Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Doa Rasulullah untuk Keluarga Zaid bin Ashim

Keluarga Zaid bin Ashim merupakan salah satu dari penduduk Yastrib (Madinah) yang pertama-tama beriman kepada Rasulullah SAW. Bersama istrinya, Ummu Amarah Nasibah al-Maziniyah, dan dua putranya, yakni Habib dan Abdullah, Zaid bin Ashim melakukan baiat kepada Nabi Muhammad di Aqabah.  Ia sekeluarga termasuk dalam kelompok 70 yang tiba di Makkah dari Yastrib.
Keluarga ini segera menjadi tameng dakwah Rasulullah. Dalam Perang Uhud, Ummu Amarah Nasibah bahkan ikut dalam gelanggang. Adapun Abdullah bin Zaid mempertaruhkan nyawanya demi melindungi Nabi Muhammad dari serbuan pasukan musyrik.
Oleh karena itu, Rasulullah pernah berdoa mengenai keluarga Zaid bin Ashim, Semoga Allah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya bagi kalian sekeluarga. Saat Perang Badar dan Perang Uhud berkecamuk, Habib bin Zaid tidak turut serta karena usianya masih terlalu dini. Meski begitu, ia tetap membantu dalam hal persiapan logistik.
Ketika usianya sudah menginjak remaja, setiap peperangan dalam berjihad di jalan Allah tak pernah dilewatkannya. Ia setia di samping Rasulullah bersama para sahabat mulia. Dalam setiap peperangan, Habib bin Zaid biasanya diamanahkan untuk memegang bendera panji-panji Islam sebagai tanda kokohnya barisan Muslimin.
Demikianlah kesetiaan Habib bin Zaid terhadap Islam begitu kuat, termasuk setelah wafatnya Nabi Muhammad. Pada tahun kesembilan Hijriyah, pengaruh Islam telah merata ke seluruh Jazirah Arab.
Para pemuka kabilah-kabilah berbondong-bondong datang ke Madinah menyatakan diri mereka masuk Islam. Hal itu sudah dimulakan, khususnya sejak Rasulullah sukses melakukan penaklukan Makkah secara damai.
Seperti dikisahkan dalam buku 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni, Bani Hanifah dari Nejed merupakan salah satu kabilah yang menyatakan baiat kepada Rasulullah.
Para pemuka Bani Hanifah tiba di Madinah dengan unta-unta mereka. Sesampainya di dekat kediaman Rasulullah, salah satu dari mereka, Musailamah bin Habib al-Hanafi, tidak turut serta menemui Rasulullah, tetapi bertugas menjaga unta-unta itu.
Rasulullah menyambut ramah para utusan Bani Hanifah yang menemuinya. Bahkan, Nabi memberikan sejumlah hadiah untuk menghormati mereka, termasuk yang tidak sempat ikut menemui langsung Rasulullah lantaran menjaga unta-unta.
Beberapa waktu kemudian, rombongan Bani Hanifah ini kembali ke Najd. Namun, begitu tiba di kampung halaman, Musailamah mengumumkan dirinya murtad dari Islam.
Tidak cukup dengan itu. Musailamah berorasi di hadapan orang-orang bahwa dirinya merupakan utusan Allah. Dia mengatakan bahwa Allah mengutusnya untuk Bani Hanifah, sebagaimana Allah mengutus Nabi Muhammad untuk kaum Quraisy.
Ia jelas-jelas memancing sikap fanatisme kesukuan. Sesuatu yang bagi Islam ditolak karena yang membedakan manusia bukanlah asal budayanya, melainkan ketakwaannya kepada Allah. Namun, cukup banyak orang Bani Hanifah yang setuju dengan Musailamah. Bagi mereka ini, kebanggaan menjadi Bani Hanifah adalah segalanya.
"Saya mengakui sungguh Muhammad itu benar dan Musailamah sungguh berbohong. Tetapi, kebohongan suku Musailamah lebih saya sukai daripada kebenaran orang kabilah Nabi Muhammad, kata salah seorang Bani Hanifah pendukung Musailamah.
Seiring waktu, jumlah pengikut Musailamah kian bertambah banyak. Mereka pun mempersenjatai diri. Setelah merasa yakin kuat, Musailamah mengirimkan surat kepada Rasulullah sebagai berikut.
Dari Musailamah utusan Allah, kepada Muhammad Rasulullah. Teriring salam untuk Anda. Selanjutnya, saya telah diangkat menjadi sekutu Anda. Separuh bumi ini adalah untuk kami, sedangkan separuh lagi untuk Quraisy. Namun, Quraisy telah berbuat keterlaluan.
Dua orang utusan Musailamah mengantarkan surat itu ke Madinah. Sesampainya mereka di kota tujuan, Rasulullah menerima dan menyimak isi surat itu. Kemudian, Nabi bertanya kepada utusan Musailamah.
"Apa pendapat kalian tentang surat ini? Kami sependapat dengan Musailamah! tegas kedua orang utusan itu.
"Demi Allah, seandainya tidak dilarang membunuh para utusan, telah kupenggal leher kalian," ujar Rasulullah .
Nabi Muhammad memerintahkan agar membalas surat Musailamah sebagai berikut: Dengan nama Allah yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Dari Muhammad Rasulullah, kepada Musailamah al-Kadzab (pembohong). Keselamatan hanya bagi siapa yang mengikuti petunjuk yang benar.
Selanjutnya, sesungguhnya bumi ini adalah milik Allah. Dialah yang berhak mewariskan kepada hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Kemenangan adalah bagi orang-orang yang bertakwa. Surat balasan itu dikirimkan beliau melalui dua utusan Musailamah tersebut.
