![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjXORFOELQt1bbtl6gAKzVpVshYKQq9jjh2yggeAHlNpBM0uMSbUzA4UbLv4lKkGGTrZxuXuLJVEFuGIun1r13O8MwJbIYygxDAn3Fwuug-W4hPcYrxfbi19BjTiKxLOjN8Cmme3bBZkuj0/s320/pii.jpg)
Beberapa hari lagi nasib bangsa ini ke depan akan ditentukan. Rakyat akan memilih langsung Presidennya. Euphoria pilpres ini terjadi di hampir semua lapisan masyarakat. Tak terkecuali di kalangan pelajar. Pelajar sebagai pemilih pemula mempunyai potensi suara yang sangat besar. Dalam pemilu 2009 ini jumlah pemilih pemula mencapai 33,9 persen. Namun, selama ini dalam dunia politik, pelajar hanya dijadikan objek sasar saja. Politik bukan termasuk urusan pelajar. Pelajar ya belajar saja titik. Hal tersebut tentunya dapat membunuh sikap kritis pelajar kepada pemerintah.
Dalam sejarah ada organisasi pelajar yang telah memberikan cerita yang mengesankan akan peran pelajar, yaitu PII, Pelajar Islam Indonesia. PII tidaklah tinggal sejarah, tetapi organisasi yang telah berumur 62 tahun ini masih tetap eksis dalam perjuangannya. Dalam menghadapi pilpres ini, PII akan mengadakan Rapat Pleno Nasional pada tanggal 20-21 Juni 2009 yang dihadiri oleh perwakilan PII dari seluruh provinsi di Indonesia bertempat di Jakarta.
Perhelatan tersebut diadakan untuk menentukan sikap politik PII dalam pilpres. PII menyadari bahwa selama ini pelajar hanya dijadikan objek atau sekedar komoditas politik. Oleh karena itu PII sebagai representasi dari pelajar melakukan konsolidasi di tingkat nasional untuk menentukan sikap politiknya. Dalam acara tersebut rencananya akan mengundang semua cawapres untuk menyampaikan visi misinya.
Forum Nasional ini sangat penting karena sebagai organisasi yang memiliki kader se Indonesia sebanyak 3 juta jiwa dan Keluarga Besar PII atau alumni memiliki kader 15 juta jiwa yang tersebar di seluruh Indonesia dan di berbagai parpol. Potensi yang dimiliki PII inilah yang cukup menggoda untuk dijadikan komoditas politik. Apalagi ada beberapa Keluarga Besar alumni PII di dalam tim sukses masing-masing pasangan capres cawapres.
Bahkan pada tanggal 12-14 Juni 2009 yang lalu Perhimpunan Keluarga Besar PII yang diketuai oleh Tanri Abeng, mengadakan Rapimnas di Jakarta yang memutuskan mendukung salah satu pasangan capres cawapres. Hal ini sangat mempengaruhi image PII yang notobene organisasi independen.
Penentuan Sikap
Menurut sejarah memang PII pernah menjadi underbow sebuah partai politik yaitu Masyumi. Hal tersebut termaktub dalam Panca Cita, hasil Kongres Muslimin Indonesia yang diadakan 20-25 Desember 1949. Namun sekarang ini, dalam Anggaran Dasar pasal 3 dan Khittah Perjuangan PII disebutkan bahwa PII bersifat independen, tidak melibatkan diri pada partai politik dan politik praktis serta tidak menjadi bagian dari golongan atau organisasi politik manapun. Apapun isu yang berkembang dalam Rapat Pleno Nasional, sikap politik PII secara kelembagaan adalah independen dan itu harga mati. Sekalipun ada calon presiden yang dulu pernah aktif di PII. Oleh karena itu, Rapat Pleno Nasional ini sangat penting untuk menegaskan kembali bahwa sikap PII adalah independen.
