Oleh : Fahmi Salim, MA
a. Pernikahan beda agama antara
muslim/muslimah dengan non-muslim yang bukan penganut agama Yahudi dan Nasrani,
mutlak diharamkan. Dalilnya:
- Firman Allah surah Al-Baqarah:
221
- Firman Allah surah
Al-Mumtahanah: 10
Kedua ayat itu dengan tegas
melarang (mengharamkan) pernikahan muslim dengan non-muslim (musyrik), baik
antara lelaki muslim dengan wanita non-muslim, maupun antara lelaki non-muslim
dengan wanita muslimah.
b. Pernikahan beda agama antara
muslim/muslimah dengan non-muslim ahli kitab (penganut Yahudi dan Nasrani.
Dirinci menjadi dua bagian:
1) Pernikahan pria muslim dengan
wanita ahli kitab.
a. Jumhur ulama membolehkannya,
dengan dalil sebagai berikut:
- Firman Allah surah Al-Maidah: 5
- Ijma’ sahabat Rasulullah
seperti: Umar, Usman, Talhah, Hudzaifah, Salman, Jabir dan sahabat lainnya
radhiyallahu ‘anhum. Bahkan di antara mereka ada yang mempraktikkannya seperti
Talhah dan Hudzaifah radhiyallahu ‘anhuma. Imam Ibnul Mundzir menyatakan,
seperti dikutip oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni, bahwa jika
ada riwayat dari ulama salaf yang mengharamkan pernikahan tersebut diatas, maka
riwayat itu dinilai tidak sahih. (lihat al-Mughni, vol. IX, hal.
545). Adapun riwayat dari Umar ra yang meminta sahabat Hudzaifah menceraikan
isterinya yang ahli kitab, maka dipahami sebagai suatu kekhawatiran dari
beliau, takut praktik sahabat ini menimbulkan fitnah bagi umat Islam. Atas
dasar inilah, Umar ra mencegah mereka menikahi wanita ahli kitab, akan tetapi
hal itu tidak berarti beliau mengharamkannya.
b. Namun ada juga beberapa ulama
yang mengharamkan pernikahan tersebut secara mutlak. Dalil mereka adalah:
- Firman Allah surah al-Baqarah:
221, dan
- Firman Allah surah
al-Mumtahanah: 10
- Atsar dari Abdullah ibn Umar
radhiyallahu ‘anhuma bahwa tidak ada kemusyrikan yang lebih besar daripada
perempuan yang meyakini bahwa Isa putera Maryam adalah tuhannya. (lihat Tafsir
Ibn Katsir, vol. II, hal. 27; Tafsir al-Razi, vol. VI, hal. 150)
c. Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) pada tanggal 1 Juni 1980, yang mengharamkan pria muslim menikahi
perempuan non-muslimah (ahli kitab), sebenarnya sejalan dengan pendapat Mazhab
Syafi’i, karena menurut mazhab ini orang-orang Kristen dan Yahudi di Indonesia
tidak tergolong atau tidak termasuk ke dalam ahli kitab. Jadi fatwa MUI itu
melihat pada konteks keindonesiaan.
2) Pernikahan pria non-muslim
(ahli kitab) dengan wanita muslimah. Dalam hal ini para ulama sepakat atas
keharamannya.
B
BBerdasarkan dalil-dalil berikut:
- Al-Qur’an surah al-Mumtahanah
ayat 10. Penekanannya ada dalam penggalan ayat فإن علمتموهن مؤمنات فلا ترجعوهن الى الكفار لا
هن حل لهم ولا هم يحلون لهن“apabila kamu telah mengetahui bahwa wanita-wanita mukminah itu
benar-benar beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami)
mereka yang kafir. Wanita-wanita muslimah itu tidak halal (dinikahi) oleh
lelaki-lelaki kafir, dan lelaki-lelaki kafir itu tidak halal (menikahi)
wanita-wanita muslimah.”
- Al-Qur’an surah al-Maidah ayat
5. Yang menjadi dalil dalam ayat itu adalah والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذين أوتوا
الكتاب من قبلكم“dan dihalalkan bagimu menikahi perempuan-perempuan yang menjaga
kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan
yang menjaga kehormatan dari orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu.”
Ini memberikan pemahaman bahwa
Allah ta’ala hanya membolehkan pernikahan lelaki muslim dengan wanita ahli
kitab, tidak sebaliknya. Seandainya pernikahan sebaliknya itu dibolehkan maka
Allah pasti menegaskannya di dalam ayat tersebut yang memang konteksnya khusus
persoalan muamalah apa saja yang dihalalkan antara umat Islam dengan pihak
ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani). Jika yang disebutkan hanyalah kehalalan pria muslim
menikahi wanita ahli kitab, dalam konteks ayat itu, maka tidak disebutkannya
pernikahan pria non-muslim dengan wanita muslimah telah dengan pasti menegaskan
keharamannya. Maka berdasarkan mafhum al-mukhalafah ini,
pernikahan lelaki non-muslim (ahli kitab) dengan wanita muslimah dilarang oleh
syariat Islam.
- Hadis Nabi Muhammad shallallahu
‘alayhi wa sallam yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah: نتزوج نساء أهل الكتاب ولا
يتزوجون نساءنا“kami (kaum muslimin) boleh menikahi perempuan ahli kitab,
sementara mereka (ahli kitab) tidak boleh menikahi perempuan-perempuan kami
(muslimah).” (lihat Tafsir al-Thabari, vol. II, hal. 378).
- Ijma’ sahabat dan para ulama
sesudah mereka sepanjang masa.
- Kaidah fikih yang
menyatakan الأصل في الأبضاع التحريم“Hukum asal dalam masalah farj (kemaluan) dalam perkawinan
adalah haram.” (lihat Imam al-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair,
hal. 84), dan juga berlaku kaidah usuliyyah لا إجتهاد في مورد النص“Tidak ada celah ijtihad
sedikitpun dalam perkara yang sudah dinashkan tegas oleh syara’.”
Sekian. Wallahu a’lam.
Sumber: http://www.fahmisalim.com/2015/01/inilah-dalil-dalil-haramnya-nikah-beda.html
0 Komentar