Dan Hamka dalam tulisannya berjudul Urat Tunggang Pancasila yang ditulis tahun 1951 menjelaskan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang tidak lain adalah tauhid.
Oleh: Akbar Muzakki*
SAAT ini bangsa Indonesia telah menjadi bangsa yang merdeka
lebih dari setengah abad. Dan sudah masuk masa era reformasi, yang diharapkan
bisa memasuki cita-cita kemerdekaan yang baldatun thayibatun wa rabbun ghoffur
(negeri yang baik dan diampuni Allah).
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, pernah eksis di
negara ini Dewan Konstituante, yaitu dewan pembuat undang-undang, hasil
pemilihan umum 1955 yang diakui berlangsung secara demokratis, jujur dan adil.
Dalam kutipan sejarah Indonesia, tahun 1958 Konstituante terlibat dalam
perdebatan yang seru mengena dasar negara.
Karena menagih janji kepada Soekarno, saat 18 Agustus 1945
dasar negara Pancasila yang telah disepakati BPUPKI dengan lahirnya Piagam
Jakarta lantas oleh PPKI diubah isi dasar negara itu menjadi Pancasila
sebagaimana yang kita hafal hingga saat ini.
Oleh karena parati-partai Islam seperti Masjumi, Nadhlatul
Ulama, Perti dan Sarekat Islam menghendaki Islam sebagai dasar negara. Dipihak
lain, partai-partai nasional seperti partai Komunis, Sosialis, Kristen dan
Katolik menghendaki Pancasila. Itupun Pancasila yang tidak lagi berdasar pada
Piagam Jakarta.
Alhasil, perdebatan di Konstitante itu pun akhirnya
dibubarkan dengan tangan besi kekuasaan Soekarno dengan menegaskan Dekrit
Presiden pada 5 Juli 1959. Adapun diktum Dekrit Presiden itu berisi antara lain
kembali ke UUD 1945, Demokrasi Terpimpin dan Pembubaran Dewan Kosntituante. Dan
tentu saja menetapkan Pancasila sebagai Dasar Negara.
Seperti dikutip dalam buku berjudul Debat Dasar Negara,
Islam dan Pancasila disebutkan bahwa Pancasila yang menjadi dasar negara atau
falsafah hidup bangsadari hari ke hari diwarnai dengan warna Komunis. Dan oleh
Soekarno ditafsirkan dengan konsep nasionalis, agama, dan Komunis (Nasakom).
Bila Soekarno menafsirkan Pancasila dengan ajaran-ajarannya
yang berujung dengan Nasakom, lalu indoktrinasi hingga ke lapisan masyarakat.
Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto pun melahirkan tafsir sendiri dengan
giat melahirkan konsep Pedoman Penghayatan dan Pangamalan Pancasila (P4) yang
wajib diiikuti oleh seluruh rakyat Indonesia. Keduanya juga menyeret sejarah
dan gejolak pada umat Islam.
Pergulatan umat Islam dan dasar negara
Endang Saifuddin Anshari dalam buku Wawasan Islam, sebelum
Soekarno menyatakan Pancasila dalam pengantarnya menerangkan pengaruh San Min
Chui atau Trisila dari Dr. Sun Yat-sen, maka Bung Karno—dalam lahirnya
Pancasila antara lain berkata, “Maka oleh karena itu, jika seluruh bangsa
Tionghoa menganggap Dr Sun Yat-sen sebagai penganjurnya, yakinlah bahwa Bung
Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat sehormat-hormatnya
merasa berterima kasih kepada Dr Sun Yat-sen—sampai ke lobang kubur. Kemudian
Soekarno meluncurkan istilah dengan Catur Sila. Ada kelebihan dalam Catur Sila
itu, yaitu Marhaenisme. Jika Trisila Dr Sun Yat-sen berisi Mintsu atau
nasionalisme. Kedua Min Chuan atau demokrasi. Ketiga, Min Sheng atau
kesejahteraan, sosialisme. Marhaenisme sama dengan San min Chu I plus
internasionalisme atau perikemanusiaan.
