Buku ini tipis. tak sampai 44 halaman. Namun perannya menjadi
penting. Ia menjadi sebuah mata rantai sejarah yang hilang. Kepingan
teka-teki yang terkubur. Apa sebab? Sajian utama buku ini adalah sebuah
pidato Ki Bagus Hadikusumo di depan sidang BPUPKI tahun 1945. Tak perlu
dijelaskan panjang lebar, sidang itu dilakukan untuk menentukan dasar
negara tanah air kita. Ia hadir sebelum pancasila dilahirkan. Endang
Saifuddin Anshari melukiskan, sidang itu terbagi menjadi 2 golongan.
Nasionalis Islam dan Nasionalis sekuler.[1] Masing-masing berpidato
membentangkan pendiriannya. Anehnya semua pidato pihak Islam tidak
tercatat dalam arsip risalah sidang yang dibukukan. Raib entah kemana.
Termasuk pidato Ki Bagus Hadikusumo.[2]
Adalah sebuah buku yang diterbitkan oleh Djarnawi Hadikusumo (putra
Ki bagus Hadikusumo), dalam menyambut sidang konstituante tahun 1957
memberikan sebuah pencerahan. Sebuah pidato Ki bagus Hadikusumo pada
sidang BPUPKI itu tersaji dalam buku tipis ini. Bab lain dalam buku ini
berisi tulisan Ki Bagus berjudul Achlaq Pemimpin. Dan satu sajian lainnya mengenai masyarakat Islam yang ditulis oleh Djarnawi Hadikusuma berjudul Masyarakat Islam yang Sebenarnya.
Pidato tersebut disunting oleh Djarnawi seperlunya. Termasuk
menghilangkan kalimat pembuka berupa ucapan terima kasih kepada
pemerintah Jepang. Namun tidak menghilangkan esensi dari pidato Ki
bagus, yaitu meminta agar bangsa ini berdiri di atas dasar Islam.
Lahir di Yogyakarta tahun 1890, Ki Bagus Hadikusumo, lahir dari
keluarga Islami. Ayahnya seorang Lurah Kraton bernama Haji Hasjim
Ismail. Tinggal di Yogyakarta, di sebelah utara pekarangan, dekat rumah
KH Ahmad Dahlan. Anak-anak Haji Hasjim Ismail inilah termasuk yang
pertama-tama menorehkan namanya, dalam sejarah pergerakan Islam modern
di Indonesia.
Anak Haji Hasjim yang kedua bernama bernama Daniyalin, kemudian
dikenal sebagai Haji Syuja. Beliaulah yang menjadi ketua pertama Hoofdbestur
Muhammadiyah, Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Kemudian
adiknya bernama Dzajuli, yang kelak kemudian dikenal sebagai Haji
Fachrodin. Seorang pemimpin pergerakan Islam, pegiat di surat kabar,
pemimpin kaum buruh, yang kemudian terjun pula menjadi tokoh Sarekat
Islam. Dan adik Haji Fachrodin, bernama Hidayat, kelak dikenal sebagai
pemimpin Muhammadiyah, bernama Ki Bagus Hadikusuma.[3]
Pada awal pidatonya Ki Bagus Hadikusuma menekankan, bahwa manusia
itu hidup bermasyarakat. TIdak bisa hidup, jika tidak menerima
pertolongan orang lain. Dan Allah mengirimkan para Nabi agar memimpin
masyarakat. Menurut Ki Bagus Hadikusuma, wakil rakyat dalam
bermusyawarah, harus dapat berlaku sebagai waris para Nabi dan segala
perbuatan harus berdasarkan keikhlasan, suci dari sifat tamak dan
mementingkan diri dan golongan sendiri.
Begitu pentingnya sidang BPUPKI karena menentukan dasar negara,
sehingga ditengah pidatonya, Ki Bagus Hadikusumo mendoakan para peserta
sidang, “Ya Allah berikan kami petunjuk ke jalan yang benar, yaitu jalan
yang telah engkau beri nikmat dan bukan jalan orang-orang yang engkau
murkai, bukan pula jalan orang-orang yang sesat.”
Beliau kemudian melanjutkan, “Bagaimanakah dan dengan pedoman
apakah para Nabi itu mengajar dan memimpin umatnya dalam menyusun negara
dan masyakarat yang baik? Baiklah saya terangkan dengan tegas dan
jelas, ialah dengan bersendi ajaran agama.”
Ki Bagus kemudian meminta, “…bangunkanlah negara diatas ajaran Islam.” Sebagai dasar, beliau mengutip surar Ali Imron ayat 103 dan Al Maidah ayat 3. Menurutnya, “Agama adalah pangkal persatuan, janganlah takut di mana pun mengemukakan dan mengetengahkan agama.”
Ia menyindir orang yang takut sekali dan berhati-hati jika hendak
membentangkan dan mengetengahkan agama, karena takut terjadi
perselisihan. Ia menegaskan, padahal bukan perkara agama saja, yang jika
dibicarakan dengan tidak jujur, suci dan ikhlas, akan menimbulkan
akibat demikian. Republik, monarki, sarekat atau kesatuan pun dapat
menyebabkan hal itu. Menurutnya, semua ini terjadi sebagai akibat dari
politik penjajahan yang memecah-belah.
