Oleh: Ahmad Khoirul Fata
PENDAHULUANWacana pemikiran Islam di Indonesia diramaikan dengan hadirnya tren pemikiran yang liberal. Corak liberalisme Islam tersebut kemudian ditegaskan dalam sebuah institusi Jaringan Islam Liberal (JIL) di tahun 2001. Kehadiran liberalisme Islam di Indonesia mendapatkan reaksi dari banyak kalangan. Dalam MUNAS VII (26-29/07/2005), di Jakarta, MUI mengeluarkan 11 fatwa tentang berbagai persoalan yang muncul di masyarakat. Di antara fatwa tersebut terdapat fatwa kesesatan dan keharaman mengikuti paham sekularisme, pluralisme, dan liberalisme (SIPILIS) agama. Selain itu, MUI juga mengeluarkan beberapa fatwa haram terhadap aplikasi praktis paham-paham tersebut, yaitu tentang doa bersama lintas agama, pernikahan lintas agama, pembagian warisan antaranggota keluarga yang berbeda agama, dan masalah imam sholat perempuan.
Keluarnya fatwa tersebut sendiri merupakan akumulasi kekhawatiran umat Islam terkait maraknya penyebaran paham SIPILIS. Dalam Muktamar Muhammadiyah di Malang, Juni 2005, sidang komisi D merekomendasikan pembubaran Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) yang sering dipandang sebagai simpul liberalisme pemikiran di kalangan anak muda Muhammadiyah. Tidak hanya itu, isyarat kuatnya arus anti-liberal warga Muhammadiyah ditandai dengan kegagalan Amin Abdullah dan Abdul Munir Mulkhan masuk dalam 13 besar anggota PP Muhammadiyah karena dianggap tokoh liberal. Hal serupa juga terjadi dalam Muktamar NU di Boyolali, Desember 2004, dan saat Muktamar Pemikiran NU di Situbondo pada Oktober 2003.
Jika MUI dan sejumlah tokoh Islam merespons dengan mengeluarkan fatwa haram atau menuntut pembubaran JIL dan lembaga lain yang mengusung paham liberalisme Islam, beberapa intelektual muda Islam yang, sedang atau telah menempuh pendidikan di International Institute of Islamic Thought and Civilization-International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) membuat lembaga kajian Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) untuk memberikan respons ilmiah terhadap gagasan-gagasan liberalisme Islam di Indonesia, serta mengembangkan dan menghadirkan framework pemikiran Islam yang lebih konseptual yang berangkat dari konsep pandangan hidup Islam. Beberapa intelektual yang bergabung dalam lembaga ini adalah Adian Husaini, Hamid Fahmy Zarkasyi, Adnin Armas, Ugi Suharto, Anis Malik Toha, Syamsuddin Arif, dan lainnya.
Salah satu gagasan kalangan Islam liberal yang mendapat perhatian serius aktivis-aktivis INSISTS adalah ide tentang pluralisme agama. Ide ini diperhatikan secara serius mengingat kekuatan perusak yang terkandung di dalamnya. Aktivis INSISTS melihat ide pluralisme agama dapat merusak akidah islamiyah karena mengacaukan konsep kebenaran Islam. Perhatian lebih terhadap gagasan ini tampak dari berbagai publikasi yang dikeluarkan aktivis INSISTS. Dalam majalah ilmiah “Islamia”, terdapat dua edisi yang dikhususkan membahas tema tersebut, yaitu edisi 3, tahun 1 (September-November 2005) yang mengambil tema “Di Balik Paham Pluralisme Agama”, dan edisi 4, tahun 1 (Januari-Maret 2006) dengan tema “Pluralisme Agama, Dari Globalisasi Ke Global Theology”. Lebih dari itu, Anis Malik Toha merasa perlu menerbitkan tesis S-3 nya menjadi sebuah buku yang berjudul “Tren Pluralisme Agama”, dan Adian Husaini mempublikasikan buku “Pluralisme Agama: Haram! Fatwa MUI Yang Tegas Dan Tidak Kontroversial ” yang, dapat dikatakan, merupakan buku putih bagi fatwa MUI. Dan pada tema pluralisme agamalah tulisan ini difokuskan. Fokus kajian tulisan ini ditekankan pada bangunan konsep pluralisme agama versi pemikir Islam liberal di Indonesia dan tanggapan yang diberikan aktivis INSISTS terhadap ide tersebut, serta pengujian argumentasi yang dipakai keduanya.
