Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Natsir,Tak Penat Memandu Umat

Sebagai negarawan, politikus, dan dai; Mohammad Natsir tak pernah berkeluh kesah. ia terus berbuat dan selalu memberikan alternatif jawaban bagi semua orang yang memintanya. Ia sosok pemimpin yang sekarang ini jarang kita temukan.

Mohammad Natsir merupakan Perdana Menteri pertama dalam Negara kesatuan dibawah Undang-undang Dasar Sementara (1950). Dalam masa ini berlaku sistem demokrasi parlementer. dan dalam masa itu pula berbagai tantangan dan ancaman muncul silih berganti. Dan salah satu pergolakan yang harus dihadapi pada masa itu adalah gerakan Darul Islam (DI).

Menurut C. van Dijk dalam buku Darul Islam, kabinet Natsir tahun 1950 sesudah runtuhnya struktur negara federal dengan Mosi Integral, masalah besar yang dihadapi adalah DI. Natsir berusaha membujuk gerilyawan yang menentang Republik. Ini pertanda bahwa Natsir menghendaki agar perjuangan aspirasi umat Islam disalurkan secara konstitusional. Perjuangan konstitusional Natsir itu terbukti pada sidang Konstituante. Mengemukakan pendapat bahwa perjuangan partai-partai politik di dalam sidang Kosntituante sebagai makar atau subversi, agaknya tidak rasional karena Konstituante itu lembaga resmi.

Menurut kacamata Natsir, demokrasi parlementer tidaklah selalu jelek. Ia tidak mencela begitu saja salah satu ssstem demokrasi; apakah parlementer atau presidensial, walaupun beliau sendiri sebagaimana juga Masyumi pada umumnya lebih cenderung pada demokrasi presidensil. (Pak Natsir 80 Tahun, hal 130). Natsir mengakui kebaikan ajaran Islam. Tetapi menurutnya Islam tidak menggantungkan semua urusan kepada kerahiman instelin- insteling g demokrasi. Alasan Natsir; Islam adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip sendiri, yang mempunyai sifat-sifat sendiri pula. Katanya, ‘Islam tak usah’ demokrasi 100%, bukan pada pula otokrasi 100%, Islam itu…yah, Islam. (Capita Selecta, halaman 11).

Dalam buku Persatuan Agama dan Negara, Natsir mengemukakan pengertian demokrasi dalam Islam: memberikan hak kepada rakyat, supaya mengkritik, menegur, membetulkan pemerintah yang zalim. Kalau tidak cukup dengan kritik dan teguran, Islam memberi hak kepada rakyat untuk menghilangkan kezaliman itu dengan kekuatan dan kekerasan jika perlu.

Natsir dalam kenangan
George Mc Turnan Kahin, pakar Indonesianis asal Amerika , dalam catatan kenangannya saat pertama kali berjumpa pada tahun 1948 bersama M Natsir ketika menjadi Menteri Penerangan. ”Saya bertemu dengan seseorang yang tidak malu menjahit baju dinasnya, karena itu baju satu-satunya yang ia miliki. Beberapa minggu kemudian, para staf kantornya mengumpulkan uang untuk membelikan baju, agar ‘boss’ mereka tampak seperti seorang ‘menteri sungguhan.” Tapi begitulah Natsir, seorang negarawan, politikus, dan misionaris Islam yang sederhana, rendah hati yang layak mendapat penghargan atas reputasi kejujuran pribadi dan politiknya.

Kesederhanaan pribadi Natsir tidak ditunjukkan dalam pola berpikir. Seperti yang pernah disampaikan M Amin Rais dalam catatan tulisannya The Second Grand Old Man. Disebut The Second Grand Old Man setelah H Agus Salim, karena setiapkali saya bertemu dengan tokoh-tokoh dunia Islam internasional selalu menanyakannya keadaannya dan titip salam buat pak Natsir.

