DALAM sejarah Islam, kebiasaan bermusyawarah dalam
memutuskan sesuatu menjadi rutinitas yang selalu dilakoni Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Keputusan bermusyawarah selalu dijalani
dengan ketaatan. Hasil musyawarah tak seorang pun berani untuk berkhianat.
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا
أَكْثَرَ مَشُوْرَةٍ لِاَصْحَابِهِ مِنْ رَسُوْلِ الله صلّى الله عليه و سلم
“Saya tidak pernah
melihat seseorang yang paling banyak bermusyawarah dengan para sahabatnya
dibanding Rasulullah ﷺ.” (HR. Tirmidzi)
Menurut Burhan
Al-Islam Az-Zarnuji (w. 593 H) dalam Ta’lim
Al-Muta’allim fi Thariq At-Ta’allum, menyatakan bahwa Rasulullah
ﷺ adalah orang yang paling sering bermusyawarah, padahal tidak
ada orang yang melebihi kecerdasan beliau. Beliau bermusyawarah dengan para
sahabat dan meminta pendapat mereka dalam segala urusan, hingga dalam urusan
keperluan rumah tangga.
Ali bin Abi Thalib
berkata, “Seseorang tidak akan celaka karena bermusyawarah.” Ada ulama yang
mengatakan, “Manusia itu ada tiga yaitu manusia yang sempurna, manusia yang setengah
manusia dan manusia yang bukan manusia. Manusia sempurna adalah orang yang
memiliki ide (pendapat) yang benar dan bermusyawarah. Manusia setengah manusia
adalah orang yang memiliki ide (pendapat) yang benar tetapi tidak bermusyawarah
atau bermusyawarah tetapi tidak memiliki ide (pendapat). Dan manusia bukan
manusia adalah orang yang tidak memiliki ide (pendapat) dan tidak mau
bermusyawarah.”
Mengapa Rasulullah ﷺ mencontohkan bermusyawarah? Karena beliau tahu bagaimana cara
menghormati sikap dan pikiran orang lain.
Dalam hidup ini kita
tak mungkin lepas dari perbedaan pendapat, dan musyawarah merupakan salah satu
mekanisme untuk mencairkan perselisihan pandangan agar tak sampai merusak
kebersamaan. Hal lain yang perlu dicatat adalah, musyawarah bermanfaat untuk
mencapai pada pilihan pendapat terbaik.
Dengan saling mengisi
kekurangan, saling memberi masukan, potensi untuk terjerumus kepada pilihan
pendapat terburuk akan terminimalisasi. Risiko terberat sedapat mungkin bisa
dihindarkan.
Apa yang dilakukan
Nabi Muhammad ﷺ
sejatinya adalah pengamalan dari firman Allah ta’ala:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ
اللهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ
حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ ۚ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS Ali Imran: 159).
Maknanya, apabila
keputusan hasil musyawarah telah disepakati, maka dengan ketetapan keputusan
tersebut harus diterima dan dijalankan dengan menyerahkan hasil dan prosesnya
dengan melibatkan Allah.
Di saat apa sajakah
Rasulullah ﷺ dan
para sahabatnya melakukan musyawarah:
- Memastikan untuk perang
- Memilih pemimpin panglima
perang
- Mengatur strategi perang
- Menyelesaikan pertikaian
keluarga
- Menghadapi berita bohong
Oleh karena itu, kita
akan dapati banyak sekali contoh musyawarah yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ dengan para sahabat. Sebut saja pengaturan strategi perang
dalam Perang Khandaq,
di mana umat Islam saat itu mengetahui betul bahwa mereka akan diserang oleh
orang-orang kafir Quraisy dan sekutunya dengan jumlah yang sangat banyak.
Pada keadaan ini
Rasulullah ﷺ
mengumpulkan para sahabat dan memusyawarahkan strategi yang jitu untuk
menghalau serangan ini. Banyak sahabat mulai mengemukakan pendapatnya, salah
satunya adalah Salman Al Farisi, seseorang ajami (bukan Arab)
menawarkan kepada Rasulullah ﷺ
satu strategi perang bertahan yang efektif, yaitu dengan membuat parit di
sekeliling Kota Madinah hingga tidak bisa dilewati oleh kuda-kuda pasukan kafir
Quraisy. Yang pada akhirnya pendapat inilah yang disepakati oleh Rasulullah ﷺ dan sahabat lainnya.
Contoh lainnya
adalah Piagam Madinah,
di mana Rasulullah ﷺ
mengumpulkan seluruh elemen warga Madinah, yang terdiri dari umat Islam, Yahudi
dan lainnya, untuk menghasilkan poin-poin kesepakatan untuk kemaslahatan warga
Madinah pada umumnya. Dari sini kita melihat bahwa Islam agama yang memberikan
kesempatan pada setiap orang untuk mengemukakan pendapatnya demi memperoleh
kesepakatan yang baik untuk kemaslahatan umat.*/ Akbar Muzakki
sumber: https://www.hidayatullah.com/kajian/oase-iman/read/2020/06/30/187203/musyawarah-dan-demokrasi.html
0 Komentar