AGAMA DAN KONFLIK
Pluralisme (Inggris: pluralism, Latin: pluralis) berarti jamak/banyak. Dalam bidang sosial pluralisme berarti masyarakat dinilai tersusun dari pelbagai ragam kelompok yang relatif independen, dan organisasi yang mewakili berbagai bidang/pekerjaan yang berbeda. Terkait erat dengan pluralitas sosiologis ini adalah pluralisme filosofis. Pada aras pluralisme filosofis ini, setiap individu mempunyai pandangan yang berbeda secara mendasar berkaitan dengan prinsip-prinsip hidup yang mendasar, khususnya berkaitan dengan agama dan makna terdalam dari kehidupan manusia. Pluralisme juga menganggap semua keyakinan filosofis dan religius dalam pengertian relativisme murni sebagai pendapat-pendapat pribadi yang semuanya mempunyai nilai yang sama.
Untuk lebih mudahnya terma tersebut harus diperbandingkan dengan dua terma lainnya, yaitu: eksklusivisme dan inklusivisme. Eksklusivisme adalah pandangan bahwa sebuah tradisi partikular mengajarkan kebenaran dan mengandungi jalan keselamatan pembebasan. Hanya keyakinan atau tradisi keagamaan itu yang benar, sementara yang lain salah. Sedangkan inklusivisme adalah pandangan bahwa tradisi keagamaan yang dimiliki oleh seseorang memiliki kebenaran yang menyeluruh (sempurna) tetapi kebenaran tersebut secara parsial terefleksikan pada tradisi lain. Perkembangan inklusivisme adalah pluralisme agama yang mengakui adanya kebenaran yang sederajat dalam setiap tradisi agama-agama dan kepercayaan.
Penyebaran gagasan pluralisme agama didasari oleh kenyataan konflik sosial yang seringkali terjadi di tengah masyarakat plural. Keanekaragaman dalam masyarakat, menurut Ulil Abshar Abdalla, bisa membuat semakin berwarnanya masyarakat jika dikelola secara baik, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, seringkali keragaman menjadi pemicu konflik sosial. Dari berbagai konflik yang terjadi dalam sejarah, kalangan Islam liberal melihat agama merupakan salah satu faktor pemicunya, minimal dalam memberikan justifikasi kepada terjadinya kekerasan/konflik sosial. Karena itulah Taufik Adnan Amal melihat perlunya agama didudukkan ke kursi pesakitan sebagai tertuduh dalam berbagai konflik yang terjadi.
Menurut Sarlito Wirawan Sarwono, potensi konflik komunal di Indonesia berakar pada perlakuan diskriminatif pemerintah kolonial Hindia Belanda dan diperparah oleh pengembangan sikap eksklusif komunitas beragama. Sikap eksklusif ini dibentuk oleh persepsi adanya ancaman dari satu komunitas atas komunitas lainnya (kuatnya kecurigaan antara komunitas agama) dan diperkuat lagi oleh aktivitas keagamaan yang memperkokoh keyakinan keimanan pemeluknya secara internal, tetapi pada sisi lain, menambah tipisnya keterikatan dengan komunitas lainnya.
Meski tampak mendalam, cara beragama seperti ini dinilai oleh Abdurrahman Wachid sebagai keberagamaan yang dangkal yang timbul akibat interaksi dengan Islam mancanegara, terutama Timur Tengah. Ada dua sebab kemunculan hal itu: pertama, Islam Indonesia sedang mengalami transisi dari kehidupan tradisional ke kehidupan modern yang berdampak pada hilangnya akar-akar psikologis dan kultural. Kekhawatiran teralihkan dari agama membuat mereka enggan menerima modernisasi secara total. Maka, meski telah tinggal di kota-kota, Wachid menilai mereka masih bermental orang kampung. Kedua, politisasi Islam. Islam telah dijadikan ajang kepentingan politik dan bendera politik yang dipakai untuk menghadapi orang lain. Pendangkalan agama inilah yang menjadikan warna Islam Indonesia bersifat eksklusif dan menjadi sebab terjadinya konflik komunal antaragama.
