Jakarta jadi benteng
Islam tak terkalahkan. Asal masyarakat meningkatkan iman dan takwanya sebagai
rasa syukur kepada Sang Khalik
BARU saja Ibu kota Negara RI yang bernama
Jakarta ini memperingati ulang tahunnya. Tepatnya pada 22 Juni 1527 sebagai
pijakan, yang bertepatan pula dengan momentum bangsa Indonesia menyiapkan proklamasi
kemerdekaan dengan disahkannya Piagam Jakarta 22
Juni 1945 dalam siding BPUPKI.
Ada apa dengan Jakarta
dan rakyatnya yang selalu beririsan dengan budaya Islam?
Jakarta tak bisa
dilepaskan dengan budaya Islam. Dan Jakarta adalah benteng Islam, sejak dahulu
kala.
Sebagaimana dikutip
oleh Wikipedia. Nama Jakarta sudah digunakan sejak masa pendudukan
Jepang tahun 1942, untuk menyebut wilayah bekas Gemeente Batavia yang
diresmikan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905. Nama “Jakarta” merupakan
kependekan dari kata Jayakarta (aksara Dewanagari: जयकृत), yaitu nama dari Bahasa Sanskerta yang diberikan oleh
orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan)
setelah menyerang dan berhasil menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22
Juni 1527 dari Portugis. Nama ini diterjemahkan sebagai “Kota Kemenangan” atau
“Kota Kejayaan”, namun sejatinya berarti “Kemenangan yang diraih oleh sebuah
perbuatan atau usaha” karena berasal dari dua kata Sanskerta yaitu Jaya (जय) yang berarti “kemenangan”[16] dan Karta (कृत) yang berarti “dicapai”.
Pelabuhan Sunda Kelapa
abad ke-12, saat ini melayani kerajaan Sunda Pajajaran dekat Bogor sekarang.
Orang-orang Eropa pertama yang datang adalah Portugis, yang diberi izin oleh
Kerajaan Hindu Pakuan Pajajaran untuk mendirikan sebuah kerajaan pada tahun
1522. Penguasaannya masih kuat di tangan lokal, dan pada tahun 1527 kota ini
ditaklukkan oleh Pangeran Fatahillah, seorang pangeran Muslim dari Cirebon,
yang berganti nama menjadi Jayakarta.
Namun, pada akhir abad
ke-16, Belanda (yang dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen) telah diambil alih
dari kota pelabuhan, dan benteng Inggris yang bersaing pada tahun 1619
mengamankan pegang mereka di Pulau Jawa.
Namun semenjak
pelabuhan Sunda Kelapa dikuasai oleh Fatahillah di
tahun 1527, namanya diubah menjadi ‘Jayakarta’. Orang Barat yang singgah
menyebut kota ini dengan nama ‘Jacatra’. Sampai 1619 orang Belanda masih
menyebut dengan nama itu.
Akan tetapi sejak Jan
Pieterszoon Coen dengan membawa 1.000 pasukan menyerang Kerajaan Banten dan
menghancurkan Jayakarta pada 1619, praktis kota ini dikuasai Belanda. Melalui
kesepakatan De Heeren Zeventien (Dewan 17) dari VOC (Vereenigde Oost Indische
Compagnie), maka pada 4 Maret 1621 namanya diubah menjadi ‘Batavia’.
Di kala Arnold J.
Toynbee, ahli sejarah Inggris yang terkenal dengan bukunya A Study of
History berkunjung ke Indonesia dan mengadakan ceramah di Universitas
Indonesia sekitar tahun 1970-an, ia mendengar adzan yang berkumandang
dari masjid-masjid dan mushala-mushala di seluruh pelosok kota Jakarta. Ia
kemudian berkomentar, Jakarta adalah benteng Islam, sebagaimana dikutip Pandji
Masjarakat No. 698, 11 Oktober 1991.
Walaupun demikian
banyak kendala yang merintangi kaum Muslimin untuk mencapai cita-citanya. Namun
Jakarta yang terkenal dengan kota Proklamasi dan kota Adzan bagi Toynbee
menandakan ribuah masjid dan mushala. Jakarta tetaplah Benteng Islam dengan
banyaknya rakyat yang beragama Islam, masjidnya yang banyak, dan budayanya yang
kental dengan budaya Islam.
Islam di Jakarta
Islam berkembang di
Jakarta sekitar awal abad ke-15, yaitu saat wilayah ini masih bernama Sunda
Kelapa dan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda Pajajaran. Menurut
budayawan Betawi Ridwan Saidi, penyebar agama Islam pertama di wilayah ini
adalah Syeikh Hasanuddin (Syeikh Quro) yang datang dari Champa. Ia menikah
dengan penduduk setempat dan mendirikan Pondok Pesantren Quro pada tahun 1428
di Tanjungpura, Karawang. Selanjutnya penyebaran juga dilakukan oleh para menak
Pajajaran yang telah memeluk Islam, serta para pendatang baik dari wilayah
Nusantara lainnya maupun para pedagang muslim asal Cina, Gujarat, atau Arab.
