Oleh: Eka Sugeng Ariadi
Seketika setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kembali dari Gua Hira, mendapatkan wahyu pertama kali dari Allah Subhanahu wa Ta’ala(QS. Al A’la; 1-5) melalui malaikat Jibril, beliau langsung pulang menemui istrinya, Khadijah Radhiyallahu Anha.
Begitu sampai di rumah, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallamduduk di paha istrinya dan bersandar padanya. Khadijah Radhiyallahu Anhabertanya, “Hai Abu Al Qasim, dimana engkau berada? Sungguh, aku telah mengutus orang-orangku untuk mencarimu hingga mereka tiba di Makkah Atas, kemudian pulang tanpa membawa hasil.”Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallammenceritakan apa yang baru saja terjadi. Khadijah lantas berkata, “Saudara misanku, bergembiralah, dan tegarlah. Demi Dzat yang jiwa Khadijah berada di tangan-Nya, sungguh aku berharap kiranya engkau menjadi Nabi untuk umat ini.”
Subhanallah, respon Khadijah Radhiyallahu Anha adalah jawaban cerdas dan menenangkan batin suami yang kala itu dalam kebimbangan luar biasa, bertemu dengan sosok manusia laki-laki yang lututnya saja membentang dari ufuk barat hingga timur, belum lagi saat menerima wahyu itu Jibril memaksa beliau membaca hingga berulang-ulang. Khadijah Radhiyallahu Anha sama sekali tidak turut bingung dan bimbang seperti kebiasaan manusia pada umumnya.Apa yang lantas dilakukannya? Khadijah Radhiyallahu Anha beranjak menemui saudara misannya, pemeluk agama Nasrani, pembaca kitab-kitab, dan mendengar dari orang-orang Yahudi dan Nasrani; Waraqah bin Naufal. Barangkali dalam terminologi hari ini, Waraqah adalah seorang agamawan sekaligus cendekiawan. Khadijah Radhiyallahu Anha menceritakan persis seperti apa yang diceritakan suaminya. Akhirnya, Waraqah berkata, “Mahasuci Allah. Mahasuci Allah. Demi Dzat yang jiwa Waraqah ada ditangan-Nya, jika apa yang engkau ceritakan benar wahai Khadijah, sungguh suamimu didatangi Jibril yang dulu pernah datang kepada Musa. Sungguh suamimu adalah Nabi untuk umat ini. Katakan padanya agar ia bersabar.” Setelah sampai di rumah, Khadijah Radhiyallahu Anhamenceritakan jawaban Waraqah yang baru saja ia terima.
Apa yang dilakukan Khadijah Radhiyallahu Anha merupakan bentuk kecerdasan literasinya yang luar biasa untuk ukuran seorang wanita pada saat itu.
Kecerdasan yang diperoleh bukan hanya sekedar membaca isi QS. Al Alaq ayat 1-5, tetapi membaca seluruh fenomena perubahan jalan hidupnya bersama suaminya tercinta. Secara psikologis, berita kenabian dari suaminya tidak ditelan mentah-mentah ataupun dimuntahkan begitu saja, namun beliau tetap berusaha berpikir tenang, kritis dan masuk akal. Informasi yang diterima dari sang suami, tak lantas dipublikasikan agar semua orang tahu dan mengikutinya. Secara akademis, Khadijah langsung mencari rujukan dan referensi ilmiahnya, khususnya pada ahli agama yang benar-benar mumpuni saat itu.
Rasa cintanya yang dalam dan kepercayaan yang kokoh kepada suaminya, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,tidak mengurangi tingkat kecerdasan literasi dan logika keimanannya.
Inilah pengejahwantahan model kecerdasan literasi ideologis, sebagaimana Rednaningdyah (2004) sampaikan bahwa model ini tidak saja menjadi transformasi kognitif dan sosial seseorang, tetapi juga secara kontekstual, hubungan kekuasaan yang mendorong atau menghambat terjadinya transformasi ini akan bisa diungkap. Sebagai seorang muslim, layak kiranya menjadikannya sebagai Ibu Literasi kaum muslimin.
Satu lagi contoh tingkat kecerdasan literasi ideologis Khadijah Radhiyallahu Anha, awal-awal diangkatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang karenanya beliau mendapatkan pujian dan salam secara khusus dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Yaitu ketika beliau ‘mengetes’ secara ilmiah, logis, dan masuk akal tentang keberadaan Malaikat Jibril ketika bertemu suaminya. Khadijah Radhiyallahu Anha, “Hai saudara misanku, bisakah engkau cerita kepadaku tentang sahabatmu (Malaikat Jibril) yang datang kepadamu?”. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, menjawab, “Ya, bisa.”“Jika ia datang lagi kepadamu, maka ceritakan kepadaku!”. Tak lama setelah itu, Jibril datang seperti biasanya. Setelah memberitahu kehadiran Jibril, Khadijah Radhiyallahu Anha meminta suaminya duduk di pada kirinya, lantas bertanya, “Apa engkau melihatnya?”. “Ya.”, jawab Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Kemudian pindah posisi duduk ke sebelah kanan, pertanyaan dan jawabannya sama.
Lalu, duduk di pangkuan, pertanyaan dan jawabannya pun sama, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam masih melihat Jibril. Akan tetapi, begitu Khadijah Radhiyallahu Anha dengan sengaja membuka wajah dan kerudungnya, jawabannya berbeda, ternyata Malaikat Jibril tidak ada.
Khadijah Radhiyallahu Anhapun berkata, “Saudara misanku, bergembiralah dan bersabarlah. Demi Allah, sungguh dia adalah malaikat bukan Syetan.”
Subhanallah, sungguh luar biasa kemampuan literasi ideologis Khadijah Radhiyallahu Anha, mengantarkannya memiliki pola pikir dan pola sikap yang lebih cerdas dari sebelumnya.
Setelah peristiwa itu, beliau semakin yakin bahwa suaminya benar-benar bersama Malaikat Jibril,bukan bersama Syetan, karena selain Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, tidak ada yang mampu melihat Jibrik dengan kasat mata.
Tingkat kecerdasan dan keimanan inilah perpaduan yang membentuk ideologinya, yang tidak dengan sekedar dibangun dari tekstual ayat-ayat yang sudah diturunkan, akan dilengkapi dengan kontekstual hubungan praktik sosial yang saat itu terjadi.*
Mahasiswa Pascasarjana Unesa Surabaya
Sumber: https://www.hidayatullah.com/artikel/mimbar/read/2016/09/24/101406/kecerdasan-literasi-ibunda-khadijah.html
0 Komentar