Masih dalam sidang tersebut
lima sila diajukan pula oleh Mohammad Yamin dengan pidatonya pada 29 Mei
1945 yang diberi judul Azas dan Dasar Negara Kebangsaan Republik Indonesia,
dengan isi sebagai berikut;
1. Peri
Kebangsaan
2. Peri
Kemanusiaan
3. Peri
Ketuhanan
4. Peri
Kerakyatan
5. Peri
Kesejahteraan Rakyat
Di dalam buku berjudul Pembahasan Undang-undang Dasar
Republik Indonesia, Prof Mohammad Yamin mengemukakan bahwa ajaran filsafat
Pancasila seperti berturut-turut diuraikan dalam kata Pembukaan Konstitusi
Republik Indonesia 1945 yang seluruhnya dari Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang
telah ditandatangani sembilan orang Indonesia terkemuka. Karena itu ternyatalah
bahwa sumber otentik dan representatif Pancasila bukanlah pidato Moh Yamin 29
Mei 1945, bukan pula pidato Soekarno 1 Juni 1945, melainkan Piagam Jakarta 22
Juni 1945 yang ditandangani oleh wakil-wakil represenatif bangsa Indonesia.
Hal di atas ini pun dipertegas dengan Surat Presiden
tertanggal 13 Juni 1959; “…saya mengharap agar supaya Dewan Perwakilan Rakyat
terus bekerja dalam rangka Undang-undang Dasar 1945, yang berlaku lagi sejak
pengumuman Dekrit Presiden untuk bekerja memenuhi harapan Presiden dan DPR
pilihan rakyat untuk bekerja terus UU 1945 yang dijiwai Piagam Jakarta dengan
menerimanya secara aklamasi termasuk di dalamnya Masjumi, NU, PSII, Perti dan
lain-lainnya.
Sikap yang diambil umat Islam pun menegaskan bahwa Pancasila
adalah satu filsafat bangsa Indonesia bukan agama. Pancasila, sila demi sila
pada dasarnya tidak ada satu pun yang bertentangan dengan Islam kecuali apabila
diisi dengan tafsiran-tafsiran dan/atau perbuatan yang bertentangan dengan
Islam.” (Lihat Capita Selcta II, Moh Natsir, hal 144-150)
Dalam catatan-catatan pidato perdebatan dasar Negara bisa
kita kutipkan bahwa betapa kukuhnya tokoh-tokoh umat Islam dalam Konsitituante
itu menegaskan dasar Negara Indonesia. Katakan saja, Mohammad Natsir dari
Masjumi dengan tegas dalam pidato mewakili partainya setelah menjelaskan
konteks Islam dan negara lantas bersikap
dalam Komisi I dan panitia Persiapan Konstitusi menyatakan supaya Negara
Republik Indonesia berdasarkan Islam, negara demokrasi berdasarkan Islam. Bahkan Arnold Mononutu
sebagai ketua Komisi menerangkan bahwa logis apabila Negara Indonesia
berdasarkan Islam, maka adalah logis apabila Kepala Negara harus seorang
beragama Islam.
Lampiran pidato Moch. Raliby tertanggal 21 Mei 1957
tersampaikan bahwa sesuai dengan ajaran Islam, maka kedaulatan de jure adalah
kepunyaan Allah, yang kedaulatan de facto-nya adalah inheren dan jelas di dalam segala gerak dan kerja semesta. Dan
menjadi ketetapan berpikir yang disampaikan dalam pidato ini maka Islam itu
undang-undang atau hukum lebih dulu ada daripada Negara. Dan menjadi dasar dari Negara itu, maka
pemerintahan menjadi berdaulat.
Dilanjutkan dengan pidato Prof. H. Abdul Kahar Muzakkir,
terlebih dahulu mengingatkan bahwa Badan Penyelidik mempunyai 60 anggota dan
yang mewakili umat Islam hanyalah 25% dari jumlah seluruhnya. Dalam
rapat-raptnya tentang dasar negara dan bentuk pemerintahan. Khusus mengenai bentuk
negara, dapat saya katakan 53 suara memilih bentuk Republik dan 7 suara memilih
bentuk kerajaan. Adapun soal dasar Negara, 45 suara memilih dasar kebangsaan
dan 15 memilih dasar Islam. Sedang yang dimaksud dengan dasar Islam itu adalah
dasar nasionalisme berdasar Islam dan kaum Islam disebut Islamic nasionalist.
