Sejarah
Persatuan Islam (Persis) yang didirikan di Bandung pada
September 1923 tidak dapat dipisahkan dari sosok Ahmad
Hassan atau A. Hassan. Ia merupakan seorang keturunan India
yang lahir dan besar di Singapura, dan menghabiskan separuh masa hidupnya untuk
melakukan syiar Islam di Indonesia, termasuk di Kota Bandung.
Berdasarkan
penuturan sejarawan Islam dan pegiat Persis,
Tiar Anwar Bachtiar, selama di Singapura A. Hassan sempat berkiprah sebagai
redaktur majalah Utusan Melayu, yang kemudian menempanya untuk bertemu banyak
tokoh-tokoh dan pemikir muslim. Sebelumnya, A.Hassan menempuh pendidikan Islam
bermazhab Syafii di salah satu madrasah tertua di Singapura, yakni Aljunied
Al-Islamiah.
Karirnya
di majalah Utusan Melayu membawanya banyak menelan berbagai perdebatan dan
diskusi di bidang keislaman dari kaum muda yang kerap disebut kaum pembaharu.
Ditambah latar belakang pendidikan Islam yang mumpuni, Tiar menyebut A.Hassan
kala itu telah berkembang menjadi sosok yang matang dan memiliki prinsip
tersendiri dalam pandangan keislaman.
Hal
tersebut kemudian menjadi bekal A.Hassan untuk melanjutkan fase hidup
selanjutnya sebagai tokoh syiar Islam di Indonesia dengan metode yang unik :
berdebat.
Tiar menuturkan, A.Hassan datang ke Kota Bandung di usianya yang menginjak kepala empat. Awalnya, ia datang untuk merintis bisnis tekstil yang kala itu tengah berkembang di Kota Bandung. Namun, perkenalannya dengan Persis pimpinan H. Muhammad Yunus dan H. Zamzam yang telah berdiri sekitar 1 tahun di Kota Bandung membuatnya mulai berpikir ulang soal prioritasnya. Pasalnya, bentuk Persis yang berupa pengajian dengan ruang diskusi membuat A.Hassan merasa tertarik untuk berkecimpung lebih jauh.
"Ternyata
beliau merasa cocok dengan grup pengajian ini yang sifatnya terbuka dan
menyukai diskusi, sehingga dia bisa menyampaikan pandangan-pandangannya dengan
leluasa. Awalnya hanya jadi pendengar dan lama-lama mulai jadi narasumber,"
ungkap Tiar dalam diskusi daring "Menelusuri Jejak Ahmad
Hassan di Bandung", Jumat (12/6/2020) malam.
Tiar
mengatakan, dengan memiliki modal pengetahuan Islam mumpuni dan kemampuannya
menyusun argumen, dengan cepat A.Hassan menjadi pusat perhatian dan kerap
menjadi narasumber di berbagai diskusi. Dia dikenal kerap mendebat pihak yang
memiliki sudut pandang lain, tak terkecuali umat Nasrani hingga ateis.
"Dakwah
dengan debat ini menjadikan A.Hassan unik dan memiliki magnet tersendiri
sehingga ia terkenal. Debat tidak pernah dibawa perasaan, di luar debat dia
dikenal sebagai orang yang ramah dan suka menolong, termasuk pada rekan
debatnya," ungkap Tiar.
Bahkan,
Tiar menyebut bahwa A.Hassan pernah mendebat Ahmadiyah selama 3 hari di
Jakarta. Isi perdebatannya diliput oleh media massa kala itu.
Menginisiasi Majalah
Pengalamannya
berkecimpung di dunia media di Singapura juga membuatnya menginisiasi kultur
baru di Persis,
yakni mempublikasikan hasil diskusi menjadi tulisan di majalah. Bersama
A.Hassan, Persis menerbitkan hingga 3 majalah yang
isinya berfokus pada kajian Islam, yakni Pembela Islam, Al-Lisan dan At-Taqwa.
"Dulu
majalah adalah salah satu sumber informasi utama, dan mayoritas yang ada saat
ini membahas berita umum atau politik. Majalah ini punya corak yang unik,
seperti Al-Lisan yang isinya ada kajian fiqih, tafsir hadist dan sebagainya,"
ungkap Tiar.
Pada
tahun 1930-an, majalah-majalah tersebut menjadi populer di kalangan masyarakat
terutama yang hendak mempelajari Islam karena isinya dibuat lebih mudah
dicerna. Pengetahuan soal Islam yang kala itu didominasi para kyai dan para
santri yang memahami kitab kuning menjadikan akses terhadap kajian Islam seolah
terbatas.
"A.Hassan
memudahkan semua itu dengan menuliskan isi majalah dengan bahasa Indonesia atau
Melayu, menuliskan tafsir Al-Quran sehingga lebih mudah dipahami banyak
kalangan,"ungkapnya.
Pada
1936, A.Hassan mempelopori berdirinya Pesantren Persis di
Kota Bandung, melengkapi yang telah terselenggara sebelumnya yakni Pendidikan
Islam (Pendis) hasil prakarsa M.Natsir. Berbeda dengan kebanyakan pesantren
salafi, M.Natsir membangun pesantren dengan sistem khalafi yang cenderung lebih
modern.
"Dia
merancang kurikulum dan kelas-kelas yang terstruktur dalam lembaga pendidikan
Pesantren Persis. Dia merupakan pelopor karena di
Bandung belum ada pondok pesantren yang seperti itu. Ini kemudian menjadi
monumental," ungkap Tiar.
Dari
sana, Persis semakin
berkembang dengan sejumlah muridnya yang dikenal seperti Muhammad Isa Anshary
hingga anaknya, Abdul Qadir Hassan. Mereka mengembangkan hampir semua hal yang
dirintis A.Hassan, kecuali tradisi debat.
Selama
berkiprah di Kota Bandung, A.Hassan juga banyak dikenal dengan panggilan
"Hassan Bandung" atau "Ahmad Bandung". Panggilan tersebut
kemudian berubah menjadi "Hassan Bangil" seiring kepergiannya ke
Bangil, Jawa Timur pada 1939.
"Di
Bangil, A.Hassan mulai banyak menerbitkan buku-buku. Setidaknya ada 150 judul yang
sudah ia tulis," ungkapnya.
Sumber
berita: https://www.ayobandung.com/
0 Komentar