Oleh: Dr Syamsuddin Arif
– Sir Isaac Newton
HAMPIR setiap orang kenal –meski hanya lewat buku
pelajaran di sekolah- siapa Robert Boyle (1691), Isaac Newton (1727)
atau Charles Darwin (1882). Mereka adalah saintis-saintis asal England
yang namanya cukup akrab di telinga kita. Tetapi coba kita perhatikan
angka-angka yang menunjuk tahun kematian mereka, niscaya timbul
pertanyaan: Apakah yang dikerjakan oleh orang-orang Inggris sebelum
tahun 1600?Apakah penduduk Britania sebelum abad itu tahunya cuma berburu dan berkelahi seperti halnya bangsa-bangsa barbarik lain di Eropa?
Dalam sepucuk surat yang ditulisnya untuk Robert Hooke sahabat karibnya, Newton sempat menyadari bahwa jika ia pandangannya menjangkau lebih jauh maka hal itu lantaran ia berdiri di atas pundak para raksasa (“If I have seen further, it is by standing on the shoulders of giants”).
Pernyataan ini patut mengingatkan kita bahwa saintis tidak muncul sekonyong-konyong dari langit biru. Para saintis belajar dari apa yang diwariskan oleh para pendahulunya. Mereka mewarisi para ilmuwan terdahulu. Kalau sebelum Newton ada yang namanya Galileo Galilei (1642) dari Itali dan Nicolas Copernicus (1543) asal Polandia, dua tokoh yang kerap disebut sebagai pelopor sains modern, maka patut ditanya siapakah saintis-saintis yang giat menggarap penelitian, melakukan temuan-temuan dan terobosan kreatif-inovatif pada abad-abad sebelumnya? Sedikit sekali diantara kita yang tahu ternyata Kepler dan Copernicus itu terinspirasi oleh al-Battani yang kitabnya diterjemahkan ke bahasa Latin dengan judul De scientia stellarum.
Jawaban yang kerap kita dengar umumnya terkesan naïf dan distortif: bangsa Eropa memang sudah hebat ‘dari sononya’ –bermula sejak zaman Yunani kuno hingga runtuhnya imperium Romawi pada abad ke-5 Masehi diteruskan dengan ‘tidur panjang’ ratusan tahun lamanya sampai terbitnya cahaya Islam mengakhiri apa yang mereka sebut sebagai Zaman Kegelapan. Soal adanya ‘mata-rantai yang hilang’ dalam rentetan sejarah keilmuan yang mencakup filsafat, sains, dan teknologi ini belakangan mulai banyak disadari. Hal ini telah ditegaskan antara lain oleh Michael H. Morgan: “Most Westerners have been taught that the greatness of the West has its intellectual roots in Greece and Rome, and that after the thousand-year sleep of the Dark Ages, Europe miraculously reawakened to its Greco-Roman roots” (lihat: Lost History: The Enduring Legacy of Muslim Scientists, Thinkers, and Artists (Washington D.C., 2007, hlm. Xv. Tetapi pada saat yang sama terdapat upaya untuk menenggelamkan fakta sejarah ini oleh segelintir orang seperti Sylvain Gouguenheim yang sempat membuat heboh beberapa waktu lalu.
Dari Alexandria ke Baghdad
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa warisan intelektual Yunani kuno dalam berbagai cabang ilmu telah dipelihara dan dikembangkan oleh orang-orang Islam. Seiring dengan sukses mereka menyebarkan Islam ke seluruh jazirah Arabia, Afrika Utara (Mesir, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko), Syria, Palestina, Mesopotamia (Iraq), Persia (Iran), Transoxiana (Asia Tengah), semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal) dan terakhir India, kaum Muslim terdorong mempelajari dan memahami tradisi intelektual negeri-negeri yang ditaklukkannya. Mulailah diterjemahkan karya-karya ilmiah dari bahasa Yunani (Greek) dan Suryani (Syriac) ke dalam bahasa Arab pada zaman pemerintahan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, Suriah.