Menurut penulis
sejarah Jakarta Adolf Heuken, masjid tertua di Jakarta yang saat ini masih
berdiri ialah Masjid Al-Anshor yang terletak di Jl. Pengukiran II, Pekojan,
Tambora, Jakarta Barat. Masjid ini dibangun pada pertengahan abad ke-17 oleh
komunitas Khoja, yaitu para pedagang muslim India.
Sejak dahulu memang
daerah yang kini bernama Jakarta ini memang selalu ramai disinggahi oleh
berbagai bangsa di dunia mulai dari Arab, India, Cina, hingga Eropa sehingga
campuran budaya, akulturasi, sering terjadi di etnis Betawi. Karena itu banyak
pula dari etnis Betawi namun berdarah Arab, atau bahkan Cina.
Ada dua pendapat
tentang masuknya Islam ke tanah Betawi. Pertama menyatakan bahwa Islam datang
dibawa ke Sunda Kalapa oleh Fatahillah saat dia menaklukan dan mengalahkan
Portugis di Sunda Kalapa pada 1527 M. Pendapat kedua, menyatakan bahwa Islam
dibawa ke Sunda Kelapa oleh Syeikh Quro pada abad ke 15 M, lebih awal
dibandingkan oleh Fatahillah, Ridwan Saidi seorang sejarawan dan budayawan
Betawi adalah salah satu tokoh yang mendukung pendapat kedua ini (Kiki, 2011:
29).
Bahkan menurut Ridwan
Saidi, setidaknya ada lima fase tentang perkembangan Islam di tanah Betawi
(Kiki, 2011: 30):
Pertama, fase awal penyebaran Islam di Betawi dan
Sekitarnya (1418-1527 M), oleh Syeikh Quro, Kean Santang, Pangeran Syarif
Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait, Kumpi Dato Depok, Dato
Tonggara, Dato Ibrahim Condet, dan Dato Biru Rawa Bangke.
Kedua, fase lanjutan penyebaran Islam (1522-1650 M),
oleh Fatahillah, Dato Wan, Dato Makhtum, Pangeran Sugiri Kampung Padri, dan
Kong Ja’mirin Kampung Marunda.
Ketiga, fase lanjutan kedua penyebaran Islam
(1650-1750 M), oleh Abdul Muhid bin Tumenggung Tjakra Jaya dan keturunannya
yang berbasis di Masjid Al Manshur Jembatan Lima, keturunan dari Pangeran
Kadilangu, Demak yang berbasis di Masjid Al-Makmur, Tanah Abang.
Keempat, fase perkembangan Islam (1750-sampai awal abad
ke-19), oleh Habib Husein Alaydrus Luar Batang dan Syeikh Junaid Al-Betawi,
Pekojan.
Kelima, fase kedua perkembangan Islam dari abad ke-19
hingga sekarang.
Kisah yang biasa
beredar ialah masuknya Islam dibawa oleh Fatahillah ketika ia menaklukan Sunda
Kalapa. Fatahillah sendiri memiliki beberapa nama sebutan antara lain
Falatehan, Fadhilah Khan, Ratu Pase, hingga Ratu Sunda Kalapa. Ia lahir di
Pasai pada 1490 M (Fadhli HS, 2011: 42).
Atas persetujuan
Sultan Trenggono dari Demak, dan Sunan Gunung Jati dari Cirebon, dia berhasil
menguasai Sunda Kalapa dan mengubah nama daerah tersebut menjadi Jayakarta pada
22 Juni 1527 M. Sejak saat itu, dengan bantuan Sunan Gunung Jati atau Syarif
Hidayatullah, ia menyebarkan agama Islam di sana (Fadhli HS, 2011: 43).
Islam di Betawi memang
memberikan nafas tersendiri yang cukup kuat pada kebudayaan dan beberapa
kesenian Betawi. Islam bahkan memberikan identitas sosio-kultural kepada orang
Betawi yang dalam kurun waktu yang lama disebut dan menyebut diri mereka
sebagai orang Selam. Betawi merupakan mosaik kebudayaan yang memiliki tekstur
Islami tanpa kehilangan nuansa tradisionalnya.
