Ada kisah menarik yang terjadi pada tahun 1935 di Bandung, Jawa
Barat. Waktu itu sedang ramai dibincangkan masalah tentang hukum taqlid
dalam Islam. Nahdlatoel Oelama (NO) pada masa itu “mewajibkan taklid”,
sedangkan Persatoean Islam (Persis) “mengharamkan taqlid”. Dua pendapat
ini saling bertentangan.
Pada 15 November 1935, tersiar kabar bahwa NO cabang Bandung pada
17-18 November 1935 akan menyelenggarakan ceramah umum yang diisi oleh
Ketua Nahdlatoel Oelama (NO) KH Abdul Wahab. Tema ceramah tentang
“wajibnya taqlid”. Tentu yang dimaksud wajib taklid oleh NO adalah
taqlid yang dilakukan oleh orang-orang yang awam, yang tak mengerti
bahasa Arab, yang tak memenuhi syarat-syarat ijtihad. Sedangkan Persis
yang “mengharamkan taqlid” menyatakan bahwa bagi orang awam ada
kewajiban untuk ittiba’ (mengikuti), bukan taqlid. Ittiba’ yang dimaksud
adalah si awam wajib mengetahui dalil dari orang/ulama yang diikutinya.Dengan kabar kedatangan KH Abdul Wahhab, Persis kemudian mengirimkan surat yang ditujukan kepada NO cabang Bandung.
“Telah telah tersiar chabar, bahwa pada malam Senen 17 November
1935, toean Hadji Abdoel Wahhab Ketua Nahdlatul Oelama, akan berchoetbah
di mesjid Bandoeng, salah satoenya tentang masalah wadjib taqlied
kepada ‘Oelama. Lantaran itu kami harap toean Hadji Abdoel Wahhab suka
memboeang tempoh mengoeraikan masalah itu di mesjid Persatoean Islam,
kapan sadja ia soeka, tetapi diharap sangat kalaoe bisa di dalam tiga
ataoe empat hari ini. Kalaoe tidak soeka datang di tempat kami boeat
menerangkan masalah taqlied, maka kami harap Nahdlatoel Oelama Bandoeng
memberi kesempatan boeat kami berchoetbah di tempat toean-toean tentang
tidak boleh taqlied dengan beralasan Qoer’an dan Hadits dan ‘Oelama Ahli
Soennah waldjama’ah. Sekali lagi kami Oelangkan, bahwa lantaran masalah
ini sangat penting, harap ketua Nahdlatul Ulama jang soeka membela
kebenaran, akan datang ke tempat kami ataoe suka terima kedatangan kami
di tempat toean-toean oentoek bertoekar pikiran,” demikian surat
tertanggal 15 November 1935 yang mengatasnamakan “Goeroe-goeroe Persatoean Islam.”
Gayung bersambut, surat itu kemudian mendapat tanggapan dari Nahdlatul Ulama Cabang Bandung,
“Bersama ini soerat, dari kita kaoem N.O (Nahdlatul Oelama)
soedah menimbang dan memoetoeskan bahwa permintaan toean2 itu dikabulkan
dan waktoenja nanti malam selasa tanggal 18 dan ke 19 (November).
Toean-toean dipersilakan datang di tempat Cloebhoeis Nahdlatoel Oelama
Kopoweg (Jalan Kopo, ed). Pembitjaraan akan dimoelai djam 8 ba’da isja’.
Jang diperkenankan datang dari Toean2 hanya buat 6 orang sadja, dari 6
orang itu yang diperkenankan boeat menerangkan masalah terseboet hanya
boeat 1 orang sahaja,” demikian jawaban dari Bestuur N.O Cabang Bandung.
Perdebatan kemudian benar-benar terjadi. Orang-orang Persis datang ke
masjid N.O. Dari semula 6 orang yang diperbolehkan masuk, pada
kenyataan di lapangan ada sekitar 40 orang dari anggota Persis yang
diperbolehkan masuk untuk mendengarkan perdebatan tersebut. Pembicara
dari Persis adalah Tuan A. Hassan, guru utama organisasi tersebut.
Sementara dari N.O adalah KH Abdul Wahab, Ketuanya.
Meski kedua belah pihak berjanji untuk berdebat secara ilmiah, tidak
mengedepankan kekerasan, namun polisi datang untuk berjaga-jaga. Dari
para petinggi kiai N.O yang hadir adalah Kiai Roechiat dari Tasikmalaya,
Kiai Dimjati dari Babakan Tijaparai, dan Kiai Sjamsuddin dari Lembang.
Peserta masing-masing dari warga N.O dan Persis datang membludak
memenuhi masjid.
KH. Abdul Wahhab tampil lebih dulu memaparkan pendapatnya tentang
“wajibnya taklid”. Lalu kemudian Tuan A. Hassan tampil ke atas mimbar
memaparkan pendapatnya tentang “haramnya taqlid”. Keduanya saling
memberikan hujjah. Setelah itu saling mengucapkan terimakasih.
Pertemuan ditutup denga nasihat dari para kiai N.O agar masing-masing
pihak menerima kebenaran tanpa memandang kelompok “tua” dan “muda”.
Pertukaran pikiran usai. “Masing-masing berpisah dengan tjara
persaudaraan jang baik. Mudah-mudahan tjara jang begini didjadikan
tjontoh buat lain kali di sini dan di tempat-tempat lain,” demikian tulis Majalah Al-Lisaan milik Persatuan Islam yang melaporkan isi perdebatan tersebut.
Kisah di atas bisa menjadi pelajaran, bahwa berbeda pendapat adalah
hal biasa, selama disikapi dengan lapang dada, dan perbedaan tersebut
dilandasi dengan hujjah. Tak perlu ada caci maki, tak perlu ada “teror”
dengan cara aksi massa turun ke jalan menuntut diusirnya satu kelompok
oleh kelompok lain. Al-hujjah bil hujjah, ad-dalil bid dalil…lawan hujjah dengan hujjah, lawan dalil dengan dalil. Setelah itu berlapang dadalah dengan perbedaan. Wallahu a’lam.
—
Salam ukhuwwah!
Artikel diambil dari : Madjalah Al-Lisaan edisi “Extra Debat Taqlid” tahun 1935 dan disunting oleh Artawijaya
0 Komentar