Sesampainya di Najd, Musailamah membaca surat kiriman dari Rasulullah. Namun, tidak ada jawaban kecuali bertambahnya kesombongan Musailamah. Lantaran itu, Rasulullah kembali mengirimkan surat kepada Musailamah.
Tujuannya agar nabi palsu ini menghentikan segala provokasi yang menyesatkan. Untuk mengantarkan surat ini ke Najd, Rasulullah menunjuk Habib bin Zaid. Waktu itu, Habib merupakan seorang remaja yang terkenal sigap dan tangguh.
Maka, berangkatlah Habib bin Zaid demi memenuhi tugas amanat dari Rasulullah. Ia menempuh perjalanan yang berat dan curam.
Setibanya di Najd, ia langsung menuju markas Bani Hanifah menyampaikan surat dari Rasulullah kepada si nabi palsu, Musailamah al-Kadzab.
Begitu menerima surat dari tangan Habib bin Zaid, wajah Musailamah langsung merah padam. Baginya, Rasulullah sudah menghina kehormatan dirinya dan fanatisme kesukuannya.
Berbeda dengan sikap Islam terhadap utus an-utusan diplomasi, Musailamah memerintahkan pengikutnya agar meringkus Habib bin Zaid. Pemuda Muslim ini pun menjalani kurungan selama satu malam.
Eksekusi Keesokan harinya, Musailamah mengumpulkan seluruh pengikutnya. Habib bin Zaid dipanggil keluar, namun masih dalam kondisi dibelenggu rantai besi yang berat. Tetap saja Habib bin Zaid tampil tegap dan tidak tunduk di hadapan nabi palsu.
"Apakah kamu mengakui Muhammad itu Rasulullah? kata Musailamah membentak kepada Habib bin Zaid.
"Ya benar. Saya mengakui Muhammad se sungguhnya Rasulullah! jawab Habib tegas.
Mendengarnya, gejolak amarah Musailamah kian meningkat. "Jadi, apakah kamu mengakui saya adalah utusan Allah juga bentaknya lagi."
Habib bin Zaid tersenyum sinis. Dengan nada merendahkan, ia menjawab, Mungkin telinga saya tuli. Saya tidak pernah mendengar yang begitu! Maksudnya, ucapan Musailamah tadi sungguh-sungguh tidak pantas."
Wajah Musailamah semakin memerah. Bibirnya bergetar menahan luapan amarah.
"Potong tubuhnya sepotong!" perintah Musailamah al-Kadzab kepada seorang pengi kut nya yang bertugas sebagai algojo.
Algojo dengan cepat memotong lengan Habib bin Zaid. Bagian tubuh itu jatuh dan menggelinding di atas tanah. "Sekarang, kamu mengakui Muhammad itu Rasulullah? tanya Musailamah lagi.
"Ya, saya mengakui Muhammad utusan Allah! jawab Habib tegas. Baginya, kehilangan anggota tubuh tidak sedikit pun memudarkan tekad tauhid.
"Apakah kamu mengakui saya juga utusan Allah? tanya Musailamah dengan berang.
"Sudah kukatakan kepadamu. Mungkin saya telinga tuli sehingga tidak pernah men?
dengar ucapan itu, jawab Habib bin Ziad tegas. Ia memandang Musailamah yang mengaku-ngaku seorang nabi begitu hina dan tidak lain kecuali kebohongan.
Musailamah lantas menyuruh algojo un tuk memotong lagi bagian tubuh Habib yang lain. Potongan itu kembali jatuh dan menggelindung tak jauh dari potongan tubuh Habib yang pertama.
Para pengikut Musailamah bersorak- sorai. Di pihak lain, mereka juga heran dengan keteguhan sikap Habib bin Zaid. Musailamah terus bertanya hal yang sama kepada Habib.
Ayunan pedang algojo pun terus memotong-motong bagian tubuh Habib lantaran tidak satu kali pun ia mengakui kenabian sang pembohong, Musailamah al-Kadzab. Habib tetap berkata, "Aku mengakui sesungguhnya Muhammad itu Rasulullah.
Akhirnya, Habib mengembuskan napas terakhir. Sebelum meninggal dunia, lisannya mengucapkan dua kalimat syahadat, Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah.
Kabar kematian Habib bin Zaid sampai ke Madinah. Sang ibunda, Nasibah al-Maziniyah, mengatakan, Seperti itu jugalah saya harus membuat perhitungan dengan Musailamah al-Kadzab. Dan kepada Allah jua saya berserah diri. Anakku Habib telah bersumpah setia dengan Rasulullah sejak kecil. Seandainya Allah memungkinkanku, akan kusuruh anak-anak perempuan Musailamah menampar pipi bapaknya.
Berselang tak lama kemudian, Khalifah Abu Bakar mengerahkan pasukan Muslimin untuk memerangi nabi-nabi palsu di Jazirah Arab, termasuk Musailamah al-Kadzab.

Dalam pertempuran Yamamah di mana p sukan Muslimin melawan Musailamah, Nasibah al-Maziniyah turut serta. Perempuan ini juga bersama putranya sekaligus saudara kandung Habib bin Zaid, Abdullah bin Zaid.
Nasibah bagaikan seekor singa betina di medan laga. Nasibah berseru, Di mana musuh Allah itu, tunjukkan kepadaku!
Waktu ditemukan, Nasibah sudah mendapati Musailamah sebagai seonggok jasad yang tersungkur di medan pertempuran. Ia sudah dibunuh pasukan Muslim. Nasibah sendiri mengalami luka yang cukup fatal, hingga akhirnya ia pun gugur sebagai syahidah menyusul putranya tercinta, Habib bin Zaid
Sumber: https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/18/11/06/phs2z2313-doa-rasulullah-untuk-keluarga-zaid-bin-ashim-part3

Posting Komentar

0 Komentar