Oleh: Andi Ryansyah
WACANA pemerintah soal standardisasi khatib patut dikritisi. Alasan Kementerian Agama (Kemenag) mengangkat itu karena adanya masyarakat yang mengeluh dengan khutbah yang mencaci, mencela, dan mengkafir-kafirkan (https://www.kemenag.go.id/berita/451877/lagi-menag-tegaskan-pemerintah-tidak-intervensi-isi-khutbah).
Pertanyaan perlu diajukan. Siapa masyarakat ini? Dan seperti apa isi khutbah itu?
Bila Kemenag belum bisa menerangkannya, maka wajar kita curiga. Apalagi wacana ini muncul saat sedang panas-panasnya kasus penistaan agama dan kompetisi Pilkada. Sangat sensitif! Jangan-jangan khatib yang mengecam mulut Ahok yang dikenal tidak memiliki kesopanan, terbukti menista Al-Qur’an dan ulama, dianggap begitu.
Jangan-jangan khatib yang menyeru aparat menyeret Ahok ke penjara, dianggap begitu. Atau jangan-jangan khatib yang menyatakan Ahok kafir dan menegaskan haram memilih pemimpin kafir, juga dianggap begitu. Kemenag harus gamblang menjelaskan! Agar kita tak salah paham. Biar tak gaduh.
Kata Kemenag, standardisasi itu ulama memberikan kriteria kualifikasi atau kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang khatib Jum’at agar khutbah memang disampaikan oleh ahlinya, serta sesuai syarat dan rukunnya. Kalau begini, sepertinya itu sudah ada sejak zaman Rasulullah. Sudah ada panduannya di hadits dan kitab-kitab bukan? Lalu buat apa bikin lagi? Tak perlu lah meragukan kemampuan para khatib kita. Sudah lama khatib-khatib kita berkhutbah. Dan damai-damai saja.
Seperti diakui Tokoh Masyumi, Mohamad Roem, dalam bukunya “Bunga Rampai dari Sejarah 3” terbitan 1983. “Khatib harus memenuhi syarat-syarat untuk boleh memberi khutbah di masjid. Ia harus hafal surat-surat yang akan dibacakan, dan mengucapkannya dengan fasih. Ia seorang yang dipilih oleh jamaah. Dan lagi hal itu sudah berjalan berabad-abad juga. Suasana masjid harus dijaga. Justru suasana masjid itu menjamin khatib tidak akan melampaui batas yang baik-baik.”
Dalam standardisasi khatib, lanjut Kemenag, pihaknya tidak akan mengatur-atur isi khutbah. Tapi bila kita melihat alasan mereka menstandardisasi khatib di awal tadi, sangat nyata mereka ingin isi khutbah sesuai seleranya. Hanya saja seleranya dititipkan kepada ulama yang nantinya menstandardisasi khatib. Yang harapannya tentu ulama menuruti seleranya. Pendeknya, ulama dijadikan alat mereka!
Bila kita membaca sejarah, maka sikap mereka mirip dengan tindakan rezim Orde Baru. Hanya saja lebih soft.
Mengingat Sjafruddin Prawiranegara dan A.M. Fatwa
Ada kisah terkait Sjafruddin Prawiranegara dan A.M. Fatwa. Kala itu, seperti diceritakan Tempo (23/8/1980), penguasa Orde Baru memberi syarat kepada dua orang yang akan menjadi khatib shalat Idul Fitri, yaitu Sjafruddin Prawiranegara dan A.M. Fatwa, agar menyerahkan teks khutbahnya kepada panitia untuk dicek sebelum disampaikan. Ini dilakukan karena penguasa menganggap khutbah kedua tokoh ini biasanya memancing emosi masyarakat.
Pemeriksaan teks khutbah ini tentu saja agar isi khutbah sesuai dengan selera penguasa. Sangat lucu bukan, khatib dinasihati penguasa?
Awalnya, Sjafruddin tidak mau menyerahkan teks khutbahnya. Namun setelah diminta berkali-kali, ia mengalah. Setelah dicek oleh Asisten Intelijen Kodam V Jaya, Kolonel Agus, khutbahnya yang berjudul “Kembali kepada Pancasila dan UUD 1945” dianggap menyinggung masalah Pancasila dan UUD 1945 yang bisa menggelisahkan masyarakat.