Akselerasi terjadi setelah tahun 750 M, menyusul berdirinya Daulat ‘Abbāsiyyah di Baghdad. Seperti dinasti sebelumnya, penguasa ‘Abbasiyah banyak merekrut kaum terpelajar setempat sebagai pegawai dan staf ahli. Sebutlah, misalnya, Ibn al-Muqaffa‘ (w.ca. 759 M) dan Yahyā ibn Khālid ibn Barmak (w. ca. 803 M), cendekiawan dan politisi keturunan Persia yang diangkat jadi menteri pada masa itu. Lalu pada zaman pemerintahan Khalifah al-Ma’mūn (w. 833 M) digaraplah proyek penerjemahan, riset dan pengembangan secara masif. Ia mendirikan sebuah research centre dan perpustakaan yang dinamakan Bayt al-Hikmah.
Di antara mereka yang aktif sebagai penerjemah dan peneliti tersebutlah nama-nama semisal Hunayn ibn Ishāq dan anaknya Ishāq ibn Hunayn, Abu Bishr Mattā ibn Yūnus, dan Yahyā ibn ‘Adī. Di akhir abad ke-9 M, hampir seluruh korpus saintifik Yunani telah berhasil dialih-bahasakan ke Arab, meliputi berbagai bidang ilmu, dari kedokteran, matematika, astronomi, fisika, hingga filsafat, astrologi dan alchemy (Lihat: Ibn an-Nadīm, Kitāb al-Fihrist, ed. G. Flügel, 2 jilid (Leipzig, 1871), 1: 248-51; Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam (London, 1965); F.E. Peters, Aristoteles Arabus (Leiden, 1968); dan Max Meyerhoff, “Von Alexandrien nach Baghdad. Ein Beitrag zur Geschichte des philosophischen und medizinischen Unterrichts bei den Arabern,” Sitzungs- berichte der Preussischen Akademie der Wissenschaften. Philosophisch-historische Klasse (1930): 389-429.
Maka tak lama kemudian muncullah Jābir ibn Hayyān (w.ca. 815 M), pakar kimia terkenal, al-Kindī (w. 873), ahli filsafat dan matematika, Abu Ma‘syar (w. 886 M), ilmuwan astronomi, al-Khwārizmī (w.ca. 863 M), pelopor matematika modern, Ibn Sīna (w. 1037 M) begawan metafisika dan kedokteran, Ibn al-Haytsam (w. 1040 M) ahli fisika, al-Bīrūnī (w. 1048 M), pengasas anthropologi modern, al-Idrīsī (ca. 1150 M) pakar geografi, dan masih banyak sejumlah nama besar lainnya. Rincian kontribusi mereka bisa disimak dalam: The Encyclopedy of the History of Arabic Science, ed. Roshdi Rashed, 3 jilid (London, 1996); The Legacy of Islam, ed. Joseph Schacht dan C.E. Bosworth (Oxford, 1974); Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, 1968); Eilhard Wiedemann, Aufsätze zur arabischen Wissenschaftgeschichte, 2 jilid (New York, 1970); Edward S. Kennedy, Studies in the Islamic Exact Sciences (Beirut, 1983); J.L. Berggren, Episodes in the Mathematics of Medieval Islam (New York, 1986).
Kegemilangan ilmiah ini berlangsung selama beberapa ratus tahun, ditandai dengan produktifitas yang tinggi dan orisinalitas yang luar biasa. Sebagai ilustrasi, al-Battānī (w. 929 M) telah mengoreksi dan memperbaiki sistem astronomi Ptolemeus, mendesain katalog bintang, merancang pembuatan pelbagai instrumen observasi, termasuk desain jam matahari (sundial) dan alat ukur mural quadrant. Kritik terhadap Ptolemeus juga dikemukakan oleh Ibn Rusyd (w. 1198 M) dan al-Bitrūjī (w.ca. 1190). Dalam bidang fisika, Ibn Bājjah (w. 1138) mengantisipasi Galileo dengan kritiknya terhadap teori Aristoteles tentang daya gerak dan percepatan. Demikian pula dalam bidang-bidang saintifik lainnya. Bahkan dalam hal teknologi, pada sekitar tahun 800an M di Andalusia, Ibn Firnas telah merancang pembuatan alat untuk terbang mirip dengan rekayasa yang dibuat oleh Roger Bacon (w. ca. 1292 M) dan belakangan diperkenalkan oleh Leonardo da Vinci (w. 1519 M).*/bersambung
0 Komentar