiri dan memberikan rasa keadilan.
Kita bisa ikuti dalam perdebatan di BPUPKI
saat merumuskan UUD Negara yang akan merdeka, pada saat membahas bentuk
pemerintahan, kelompok nasionalis-Islam yang diwakili Prof A. Kahar
Muzakkir dan dr. Sukiman W (belakangan menjadi Ketua Umum Partai Masyumi
yang pertama) lebih memilih bentuk pemerintahan Republik yang dipimpin
Presiden daripada bentuk kerajaan dipimpin seorang raja yang digawangi
oleh Prof. Mr. Soepomo, Muhammad Yamin serta bbrap anggt BPUPKI yang
berdarah ningrat kerajaan.
Sekalipun dalam sejarah perkembangan Islam
kisah pemerintahan dalam bentuk kerajaan jauh lebih mendominasi tapi
kelompok Nasionalis0Islam dengan dilhami oleh semangat 7 kata itu
memilih bentuk republik dengan Presiden kepala negaranya dikarena bentuk
republik lebih sebangun dengan bentuk pemerintahan dalam Islam pasca
wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, yakni Khalifah
Ar-rasyidah (Abubakar, Umar, Ustman & Ali).
Karena terpilihnya 4 orang tersebut bukan
didasarkan keturunan tetapi kapasitas, kapabilitasnya. Sedangkan bentuk
kerajaan akan mengutamakan keturunan dan tentu saja akan sulit
mengontrolnya. Bisa dibayangkan sekiranya Indonesia saat ini berbentuk
kerajaan.
Begitulah, besarnya sumbangan syariat Islam dan umat Islam bagi Republik Indonesia.
Sejarah akan selalu mencatatnya dan dapat menjadi pegangan ideologis dalam membangun bangsa dan bernegara.
Bagaimanapun, 7 kata “Piagam Jakarta” akan
selalu menghiasi setiap hajat strategis negara sepanjang Republik
Indonesia ada, akan menjadi pertimbangan dalam menentukan arah Negara.
Sekalipun 7 kata itu tak tertulis dengan
rapi dan seolah bukan dokumen penting. Tapi sejarah mencatat dialah
rumusan resmi Pancasila I. Wallahu a’lam.*
Penulis adalah Sekretaris DPW Partai Bulan Bintang (PBB) JATIM
0 Komentar