Disamping kepeloporan
dalam pemikiran dan ide perjuangan, yang luar biasa pada ketiga tokoh itu
adalah keteladanan mereka dalam kehidupan sehari-hari dan perjuangan
Oleh: Dr.
Adian Husaini
PADA tanggal 24 Mei 2018, saya mendapatkan undangan
dari Dirjen Kebudayaan Kemendikbud untuk menghadiri satu diskusi membahas tiga
tokoh, yakni KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, dan Mohammad Natsir. Pembicara
lain dalam diskusi tersebut adalah Prof. Dr. Masykuri Abdillah, Dr. Hajriyanto
Tohari, dan Natsir Zubaidi.
Tiga tokoh yang
dibahas dalam diskusi tersebut adalah sosok-sosok besar dalam dalam sejarah
Indonesia. Pemerintah memberi penghargaan mereka sebagai pahlawan nasional.
Dalam diskusi tersebut, saya kebagian tugas membahas tentang sosok Mohammad
Natsir. Saya menyampaikan paparan tentang peran Mohammad Natsir dalam kaitan
dengan pembangunan jiwa bangsa. Namun, saya pun tidak melewatkan kesempatan
menyinggung peran penting sosok Kyai Hasyim Asy’ari dan Kyai Ahmad Dahlan dalam
perjuangan dan pembangunan bangsa.
Disamping kepeloporan
dalam pemikiran dan ide perjuangan, yang luar biasa pada ketiga tokoh itu
adalah keteladanan mereka dalam kehidupan sehari-hari dan perjuangan. Mereka
satu kata dalam ucapan dan tindakan. Kyai Hasyim Asy’ari dikenal sebagai ulama
dan pejuang yang berperan sentral dalam perjuangan merebut dan mempertahankan
kemerdekaan RI.
Keilmuan Kyai Hasyim
tidak diragukan. Berbagai kitab beliau tulis. Tahun 1899, beliau mendirikan
Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur. Kiprah Kyai Hasyim dalam bidang
keilmuan, pendidikan, dan kenegaraan, menunjukkan keteladanan beliau
dalam memadukan aspek keilmuan, pendidikan, dan perjuangan.
Nama Kyai Hasyim
terpateri dengan tinta emas melalui fatwa jihadnya yang sangat fenomenal pada
Oktober 1945. Isinya menegaskan, bahwa mempertahankan kemerdekaan RI adalah
kewajiban bagi kaum muslimin. Fatwa itu telah menggerakkan ribuan kyai dan
santri untuk berjihad melawan tentara Sekutu, sebagai pemenang Perang Dunia II.
Para kyai dan santri itu tidak gentar sedikit pun menghadapi gempuran pesawat
tempur, tank, dan meriam Sekutu. Akhirnya, seorang jenderal Sekutu pun mati di
Surabaya.
Peristiwa yang dikenal
dalam sejarah sebagai Hari Pahlawan itu, menjadi salah satu indikator penting
hebatnya kualitas pendidikan pesantren. Para santri bukan hanya dididik dengan
ilmu-ilmu agama, tetapi juga dibekali dengan ilmu dan semangat perjuangan
untuk membela kebenaran. Mereka taat kepada para ulama, bersemangat dalam
ibadah, dan memiliki jiwa pengorbanan yang sangat tinggi dalam perjuangan.
Itulah kunci kemenangan.
Memudar
Akan tetapi,
sayangnya, jiwa cinta perjuangan dan pengorbanan yang ditunjukkan oleh generasi
45 itu kemudian memudar, hanya beberapa tahun setelah Indonesia merdeka. Inilah
yang dicermati oleh Mohammad Natsir. Hanya enam tahun setelah kemerdekaan RI,
tepatnya pada 17 Agustus 1951, Natsir menulis artikel berjudul “Jangan
Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.”
Artikel Mohammad
Natsir ini sangat penting untuk terus kita renungkan. Sebab, artikel itu
berkaitan dengan kondisi jiwa bangsa kita yang sudah berubah, hanya beberapa
tahun saja, setelah kita merdeka.
Sebenarnya, bangsa
Indonesia pun sadar, bahwa eksistensi dan kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh
kondisi jiwanya. Lagu kebangsaan “Indonesia Raya” menyerukan: “Bangunlah
jiwanya, bangunlah badannya.” Dalam bukunya, yang berjudul Pribadi, Buya
Hamka mengutip sebuah pepatah Arab yang menyatakan: “Aqbil ‘ala an-nafsi,
wa-ahsin fadhaailahaa. Fainnaka bin-nafsi laa bil-jismi insaanun.” (Fokuskan
dirimu pada jiwamu, dan sempurnakanlah keutamaan-keutamaannya. Sebab, pada
hakikatnya, anda disebut manusia, karena jiwa anda, bukan karena tubuh anda).
Dan, al-Quran al-Karim
sudah menegaskan: “Sungguh sukses orang yang mensucikan jiwanya, dan
sungguh gagal orang yang merusak jiwanya.” (QS asy-Syams: 9-10).
Melalui artikelnya
itu, Mohammad Natsir mengingatkan bangsa Indonesia:
“Dahulu, mereka girang
gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di
medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam
satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh
dan beratus tahun yang lampau.
Mengapa keadaan berubah
demikian?
Kita takkan dapat
memberikan jawab atas pertanyaan itu dengan satu atau dua perkataan saja.
Semuanya harus ditinjau kepada perkembangan dalam masyarakat itu sendiri. Yang
dapat kita saksikan ialah beberapa anasir dalam masyarakat sekarang ini, di
antaranya:
Semua orang menghitung
pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang
telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu,
mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu
pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit
bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu, dan merajalela sifat serakah. Orang
bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun
untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna,
dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya.
Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang di luar
dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah
tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!… ”
Itulah kata-kata tajam
dari seorang tokoh dan penulis hebat seperti Mohammad Natsir. Silakan dibaca
berulang kali dan direnungkan ujung petikan kata-kata Mohammad Natsir itu: “Orang
sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang di luar
dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah
tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!… ”
Kondisi jiwa bangsa
inilah yang harus menjadi kepedulian para tokoh bangsa. Mereka harus merumuskan
konsep pembangunan jiwa bangsa yang serius. Bukan hanya membangun jembatan atau
jalan tol. Infrastruktur fisik penting. Tapi, infrastruktur jiwa yang kokoh
yang penting lagi bagi ketahanan suatu bangsa.* >>> (BERSAMBUNG)
Rep: Admin Hidcom
0 Komentar