Sebagai seorang mantan Perdana Menteri, tatkala keluar dari tahanan Wisma Keagungan di masa Orde Lama. Pak Natsir menghadapi masalah ‘mencari rumah’. Nampaknya ketika menjadi Menteri Penerangan bahkan Perdana Menteri serta ketika memimpin partai Masyumi, ia tidak memikirkan rumah.

Malah suatu ketika bertemu dengan Natsir dan bercerita ada seorang tamu tokoh umat Islam dari Banjarmasi ke Jakarta untuk menemuinya. Sebagai sahabat, pak Muis tamu itu kehabisan bekal di Jakarta sewaktu mau kembali ke Banjarmasin. Merasa sebagai sahabat, ia (Muis-red) mencoba meminjam uang kepada pak Natsir yang Perdana Menteri, apa jawab Natsir? “Kalau mau pinjam uang pribadi kebetulan saya tidak punya. Tetapi saudara bisa pinjam uang dari majalah Hikmah yang saya pimpin. Nanti pinjaman itu diperhitungkan dengan majalah Hikmah.” Waktu mendengar cerita ini , saya berkata dalam hati, seperti tidak percaya, bagaimana mungkin seorang yang menduduki jabatan tinggi sampai tidak mempunyai uang.

Ia juga tidak membeda-bedakan dalam menerima tamu. Suatu ketika di kantor Dewan Dakwah ketemu dengan tamu dari pelosok desa dari Jawa Timur. Saya heran ketika diberitahu urusan yang nampak ‘sepele’ soal kekurangan dana menyelesaiakan masjid desa. Natsir menemuinya dengan kebesaran hati sebagaimana menerima tamu-tamu penting lainnya. Ia sampaikan,” Kekurangan dana masjid di desa itu masalah besar dan tidak sepele. Itu masalah besar dan penting,” katanya.

Dakwah di pedesaan itu menjadi perhatian Natsir yang luar biasa sekalipun dia kelas dai internasional. Keinginannya berdakwah di pedesaan menurut catatan Muhsin MK, dalam tulisannya Natsir dan Dakwah di Pedesaan, mencatat sekurangnya ada 3 hal:
1. kehadirannya memenuhi undangan membawa pengaruh besar terhadap masyarakat yang dikunjunginya.
2. kesempatannya berceramah di desa dengan memberikan wejangan menambah wawasan masyarakat desa
3. kedatangannya ke desa digunakan untuk berdialog dan bertukar pikiran dengan tokoh dan masyarakat setempat.

Kegiatan dakwah ini dapat dikategorikan dalam 4 bidang garapan yaitu pendidikan, social ekonomi, kemasjidan dan pengiriman dai. Dan hal itu juga dakwah di pedesaan dan daerah pedalaman yang digagas Natsir dengan lembaga Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) itu dengan melakukan:
1. pengiriman tenaga dai yang terlatih untuk berdakwah di daerah pedalaman, pedesaan, dan transmigrasi.
2. mengirim bantuan ke suatu daerah yang memerlukan
3. menerima kehadiran tokoh masyarakat desa di kantor maupun di rumah.

Di Indonesia, Mohammad Natsir telah mengambil insiatif untuk mengembangkan kegiatan di bidang dakwah, penerbitan, pendidikan, social ekonomi, kesehatan, kepesantrenan, penelitian dan pengemabngan masyarakat, serta kegiatan kecendekiawan muslim.

Dan ketika model pembangunan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi ‘tricle down strategy’ mulai dipertanyakan para ahli oleh karena ketidakmampuannya mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran maka Mohammad Natsir mempraklasai pesantren pertanian yang kemudian diberi nama pesantren Daarul Fallah. Pesantren ini melibatkan di dalam pengemabngan masyarakat dengan program pengembangan teknologi tepat guna did alam pertanian, peternakan, kesehatan perbengkelan, perkoperasian dan lain sebagainnya.