Ki Bagus Hadikusuma juga menyoroti soal pemerintahan yang adil dan
kebebasan beragama. Pemerintahan yang adil dan bijaksana berdasarkan
budi pekerti yang luhur dan bersendikan permusyawaratan, tidak akan
memaksa tentang agama. Ia mendasarkan pada surat An Nisa ayat 5, Ali
Imron ayat 159, dan Al-Baqarah ayat 256.
Diakhir pidatonya, ia menukaskan, bahwa, “Agama Islam membentuk
potensi kebangsaan lahir dan batin, serta menabur semangat kemerdekaan
yang menyala-nyala. Jadikan Islam sebagai asas dan sendi negara!”
Umat Islam, menurutnya “…karena pengaruh imannya,. Benar-benar
mempunyai hidup yang bersemangat, yang pada tiap saat dapat dengan amat
mudah dapat dibangkitkan serentak, dengan mengeluarkan api yang
berkobar-kobar untuk berjuang mati-matian membela agamanya, serta
mempertahankan tanah air dan bangsanya.”
Ia lalu mempertanyakan, jika ada yang berkata agama itu tinggi dan
suci, dan tidak pantas diterapkan untuk mengurus negara, maka apakah
mereka mau bernegara diikat oleh pikiran yang rendah dan tidak suci?
Diakhir pidatonya Ki Bagus Hadikusumo menutup dengan kalimat, “Mudah-mudahan
Negara Indonesia baru yang akan datang itu, berdasarkan agama Islam dan
akan menjadi negara yang tegak dan teguh, serta kuat dan kokoh. Amien!”[8]
Senafas dengan “Islam sebagai Dasar Negara”, tulisan lainnya dalam buku ini, berjudul Achlaq Pemimpin
menyempurnakan pandangan Ki Bagus tentang sifat-sifat pemimpin. Beliau
mengutarakan setidaknya ada delapan sifat seorang pemimpin, yaitu,
Istiqomah; Tawakkal; Selpkoreksi (self correction-pen) serta
tidak mencari-cari kesalahan dan cela orang lain; Adil dan jujur;
Tawadlu dan tidak takabbur; Menetapi janji; Sabar dan halim (lembut hati
dan peramah); dan Hidup sederhana.
Begitu pula tulisan tambahan Djarnawi Hadikusumo mengenai masyarakat Islam yang berjudul Masyarakat Islam yang Sebenarnya (The True Islamic Society).
Beliau mengungkapkan banyaknya ketakutan akan kalimat “Masyarakat
Islam.” Biasanya akan dibayangkan dengan Sultan yang sewenang-wenang dan
memiliki beratus-ratus gundik. Atau ketakutan akan dikurungnya
wanita di dapur dan terkekang. Kejam dan sebagainya. Menurutnya
ketakutan ini karena mereka tak tahu tentang masyarakat Islam itu.
“Masyarakat Islam yang sebenarnya ialah masyarakat di mana hukum
Allah berlaku dan dijunjung tinggi menjadi sumber segala hukum lainnya”
Menurutnya, dengan menyelaraskan perkembangan masyarakat dengan
hukum-hukum Allah yaitu tidak hanya menghasilkan teraturnya masyarakat (sociale orde) tetapi
juga akan membuahkan kebahagiaan dan keadilan yang sempurna, yang tidak
dicapai oleh norma-norma ciptaan manusia. Djarnawi juga menambahkan,
semakin dalam mempelajari hukum Islam, terlihat bahwa hokum Islam tidak
hanya, “…merupakan perlindungan bagi kaum yang mempunyai milik, dari
gangguan timbulnya dari mereka yang tidak bermilik, tetapi perlindungan
bagi kedua pihak.”
Keadilan hanya akan didapatkan dengan hukum yang diciptakan oleh
Allah, bukan buatan manusia.
Djarnawi kemudian mengingatkan, bahwa
ciptaan manusia,
“…pada akhirnya, makin tua umur dunia, semua menjadi relatif.
Akhirnya segala norma-norma sosial akan menjadi kabur dan hilang sama
sekali, dan manusia akan hidup tanpa norma.”
Pokok-pokok yang dibahas dalam buku ini sesungguhnya masih
berhubungan dengan tantangan umat saat ini. Keragu-raguan akan hukum
Islam sejak dahulu sampai sekarang masih saja sama. Lagu lama yang terus
diputar berulang-ulang.
Semua tulisan yang tersaji dalam buku ini walaupun ditorehkan dalam
waktu yang berbeda-beda, tetap terangkai menjadi satu susunan pedoman
bagi umat untuk penyelenggaraan negara ini. Buku Islam Sebagai Dasar Negara
tidak saja berharga sebagai pedoman umat, namun menunjukkan kepada kita
betapa dihargainya ulama pada saat itu. Namun kini, lebih dari setengah
abad kemudian, seruan beliau hampir tak terdengar. Tertelan diantara
riuhnya hiruk pikuk sejarah yang meminggirkan umat Islam. Menjadi seruan
sunyi seorang ulama.
[1] H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta. Dan Sejarah
Konsesnsus Nasional Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekular”
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, Putaka-Perpustakaan Salman ITB, Bandung, 1981
[2] Ibid
[3] Mu’arif, Benteng Muhammadiyah. Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Haji Fachrodin (1890-1929), Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, 2010.
Judul : Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin
Penulis : Ki Bagus Hadikusuma & Djarnawi Hadikusuma
Penerbit : Pustaka Rahaju
Halaman : 44
Tahun Terbit : Tidak ada.
Oleh : Begg
0 Komentar