Mohammad Natsir adalah pahlawan nasional Indonesia yang diakui atas jasanya sebagai pejuang kemerdekaan, negarawan, dan pemikir Islam modern. Ia adalah pendiri partai Masyumi dan penggagas lembaga dakwah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (Dewan Da’wah), serta pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia pertama. Jasa terbesarnya adalah mengajukan Mosi Integral pada 1950, yang berperan penting dalam mempertahankan kesatuan Indonesia. Cerdas, bernas, beradab, dijadikah teladan kepemimpinan bangsa dan negara. Seperti apa kiprahnya.
Mohammad Natsir adalah seorang politikus
Indonesia yang pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia yang pertama
pada Kabinet Natsir (1950-1951), dan juga dikenal sebagai seorang cendekiawan,
ulama, serta negarawan Indonesia. Selain pernah menjabat posisi puncak di
pemerintahan sebagai perdana menteri, ia juga memiliki peran besar dalam
sejarah Indonesia dengan menuliskan mosi integral yang mencegah perpecahan
negara.
Mohammada Natsir dikenal sebagai
cendekiawan Muslim yang aktif menulis dan memberikan pemikiran-pemikiran kritis
mengenai Islam, negara, Pendidikan dan masyarakat. Natsir dikenang karena
kesederhanaannya, bahkan saat menjabat sebagai menteri ia dikenal tidak
memiliki kemewahan. Ia adalah contoh pribadi yang bersahaja dan tidak
korup, bahkan saat memegang jabatan negara tertinggi sekalipun.
Mohammad Natsir atau lebih dikenal dengan
Natsir. Ia salah satu tokoh bangsa yang menjadi teladan kepemimpinan bangsa
Indonesia. Sedari muda menjadi tokoh pendobrak pendidikan di Indonesia dengan
melahirkan Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung. Selain sebagai pembelajar
sejati. Natsir selagi muda menjalani pergerakan kemerdekaan dari Jong Islamiten
Bond (JIB) di bawah asuhan Agus Salim. Ahmad Hasan dan Ahmad Soekarti. Olah
pikir dan politiknya terasah intelektualnya dengan proposional.
Bersama Bung Hatta dan sejumah tokoh
nasional lainnya, Natsir memelopori pendirian perguruan tingggi Islam pertama
di negeri ini dengan sebutan Sekolah Tinggi Islam (STI) pada 8 Juli 1945.
Berlanjut merintis dan membangun puluhan universitas Islam di berbagai provinsi
di Indonesia. Selain Mohammad Natsir, tokoh penting lainnya yang hadir dalam
pertemuan untuk mewujudkan perguruan tinggi dan turut berperan dalam pendirian STI adalah
Dr. Mohammad Hatta, Mohammad Roem, dan K.H. A. Wachid Hasyim.
STI resmi dibuka
pertama kali pada tanggal 27 Rajab 1364 Hijriah atau 8 Juli 1945. Itu berarti
41 hari sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI – 17 Agustus 1945. Susunan lengkap
pengurus STI adalah: Ketua Badan Wakaf Said Wiratmana Hasan dan sekretaris
Kartosoedarmo. Adapun Ketua Badan Pengurus/Kurator STI dijabat oleh Muhammad
Hatta, sekretaris Mohammad Natsir, Rektor KH Abdul Kahar Muzakkir, Sekretaris
Mohammad Natsir dan wakil sekretaris Prawoto Mangkusasmito.
Abdul Kahar Muzakkir
menjabat rektor STI – yang tahun 1948 menjadi Universitas Islam Indonesia (UII)
– sampai tahun 1960. Ia adalah anggota BPUPK dan tahun 2019 dianugerahi gelar
Pahlawan Nasional oleh pemerintah RI. Sedangkan Prawoto Mangkusasmito adalah
Ketua Umum Partai Masyumi terakhir. Upacara peresmian STI di Gedung Masyumi,
Jalan Teuku Umar, dihadiri oleh sejumlah pergerakan nasional, seperti Bung
Karno. Ketika STI didirikan, telah ada sejumlah perguruan tinggi lain, seperti
Technishe Hoge School (THS, Sekolah Tinggi Teknik) Bandung, Rechts Hoge School
(RHS, Sekolah Tinggi Hukum) Jakarta. Dan Geneeskundige Hoge School (GHS,
Sekolah Tinggi Kedokteran) Jakarta. Ketiga perguruan tinggi itu didirikan oleh
pemerintah kolonial Belanda dalam rangka Politik Balas Budi (Politik Etis).
Jadi, STI adalah Perguruan Tinggi pertama yang benar-benar didirikan oleh
tokoh-tokoh nasional Indonesia.
Keunikan lain,
dosen-dosen STI ketika itu adalah para pejuang dan pemikir yang hebat, seperti
Muhammad Hatta, Abdul Kahar Muzakkir, dan HM Rasjidi. Kualitas mahasiswanya pun
cukup tinggi. Salah satunya, Soebianto Djojohadikoesoemo, paman Prabowo
Soebianto. Ia dikenal sebagai mahasiswa anti-Jepang, yang memilih pindah ke STI
dari Sekolah Tinggi Kedokteran.
Pada acara Dies Natalis ke-3, 10 Maret
1948, setelah pindah ke Yogyakarta, STI berubah menjadi Universitas Islam
Indonesia (UII). Ketika itu, Bung Karno memberi sambutan dan berpesan:
"Dirikanlah pergedungan Universitas Islam Indonesia dengan corak nasional
yang dijiwai Islam, dan hendaknya merupakan pergedungan yag trebesar di Asia
Tenggara."
Pada tahun 1950, Fakultas Agama UII diambil
alih oleh pemerintah dan dikembangkan menjadi IAIN. Sedangkan Fakultas
Pendidikan UII, tahun 1951, diambil alih oleh UGM dan kemudian berkembang
menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta – kini menjadi
Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Kadersisasi intelektual tak hanya berjalan
di lingkungan perguruan tinggi saja. M. Natsir juga mendidikan dan mengirim dai
ke berbagai pelosok negeri pedalaman, perbatasan atau luar pulau untuk
menggerakan kesejahteraan Pendidikan dan mengokohkan akidah ummat Islam serta
sekaligus menjaga kedaulatan negeri ini di daerah perbatasan negeri. Jadi tugas
dai tak sekadar berceramah tetapi meneladani dan menggerakan potensi daerah
dengan dakwah.
Natsir mengajarkan bahwa esensi dakwah
adalah menyeru semata-mata karena Allah (lillah), yang meliputi semua aspek
kehidupan. Kini, Dewan Da’wah mendirikan dan mengembangkan institusi
pendidikan seperti Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir, yang
bertugas melatih dan mengirimkan para da'i ke berbagai daerah pedalaman dan
perbatasan Indonesia.
0 Komentar