PP Muhammadiyah
menilai RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu disahkan menjadi
Undang-Undang
Jika ditelaah secara cermat dan jujur,
berdasarkan proses penyusunan Pancasila itu sendiri sebenarnya lebih masuk akal
jika pemahaman Ketuhanan Yang Maha Esa lebih merujuk kepada konsep ketuhanan
dalam Islam, yaitu konsep tauhid. Sebab, rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu
memang datang dari para tokoh Islam, seperti KH Wachid Hasyim (NU), Kasman
Singodimedjo, Ki Bagus Hadikoesoemo (Muhammadiyah), dan sebagainya. Rumusan itu
juga muncul sebagai kompensasi dari dihapuskannya tujuh kata (dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dalam sidang penetapan UUD
1945 pada 18 Agustus 1945.
Pancasila yang resmi
berlaku saat ini adalah rumusan Pancasila hasil sidang PPKI 18 Agustus 1945
yang kemudian diperkuat lagi dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dalam sejarah
Indonesia, ada lima jenis rumusan Pancasila yang pernah diterapkan secara
resmi.
Pertama, rumusan Piagam Jakarta (yang
sila pertamanya berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya).
Kedua, rumusan pembukaan UUD 1945 yang telah
ditetapkan PPKI 18 Agustus 1945 (yang sila pertama berbunyi: Ketuhanan Yang
Maha Esa).
Ketiga, rumusan versi Konstitusi Republik Indonesia
Serikat (RIS), yaitu: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Perikemanusiaan, (3) Kebangsaan,
(4) Kerakyatan, dan (5) Keadilan Sosial. Rumusan ini berlaku 27 Desember 1949.
Keempat, rumusan UUDS 1950 yang isinya sama dengan
rumusan UUD RIS.
Kelima, rumusan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang
isinya sama dengan rumusan 18 Agustus 1945, tetapi ada penegasan bahwa, “Piagam
Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan
dengan konstitusi tersebut.”
Adalah menarik rumusan
Tim Lima pimpinan Bung Hatta tersebut, yang menyatakan bahwa “Dasar Ketuhanan
Yang Maha Esa jadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita, yang
memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil, dan baik
….” Pemaknaan seperti ini tentu bukanlah sembarangan jika Ketuhanan Yang Maha
Esa dimaknai sebagai konsep tauhid. Sebab, itu berarti sama saja dengan
menyatakan bahwa tauhid Islam menjadi dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan
Indonesia. Penafsiran semacam ini, bagi para tokoh Islam, jelas bukan
mengada-ada. Jika dilihat sejak penyusunan Piagam Jakarta sampai
sidang PPKI 18 Agustus 1945, dan terakhir Dekrit Presiden 5 Juli 1959, tampak
jelas semangat dan visi Ketuhanan Yang Maha Esa memang mengarah kepada konsep
tauhid Islam.
Sebagaimana tertulis
dalam buku Hidup Itu Berjuang, Bung Hatta sendiri
menegaskan pada bulan Juni dan Agustus 1945 menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha
Esa ialah Allah, tidak lain kecuali Allah sembari menguraikan al-Qur’an surah
al-Ikhlas sebagai tafsiran penuh sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Eka Sila dan
“Ketuhanan yang berkebudayaan”
Tampaknya di jaman ini
ada sekelompok orang ingin menghidupkan lagi kata “menurut dasar” tadi namun
dengan ungkapan yang lain, yaitu “Ketuhanan yang berkebudayaan”. Ungkapan itu
ada di RUU HIP yang sekarang sedang mendapatkan penolakan dari masyarakat,
utamanya kaum muslimin, baik perorangan maupun melalui ormas Islam. Tapi banyak
juga yang tak memperhatikan, tidak ada satu orang-pun yang mempersoalkan
“Ketuhanan yang berkebudayaan” tadi.
Semua terpusat pada
pemerasan Pancasila menjadi Trisila atau Eka Sila (Gotong Royong), dan juga
analisis yang menyatakan bahwa RUU HIP justru merongrong Pancasila.
Ketua DPP PDI
Perjuangan Ahmad Basarah membantah polemik mengenai Rancangan Undang – Undang
Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) khususnya Pasal 7 bukan datang dari
partainya. Sebab klausul itu menyebutkan, lima sila Pancasila bakal diperinci
menjadi Trisila- Ekasila. Atau polemik lain yang menyebutkan konsep Ketuhanan
yang Berkebudayaan.
“Tapi kami wajib
menghormati bahwa 9 Fraksi di Badan Legislasi memiliki hak bicara,” kata Basarah
di Indonesia Lawyers Club tvOne, Selasa 16 Juni 2020.
Ia menyampaikan bahwa
usulan RUU HIP merupakan usulan parlemen yang diterjemahkan dari pidato politik
Ketua MPR Bambang Soesatyo. Saat itu, kata dia, pidato politik itu kemudian
diterjemahkan oleh lembaga DPR yang kemudian masuk dalam program legislasi
nasional tahun 2020.
“Munculnya gagasan
sebuah payung hukum untuk memberikan koridor bagi membumikan pancasila itu lah
lahir dari pidato politik resmi Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik
Indoensia untuk memberi penekanan pada pengunaan ideologi Pancasila,”
pungkasnya.