Mengapa PII harus tetap independen? Selain karena hal tersebut sudah ada di konstitusi PII, alasan lainnya adalah untuk menunjukkan bahwa PII tidak ada dibeli oleh golongan politik manapun, sehingga tidak ada transaksional politik apapun. Idealitas inilah satu-satunya modal yang harus dipertahankan walaupun di PII tidak punya dukungan finansial yang kuat secara kelembagaan. Namun sejarah telah membuktikan dengan idealisme tersebut PII tetap eksis hingga sekarang. Seperti ketika PII menolak Asas Tunggal yang diberlakukan oleh pemerintah Orde Baru. PII tetap pada sikapnya menolak Asas Tunggal, bahkan dari sinilah kader-kader militan terlahir dan mampu memberikan peran dalam pemerintahan sekarang.
Lalu muncul pertanyaan sikap politik apa yang akan diputuskan oleh PII? PII sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan dan ke-Islaman mempunyai sebuah tujuan yaitu Kesempurnaan Pendidikan dan Kebudayaan yang sesuai dengan Islam bagi segenap bangsa Indonesia dan umat manusia. Oleh karena itu, seharusnya sikap politik PII adalah memberikan kontrak politik kepada semua pasangan capres cawapres untuk berkomitmen dalam pendidikan. Karena banyak kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai dengan amanat undang-undang.
Isu-isu Pendidikan
Dalam kampanye pilpres 2009 ini, terjadi perbedaan yang signifikan terhadap kampanye pilpres 2004 terkait isu-isu pendidikan. Dalam kampanye pilpres kali ini lebih banyak mengangkat isu-isu ekonomi. Bahkan dalam sebuah debat Capres yang diadakan salah satu televisi swasta pada tanggal 15 Juni 2009, menurut permerhati pendidikan, Darmaningtyas, hanya berkutat masalah managerial pendidikan belum membahas tentang kebijakan pendidikan itu sendiri.
Melihat keadaan diatas, PII harus mampu mengambil peran dan membangun second opinion, dalam hal pendidikan. Masalah-masalah dalam pendidikan yang telah disampaikan PB PII saat peringatan hari Pendidikan 2 Mei 2009 antara lain mengenai Ujian Nasional, UU BHP, Pendidikan Gratis, Anggaran Pendidikan, Diskriminasi Pendidikan, Kualifikasi Menteri Pendidikan Nasional, dan Menolak Calon Presiden yang tidak peduli terhadap pendidikan.
Mengenai masalah Ujian Nasional, PB PII pada tanggal 15 Juni 2009 yang lalu pada harian Pelita, mendesak pemerintah untuk menghapuskan Ujian Nasional. Karena UN dinilai sudah tidak sesuai dengan tujuan semula, yakni meningkatkan kualitas lulusan. Pada saat yang bersamaan PB PII juga menyerukan kepada Presiden terpilih nantinya untuk benar-benar memilih Menteri Pendidikan Nasional yang benar-benar mengerti pendidikan.
Kontrak Politik
Dalam RPN nanti seharusnya ada keputusan terkait kontrak politik Capres Cawapres tentang pendidikan. Nantinya semua pasangan capres cawapres dimintai menandatangi kontrak politik tersebut. Sehingga dapat dilihat capres cawapres mana yang mempunyai komitmen terhadap pendidikan atau tidak. Kalau pun semua capres cawapres menandatangani kontrak politik tersebut berarti itu lebih baik, karena bisa dijadikan barang bukti untuk menagih janji mereka.
Adapun isi kontrak politik tersebut antara lain :
1. Menghapuskan Ujian Nasional dan tidak menjadikannya sebagai standar nasional kelulusan dengan merevisi PP no. 19 /2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
2. Mencabut Undang Undang BHP
3. Merealisasikan anggaran pendidikan 20% dari APBN di luar gaji guru
4. Pendidikan yang dibiayai pemerintah atau gratis dari sekolah hingga perguruan tinggi terutama bagi warga yang tidak mampu
5. Tolak diskriminasi pendidikan
6. Memilih Mendiknas yang berkompeten di bidang pendidikan dan mampu menjadikan pendidikan sebagai proses integrasi sosial dan bangsa.
Keenam poin di atas cukup untuk melihat komitmen para capres cawapres terhadap pendidikan yang berpihak untuk rakyat.
- Adi Kiswanto , mahasiswa Unnes, Kabid Komunikasi Ummat PW PII Jawa Tengah.
0 Komentar