Menurut Habib Chirzin, dalam tulisannya berjudul,”Mohammad Natsir Sebagai Mujahid Da’wah dan Pendidik Bangsa,” sebagai seorang dai, politikus sekaligus pendidik pak Natsir telah menggagas konsep hubungan komunitas untuk kemajuan peradaban Islam. Ia menyebutnya dengan gagasan terintegrasinya masjid, pesantren, dan kampus. Pesantren sebagai benteng terakhir umat Islam harus memajukan peradaban umat di sekitarnya dengan pengembangan diri daan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dan jamaah masjid sebagai komunitas silaturrrahin yang harus dan terus dijaga dengan para cendekiawan untuk bisa membina kualitas umat. Sehingga masyarakat terbimbing, dan saling belajar satu sama lain.

Anti Sekulerisme
Sejak tahun 1930-an, Natsir menolak paham sekulerisme, walaupun saat itu bahaya sekulerisme masih terselubung. Natsir menyindir sekulerisme saat itu dengan istilah “Netral Agama”

Pada pidato di sidang Konstituante, 12 Nopember 1957, secara bernas mengupas sekulerisme. Menurutnya hanya ada dua alternatif untuk meletakkan dasar Negara dalam sikap asasnya yaitu paham sekulerisme, tanpa agama atau paham agama.

Menurut Natsir, seorang sekularis tidak mengakui adanya wahyu. Mereka menjadikan ilmu terpisah dari nilai-nilai hidup dan peradaban. Kaum sekularis berpandangan, etika harus terpisah dari ilmu pengetahuan. Mereka berpendapat bahwa hidup bersama lelaki dan wanita tanpa nikah, asal suka sama suka, tidak melanggar kesusilaan. Bagi seorang sekularis, masalah Ketuhanan hanya sampai pada Ketuhanan Yang Maha Esa saja, tidak ada hubungannya dengan wakyu. Bagi mereksa, soal Ketuhanan adalah soal penciptaan manusia yang berganti-ganti.

George Mc Turnan Kahin, bahkan mencatat sumbangan paling besar Mohammad Natsir terhadap tanah airnya adalah diskusi-diskusi mengenai pengaruh aliran-aliran pembaharuan dalam Islam dan cara-cara dimana dia dan para pemimpin Islam lainnya berusaha untuk menggunakan konsep-konsep Islam pada realitas-realitas dari masyarakat Indonesia.

Kebesaran hati Natsir ini juga pernah ditunjukkan kepada bangsa dan Negara Indonesia. Sesudah memperoleh kembali kebebasannya dari tahanan, Natsir langsung menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk umat, bangsa dan tanah airnya. Tanpa diminta oleh siapa pun, melihat hubungan yang kurang mesra antara Saudi Arabia dengan Indonesia, Natsir ‘mendakwahi’ Raja Faisal untuk memesrakan kembali hubungannya dengan Indonesia. Natsir jugalah yang di masa-masa awal orde baru, diundang pemerintah Jepang ke Tokyo; Jepang ingin mendengar pendapat Natsir tentang pemerintah Orde baru. Dan dia melakukannya atas kapasistas sebagai pribadi bukan atas nama organisasi.

Ketika terjadi kerusuhan anta umat beragama, 1967, Natsir tampil dengan seruan agar umat jangan melakukan perusakan terhadap gereja, agar umat tidak memperturutkan emosi.

Ketika opini dunia, juga dunia Islam sedang buruk kepada Indonesia sehubungan dengan kasus Timor Timur. Natsir ‘medakwahi’ Muktamar Islam tentang benarnya langkah politik Indonesia di Timor Timur. Dunia Islam yang tadinya salah sangka terhadap Indonesia menjadi paham dan mendukung kebijakan politik Indonesia di Timor Timur dan kemudian berusaha mengirim dai ke daerah tersebut.

Demikianlah Natsir. Ia terus melangkah. Ia tak lelah memandu umat. Ia terus berbuat seperti yang dianjurkannya,”Berpirau, meskipun seorang diri.” Ia tak peduli kelak dicatat sejarah atau tidak, gainya yang terpenting adalah yakin dan selalu berbuat. (Akbar Muzakki)

Posting Komentar

0 Komentar