Dasar Islam itu menurut Kahar Muzakkir dapat memberikan
kesempatan kepada kita kaum muslimin untuk hidup sepanjang kemauan agama Islam.
Sedang dasar kebangsaan hanyalah memberikan kehidupan kepada kaum muslimin,
kehidupan sepanjang agama Islam, tetapi dalam batas-batas tertentu.
Lebih tegas lagi, Hamka dalam pidato yang disampaikannya
menyatakan kami meminta dasar Islam karena itulah yang menjadi rahasia kekuatan
yang sebenarnya bangsa kita. Tidak suka menerima Islam sebagai dasar Negara,
padahal itulah dasar asli golongan terbesar bangsa kita, yang berakar dan
merupakan kepribadian bangsa Indonesia.
Bagi Isa Anshary dalam pidatonya menegaskan bahwa
memperjuangkan ajaran dan hukum Islam menjadi dasar dan idiologi Negara, bukan
lagi perjuangan NU sebagai partai. Bukan pula perjuangan Masjumi, PSII, Perti
bahkan partai politik Tharikat Islam dan Aksi Kemenangan Umat Islam (AKUI)
sebagai partai. Ini adalah perjuangan dan kepentingan seluruh anggota yang
mengaku beragama Islam dalam Konstituante ini, yang walaupun terpecah dan atau
memasuki partai-partai bukan Islam.
Berdasar polemik dasar
Negara Pancasila atau Islam, secara tegas ketua partai sekaligus ketua
fraksi Masjumi M. Natsir mempersoalkan makna dasar negara sebagai ‘way of life’
bangsa. Dia sampai pada kesimpulan bahwa dasar Pancasila yang dikehendaki para
nasionalis, Komunis dan Kristen itu adalah la diniyah atau sekuler.
Dasar negara Indonesia ini menurut M. Natsir haruslah dasar
Negara yang relijius. Dan prof. Kahar Muzakkir menegasi pula bahwa proses
lahirnya Piagam Jakarta yang mendasari isi dasar Negara Pancasila adalah bukti
kuatnya relijiusnya, meski secara historis menunjukkan betapa kuatnya rasa
phobi dan ketakutan pada Islam sejak dulu hingga sekarang.
Menurut Kasman Singodimejo, sikap orang Komunis
memperjuangkan Pancasila sehingga yang pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa
tidak lain ialah sebagai siasat licik, yang ujung-ujungnya mengganti Pancasila
itu sendiri dengan dasar komunisme. Itu terbukti setelah Konstituante
dibubarkan. Mr. Kasman Singodimejo dan beberapa pemimpin Masjumi ditangkap dan
dimasukkan penjara selama beberapa tahun tanpa diadili.
Penegasan lain disampaikan oleh Isa Anshary yang mengecam
Soekarno pencipta Pancasila, yang mengatakan Pancasila bisa diperas-peras
menjadi Trisila, dan bila diperas lagi menjadi Eka Sila yaitu gotong royong.
Isa Anshary berkesimpulan haram hukumnya jika umat Islam menjadi Pancasila
sebagai dasar Negara, bila sila Ketuhanan Yang Maha Esa dihilangkan menjadi
gotong royong.
Dan Hamka dalam tulisannya berjudul Urat Tunggang Pancasila
yang ditulis tahun 1951 menjelaskan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang
tidak lain adalah tauhid. Keempat sila yang lain adalah pelengkap.
Sebenarnya masih banyak lagi pidato para anggota Konstituate
dari fraksi-fraksi Islam yang menghendaki dasar Negara Islam, antara lain
Zainal Abidin Ahmad, Oesman Raliby, dari kalangan partai NU, antara lain KH
Achmad Zaini, KH Masjkur, KH Sjaifuddin Zuhri. Begitu juga dari PSII Mohammad
Taher Abubakar, Mohammad Sjafii Wirahadikoesoema, dari Perti, dan lainnya.
Jadi, marilah untuk perpikir ulang meniti sejarah untuk
menegasi sebenarnya Pancasila yang dikehendaki para pendiri awal bangsa tidak
lain berdasar Islam. Bukan yang bernilai sekuler apalagi diseret ke paham
komunisme.*
Penulis adalah wartawan dan peminat sejarah
Sumber: https://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2020/06/01/185283/umat-islam-indonesia-dan-pancasila.html
0 Komentar