Meski demikian perlu
kita ingat pula bahwa masyarakat Betawi pun sebenarnya tidak mutlak bersifat
homogen, justru kebudayaan Betawi pun cukup beragam bukan hanya dikembangkan oleh
mereka yang berdarah Melayu dan Islam, tapi oleh orang-orang Arab, Cina, dan
yang beragama Kristen pun juga merupakan pendukung yang kuat kebudayaan Betawi
(Saidi, 2004: 218).
Susan Blackburn,
penulis buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun bahkan mengungkapkan setidaknya ada dua
ciri khas dari etnis Betawi, pertama ialah mereka beragama Islam dan fanatik
terhadap agamanya, hal ini kemungkinan akibat berdatangannya para pedagang dan
mubaligh dari daerah Arab ke tanah Betawi, selain itu juga bisa jadi akibat tekanan
bangsa Eropa yang menjajah mereka.
Kedua yang jadi ciri
khas Betawi ialah mereka berbicara dengan bahasa mereka sendiri, hal ini
mengagumkan mengingat di wilayah mereka terjadi percampuran berbagai suku
bangsa, namun mereka bisa mempertahankan bahasa mereka sendiri (Blackburn,
2011: 90).
Mengidentikkan ciri
khas Betawi dengan Islam sebagaimana pendapat Susan Blackburn tentu bukan tanpa
alasan. Di Batavia dahulu, Orang Selam adalah sebutan pembeda orang Betawi dari
kelompok etnis lain. R. A. Sastradama, seorang turis lokal dari Surakarta yang
berkunjung ke Batavia tahun 1870 menuturkan bahwa pendudukan kota itu umumnya
menyebut diri orang Selam. Istilah Selam adalah pengucapan lokal untuk kata
Islam (Aziz, 2002: 74).
Masjid sebagai pusat
keagamaan di abad ke-17 terletak di Jatinegara dan bukan di pusat.
Masjid-masjid yang berdiri saat itu selain Masjid Assalafiyah, diantaranya
adalah Masjid Al-Atiq yang didirikan pada 1630 M di Kampung Melayu, Masjid
Al-Alam pada tahun 1655 M di Cilincing, dan Masjid Alam di Marunda pada 1663 M
(Fadhli HS, 2011: 47).
Pemerintah
Hindia-Belanda sempat menyudutkan agama Islam, sebagaimana menurut F. de Haan
yang dikutip oleh Abdul Aziz, bahwa pemerintah sempat melarang pendirian masjid
di Batavia, juga melarang adanya upacara khitanan ataupun pengajian, mereka
yang mengadakan kegiatan keagamaan di tempat umum selain agama Kristen maka
akan mendapat sanksi berupa penyitaan harta benda (Aziz, 2002: 44).
Saifuddin Amsir selaku
nara sumber Konggres Kebudayaan Betawi menyatakan dalam
makalahnya bahwa kehilangan tradisi Islam di Betawi sama artinya dengan
kehilangan Islam di Jakarta. Apa sebab?
Pertama, dalam perda kebudayaan tersebut, aspek
kehidupan beragama masyarakat Betawi dapat terlindungi, dikembangkan dan terus memberikan
manfaat, bukan hanya untuk untuk masyarakat Betawi sendiri, tetapi bagi umat
Islam dan kehidupan beragama di ibu kota. Ini dikarenakan masyarakat Betawi
merupakan masyarakar religius yang identik dengan Islam sehingga masyarakat
Betawi dalam melestarikan (khususnya mengembangkan) sepuluh aspek kebudayaan
lainnya pasti menjadikan Islam sebagai ruh, referensi atau filter kebudayaan.
Kedua, Penduduk asli Jakarta adalah suku
Betawi. Terlepas dari sekian banyak teori dan penelitian tentang apa dan siapa
itu Betawi. Cepatnya laju pertumbuhan dan urbanisasi di Jakarta telah membuat
orang Betawi sebagai penduduk asli meninggalkan kampung aslinya sendiri.
Masih menurut
Saifuddin Amsir, Jakarta dengan menjadi menjadikan kultur tersebut sebagai etos
kerja dan kebijakan bagi daerah dan masyarakatnya. Jika ini dapat terwujud,
maka Betawi akan terus eksis dan mengakar di masyarakat.. Maka sekali lagi,
kehilangan tradisi Islam di Betawi sama artinya dengan kehilangan Islam di
Jakarta
KH Firdaus AN dalam
bukunya Dosa-dosa yang Tak Boleh Berulang Lagi, menegaskan Jakarta
jadi benteng Islam yang tak terkalahkan. Asal saja masyarakat meningkatkan iman
dan takwanya sebagai rasa syukur kepada Khaliknya yang telah memberikan kepada
bangsa Indonesia nikmat kemerdekaan di Jakarta.*
Rep: Akbar Muzakki
0 Komentar