Basarah juga bilang,
RUU HIP ini bukan untuk menafsirkan kembali Pancasila. Bahkan, kata dia,
partainya juga menyetujui konsideran TAP MPRS nomor XXV tahun 1966 tentang
larang paham komunisme/marxisme-leninisme masuk dalam RUU HIP.
Menurut dia, wacana
yang berkembang itu sudah diputuskan kembali ketika terjadi pembaharuan yakni
pada Ketetapan (TAP) MPR Nomor I Tahun 2003. Saat itu partai berlogo banteng
ini setuju tidak ada ruang hukum untuk mengubah atau mencabut TAP MPRS
sebelumnya.
“Tidak ada lagi pintu
keluar secara hukum terhadap keberadaan PKI dan ajaran komunisme,” ujarnya.
Seperti dikutip www.mediaindonesia.com, mantan Kepala Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudi Latif, menjelaskan kesalahan dalam RUU
HIP tidak hanya per pasal melainkan per kalimat. Rumusan norma justru sebisa
mungkin harus menghindari ambiguitas dan multiintepretasi. “Pada hukum dasar
UUD 1945, istilah Pancasila sendiri tidak terdapat di dalamnya. Namun,
substansi dan kerangka teoritik itu bisa ditemukan di pembukaan dan berbagai
pasal,” ujar Yudi dalam keterangan di Jakarta, Kamis (18/6). Yudi Latif
menyebutkan, ketika Pancasila diterjemahkan menjadi norma negara, perspektif
teoritis perseorangan bahkan ayat kitab suci harus mengalami proses
substansiasi. Konstitusi dan UU itu milik bersama, oleh karena itu, proses dan
rumusannya harus bersifat inklusif. Apalagi jika hal itu menyangkut rumusan
normatif tentang Pancasila.
Ketua Majelis Hukum
dan HAM Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Syaiful Bakhri mengatakan, RUU HIP
berada di bawah Tap MPR apabila merujuk UU No 12 Tahun 2011, sehingga kedudukan
RUU HIP dipertanyakan karena ada pengaturan yang sama dengan TAP MPR yang telah
ada di atasnya. “Apakah berlaku azas preferensi lex superior derogat
legi inferior, atau lex posterior derogat legi priori. Bagaimana jika
RUU HIP ini diuji? Apakah MK akan menafsirkan Pancasila? Dan Pancasila di UU
akan diuji dengan Pancasila yang ada di Pembukaan UUD 1945? Ini akan terasa
absurd,” katanya.
PP Muhammadiyah
berpendapat RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu dilanjutkan pembahasan
pada tahap berikutnya untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Sementara itu,
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Rumadi Ahmad mengatakan RUU HIP
berpotensi membuka kembali perdebatan dan konflik ideologi yang menguras
energi. “RUU HIP menurunkan derajat Pancasila dari norma fundamental negara
(staatfundamentalnorm) menjadi norma instrumental. Naskah akademik maupun draf
RUU HIP mereduksi nilai-nilai Pancasila,” imbuhnya.
Sementara itu, Fraksi
Partai NasDem DPR RI tetap konsisten menolak melanjutkan pembahasan RUU Haluan
Ideologi Pancasila (HIP) hingga TAP MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran PKI dijadikan
landasan (konsideran) di dalam RUU HIP tersebut. Ketua Fraksi NasDem DPR RI,
Ahmad M Ali sudah memutuskan RUU HIP tidak perlu dilanjutkan. “Keputusan dan
sikap yang diambil Partai NasDem merupakan keputusan tepat,” pungkas Ali.
Menurut Ketua Wanita Islam
Pusat, Marfuah Musthafa M.Pd, RUU HIP menjadikan Pancasila sebagai tafsir
tertutup dan tidak lagi menjadi tafsir terbuka dimana setiap golongan dan
kelompok bisa memberikan warna dan nilai-nilai Pancasila sesuai semangat
ajarannya tanpa harus bertentangan dengan tujuan nasional kita berbangsa
bernegara.
“Sebagai tafsir
tertutup, Pancasila berpotensi menjadi alat represi penguasa untuk membungkam
mereka yang kritis terhadap kebijakan pemerintah dengan stigma dan labelling
negatif anti Pancasila, tidak Pancasilais dan lainnya,” jelasnya kepada
penulis.
Lebih lanjut Marfuah
menjelaskan bahwa penguatan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah hidup
berbangsa dan bernegara bisa dilakukan melalui UUD 1945. Oleh sebab itu Wanita
Islam mendorong kepada semua kekuatan politik dan segenap komponen bangsa untuk
melakukan amandemen terbatas UUD NKRI 1945 dalam rangka penguatan ideologi
Pancasila dengan lebih mengimpelementasikan nilai-nilai Pancasila dalam
keseluruhan isi UUD NKRI 1945.
Nah, apa relevansi
usulan Ketuhanan yang berkebudayaan dan memeras Pancasila menjadi Trisila atau
Ekasila (Gotong Royong). Jangan sekali-sekali melupakan sejarah, dan jangan
mengulangi kesalahan yang sama soal dasar Negara Pancasila.* Akbar
Muzakki
0 Komentar