Menurut Menteri Agama Alamsjah Ratoe Perwiranegara kala itu, 80% dari isi khutbahnya ialah soal-soal politik. Pihak Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda) lalu memintanya menghapus masalah-masalah politik. Namun Sjafruddin menolak. Akibatnya, ia dilarang menjadi khatib.
Berbeda dengan Sjafruddin, A.M. Fatwa sejak awal menolak menyerahkan teks khutbahnya yang berjudul “Tegakkan Pancasila dalam Wajah Manusia, bukan dalam Wajah Hantu.” Akhirnya, panitia menggeser tugasnya dari khatib menjadi imam. Sementara, tugas khatib digantikan oleh Kosim Nurseha Notowardoyo dari Dinas Pembinaan Mental TNI AD.
A.M. Fatwa jelas tidak suka. Sebelum mengimami shalat, ia sampaikan kepada jamaah bahwa dirinya batal menjadi khatib karena dilarang pihak yang berwajib. Selesai shalat, Kosim ceramah. Tak disangka, keributan pecah!
Begitu Kosim naik mimbar, teriak-teriakan mulai terdengar menyuruh ia turun dan A.M. Fatwa naik. Beberapa benda dilempar ke arah khatib. Tapi Kosim bergeming. Khutbahnya jalan terus. “Berbagai caci-maki ditujukan pada saya, tapi saya teruskan khutbah sampai selesai,” kata Kosim.
Sebagian jamaah yang ditaksir berjumlah 18 ribu orang itu berusaha mendekati mimbar. Namun dicegah para petugas keamanan dengan tembakan ke atas, “Dor!”
Sebagai buntut dari keributan itu, A.M. Fatwa ditahan pada tanggal 12 Agustus 1980. Namun pada 14 Agustus 1980, ia dibebaskan dengan status tahanan kota melalui Surat Izin Jalan Komando Operasi Pemulihan dan Keamanan Daerah (Kopkamtibda) Jaya. Surat ini, menurut Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, tak dikenal dalam prosedur dan proses hukum acara di Indonesia.
Andai penguasa tidak ikut campur dan melarang A.M. Fatwa jadi khatib, mungkin kejadiannya akan lain. Tak akan ada keributan yang kita sesalkan itu dan tak akan ada duka di hari raya.
Tahun sebelumnya, A.M. Fatwa juga sempat ditahan beberapa hari lantaran khutbahnya yang berjudul “Para Pemimpin Sadar dan Istighfarlah” dianggap terlalu keras mengecam pemerintah. Akibatnya, ia juga dipecat sebagai karyawan DKI.
Setelah insiden di hari raya itu, berkumpulah Menteri Agama, Alamsyah, Ketua MUI, Buya Hamka, Ketua MUI Jakarta, Kiai Abdullah Syafi’ie, dan Laksusda Jaya di gedung Departemen Agama. “Prak, prak, prak!” Tiga kali, Hamka memukul meja. Alamsyah dan Kiai Syafi’ie yang duduk di sampingnya sampai terkejut.
“Saya tidak setuju kesempatan berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha dijadikan medan politik!” tegas Hamka.
Menurut Hamka, kedua hari raya itu adalah hari suci, hari perdamaian, dan hari gembira. “Sayang, masih ada rekan-rekan yang menggunakan kesempatan itu untuk mengungkapkan ketidakpuasan politiknya,” ungkapnya.
Soal pengecekan teks khutbah, Hamka juga tidak suka. “Kalau semua khatib, khutbahnya harus diperiksa dulu, saya berhenti saja jadi khatib!” tegasnya.
Timbulnya keresahan, keributan, dan kegaduhan akibat politik penguasa Orde Baru yang mencurigai dakwah Islam dengan mempersempit gerak khatib, sepatutnya menjadi pelajaran mahal bagi kita. Bahwa mengatur-atur isi khutbah khatib bukanlah tindakan yang dewasa. Sudah menjadi kewajiban bagi para khatib untuk lantang menyuarakan kebenaran dan keadilan dengan berpegang ajaran Islam. Maka alangkah bijaknya bila pemerintah membuang jauh-jauh wacana standardisasi khatib itu.*
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)/jejakislam.net
Sumber: https://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2017/02/07/111279/mempersempit-gerak-khatib-di-era-orde-baru.html
0 Komentar