Oleh: Akbar Muzakki
PERNYATAAN Perdana
Menteri (PM) Australia Tony Abbott yang baru-baru ini menyinggung
bantuan sebesar A$ 1 miliar untuk korban musibah tsunami Aceh 2004
silam, menuai protes dan kecaman.
Dalam sepekan ini, rakyat Aceh bahkan menantang Perdana Menteri Tony Abbot yang dinilai menyinggung perasaan warga Aceh.
Seperti diketahui, dana bantuan bencana
tsunami Aceh diungkit-ungkit pemerintah Aceh terkait terpidana mati
kasus penyelundupan narkotika asal Australia Andrew Chan (kanan) dan
Myuran Sukumaran yang juga dikenal anggota mafia ‘Bali Nine’.
Buat warga Aceh sikap pemerintah Australia
ini menyangkut masalah harga diri dan kewibawaan di hadapan Allah dan
umat manusia. [Baca: PM Australia Desak Batalkan Hukuman Mati, Ungkit-ungkit Bantuan tsunami]
Baginya warga Aceh tak mau direndahdirikan
hanya soal bantuan dana dari Australia. Berapa dana bantuan tsunami itu
akan dikembalikan dengan ikhlas mesti harus mengumpulkan koin. Andai itu benar terjadi dan dilakukan rakyat Aceh, hal ini bukan lah sebuah peristiwa istimewa.
Jika kita kembali memutas roda sejarah
bangsa, kasus ini pernah terjadi pada Aceh saat perjuangannya terhadap
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pengumpulan koin untuk dana bantuan
bencana tsunami mengingatkan sejarah masa lalu rakyat Aceh saat
mengumpulkan cincin emas, kalung dan sebagainya hingga mencapai 20 kg. Dana tersebut dihimpun dari masyarakat Aceh oleh Panitia Dana Dakota (Dakota Found) di Aceh yang dipimpin HM Djoened Joesof dan said Muhammad Alhabsyi.
Presiden Soekarno kala itu (tanggal 16
Juni 1948 di Hotel Kutaraja) berhasil membangkitkan patrotisme rakyat
Aceh untuk membeli sebuah pesawat yang diberi nama ‘Dakota R-001 Seulawah’.
Selawah berati “ Gunung Emas”. Pesawat Seulawah yang dikenal RI-1 dan
RI-2 merupakan bukti nyata dukungan yang diberikan masyarakat Aceh dalam
proses perjalanan Republik Indonesia dalam mempertahankan
kemerdekaannya, Pesawat Seulawah yang menjadi cikal bakal Maskapai
Garuda Indonesia Airways disumbangkan melalui pengumpulan harta pribadi
masyarakat dan saudagar Aceh sehingga Presiden Soekarno menyebut “Daerah
Aceh adalah Daerah Modal bagi Republik Indonesia, dan melalui
perjuangan rakyat aceh seluruh Wilayah Republik Indonesia dapat direbut
kembali”.
Bermula dari sebuah jamuan makan malam,
saat kunjungannya ke Aceh yang diselenggarakan oleh Gabungan Saudagar
Indonesia Daerah Aceh (Gasida), kala itu Soekarno angkat bicara. “Saya
tidak akan makan malam ini, kalau dana untuk itu belum terkumpul.”
Peserta pertemuan yang terdiri atas
saudagar dan tokoh masyarakat Aceh saling melirik. Lalu, salah seorang
dari mereka bangun. Seorang pria muda berusia sekitar 30 tahun. Dia
seorang saudagar. Namanya M Djoened Joesof. “Saya bersedia,” demikian
sahut Djoened Joesof yang juga menjabat ketua Gasida. Selanjutnya
menyusul kesediaan saudagar lainnya.
Alhasil malam itu terkumpul dana yang
cukup besar. Presiden Soekarno puas dengan menyungginggkan senyum. Ia
lalu mengajak hadirin beranjak ke meja makan.
Adegan jamuan makan malam itu merupakan
bagian penting dari episode keikhlasan rakyat Aceh mengumpulkan dana
untuk pembelian pesawat terbang. Penulis Sejarah, Tgk AK Jakobi
mencatatkan peristiwa itu dalam bukunya “Aceh Daerah Modal” (Yayasan
Seulawah RI-001, 1992). Dalam pidatonya di sebuah rapat akbar di
Lapangan Blang Padang Banda Aceh, keesokan harinya, 17 Juni 1948,
Soekarno menyatakan hal sama.
”Kedatangan saya ke Aceh ini khusus untuk
bertemu dengan rakyat Aceh, dan saya mengharapkan partisipasi yang
sangat besar dari rakyat Aceh untuk menyelamatkan Republik Indonesia
ini,” begitu katanya memohon kesediaan rakyat Aceh untuk terus membantu
Indonesia.
Di Blang Padang itu pula ia kemudian berujar tentang kontribusi Aceh sebagai daerah modal terhadap berdirinya Indonesia. “Daerah Aceh adalah daerah modal bagi
Republik Indonesia, dan melalui perjuangan rakyat Aceh, seluruh wilayah
Republik Indonesia dapat direbut kembali,” ungkap Soekarno bersemangat.
Dalam waktu dua hari terkumpul dana
sekitar 130.000 Straits Dollar (Dollar Singapura). Ketua Gasida,
Muhammad Joened Yoesoef, beserta beberapa anggota Panitia Dana Dakota
pada tanggal 1 Agustus 1948 segera berangkat ke Singapura dengan membawa
dana tersebut dan emas seberat dua kilogram.
Sudah banyak jasa Dakota RI-001 terhadap bangsa ini.
Kehadiran Dakota RI-001 Seulawah mendorong
dibukanya jalur penerbangan Jawa-Sumatera, bahkan hingga ke luar
negeri. Pada bulan November 1948, Wakil Presiden Mohammad Hatta
mengadakan perjalanan keliling Sumatra dengan rute
Maguwo-Jambi-Payakumbuh-Kutaraja-Payakumbuh-Maguwo.
Di Kutaraja, pesawat tersebut digunakan joy flight
bagi para pemuka rakyat Aceh dan penyebaran pamflet. Pada tanggal 4
Desember 1948 pesawat digunakan untuk mengangkut kadet ALRI dari
Payakumbuh ke Kutaraja, serta untuk pemotretan udara di atas Gunung
Merapi.
Pada awal Desember 1948 pesawat Dakota
RI-001 Seulawah bertolak dari Lanud Maguwo-Kutaraja dan pada tanggal 6
Desember 1948 bertolak menuju Kalkuta, India. Pesawat diawaki Kapten
Pilot J. Maupin, Kopilot OU III Sutardjo Sigit, juru radio Adisumarmo,
dan juru mesin Caesselberry. Perjalanan ke Kalkuta adalah untuk
melakukan perawatan berkala.
Selesai mendapat perawatan di
Calcutta,India, seulawah diterbangkan menuju Ranggon, Burma, pada 26
Januari 1949 dan langsung mendapat tugas penerbangan sebagai pesawat
carteran dan terlibat dalam berbagai misi operasi militer di negara
tersebut. Kegiatan usaha carter pesawat tersebut dilembagakan dan
menjadi satu perusahaan penerbangan yang diberi nama Indonesian Airways.
Inilah perusahaan penerbangan pertama milik Indonesia yang dalam
perkembangan selanjutnya menjadi Garuda Indonesia Airways.
Narkoba dan hukuman mati
Bagaimanapun, pernyataan PM Australia yang
mengungkit-ungkit dana bantuan tsunami sangat menyayatkan dan
melecehkan pemerintah Indonesia soal perkara hukuman mati 2 warganya.
Pertama bahwa narkoba telah merusak mental
dan fisik rakyat Indonesia. Menurut Badan Nasional Narkotika (BNN) yang
selama ini jadi salah satu tulang punggung dalam memerangi peredaran
narkoba di Indonesia, melansir data yang makin membuat kita khawatir.
Badan narkotika itu memperkirakan pengguna narkoba pada tahun 2015 ini
akan meningkat tajam. Diperkirakan pengguna narkoba di 2015 akan
mencapai 5,1 juta orang.
Pada 2014 sendiri, BNN mencatat pengguna
narkoba di Indonesiaa sebanyak 4,7 juta orang. Jika melihat perkiraan
BNN, wajar bila Jokowi menganggap Indonesia sudah darurat narkoba.
Karena laju korban akibat narkoba, terus melonjak tajam tiap tahunnya.
Kedua, masalah hukuman mati dan dana
bantuan tsunami Aceh tidak bisa disinkronisasikan. Sebab bantuan
kemanusiaan tidak bisa kemudian mengalihkan pada ‘keringanan’ hukuman
mati buat mafia narkoba ‘Bali Nine’.
Jelas sangat berbeda jauh dari norma
kemanusiaan. Bantuan tsunami juga menyangkut hak hidup orang banyak yang
terkait dengan hak azasi manusia. Sedangkan hukuman narkoba jauh dari
persoalan HAM. Karena pelakunya jelas merusak hak hidup hajat orang
banyak dan pastilah melanggar HAM.* Penulis adalah wartawan
Sumber: http://www.hidayatullah.com/artikel/opini/read/2015/02/23/39386/antara-australia-dan-seulawah.html#.VPVcHC6uYRt
0 Komentar