PRINSIP UTAMA PLURALISME AGAMA
Muhammad Wahyuni Nafis memberikan beberapa prinsip landasan pluralisme agama: pertama, pengakuan pada logika Yang Satu bisa dipahami dan diyakini dalam berbagai bentuk dan tafsiran. Ini berarti bahwa Yang Maha Kuasa itu bisa dipahami oleh berbagai penganut agama-agama secara berbeda dan bermacam-macam, namun semuanya tetap mengacu pada satu keyakinan bahwa hanya ada satu Yang Maha Kuasa. Ini adalah hakikat keimanan semua agama yang ditangkap oleh manusia secara plural sebagai konsekuensi niscaya dari Yang Tak Terbatas ketika dipahami oleh yang terbatas.
Prinsip kedua adalah bahwa multi tafsiran dan pemahaman mengenai Yang Satu hanyalah alat atau jalan menuju ke Hakikat Absolut. Prinsip kedua ini penting sebab di samping memberikan dasar atas pandangan pluralisme sebagai satu keniscayaan, juga sebagai langkah preventif untuk mencegah adanya kemungkinan pemutlakan pada masing-masing bentuk tradisi keagamaan dan pemahaman. Ketiga, bahwa pengalaman partikular keagamaan, meskipun terbatas, harus diyakini memiliki nilai mutlak bagi pemeluknya. Namun satu hal yang perlu dicatat di sini bahwa sikap ini tidak berarti membolehkan adanya pemaksaan terhadap orang lain untuk mengakui dan meyakini keyakinan kita, melainkan harus tetap diiringi dengan pengakuan bahwa pada orang lain juga terdapat komitmen mutlak pada pengalaman partikularnya seperti yang kita yakini. Dalam ungkapan lain, kemutlakan pengalaman partikular keagamaan bersifat relatively absolute.
Ketiga prinsip tersebut mereka rumuskan dalam kalimat “Other religions are equally valid ways to the same truth,” “Each religion expresses an important part of the truth,” atau “Other religions speak of different but equally valid truth”. Dalam konteks beragam jalan menuju Tuhan inilah Budhy Munawar Rahman melihat bahwa agama-agama terbangun dari dua unsur: esoterik dan eksoterik. Unsur pertama menjadi titik temu agama-agama secara transendental karena ia merupakan the heart of religions. Pada titik ini tidak ada perbedaan antara satu agama dengan yang lainnya. Tetapi pada aspek eksoterik, kebenaran tunggal tersebut terfragmentasi akibat spektrum penangkapan setiap orang terhadap yang tunggal itu melalui beragam dimensi, bahasa dan cara pandang. Dan di sinilah letak terjadinya perbedaan agama-agama.
Karena manusia yang secara ontologis relatif, Mun’im A. Sirry menyatakan, sangat tidak mungkin mampu mempersepsikan Tuhan Yang Absolut. Selalu ada ‘jarak’ yang amat jauh antara manusia dan Tuhan yang hanya bisa dijembatani oleh simbol-simbol sehingga di mata manusia tampak ada bermacam-macam bentuk Tuhan yang plural. Kautsar Azhari Noer menyebut Tuhan dalam batasan relativitas manusia sebagai “Tuhan kepercayaan”, yaitu gambaran, pemikiran, konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan yang diciptakan oleh akal manusia atau taklidnya. Tuhan seperti ini bukanlah Tuhan yang sebenarnya, Tuhan pada diri dan zat-Nya sendiri, tetapi adalah Tuhan yang diciptakan oleh manusia sesuai dengan kemampuan penangkapan, pengetahuan, dan persepsinya. Tuhan seperti ini adalah Tuhan yang ditempatkan oleh manusia dalam pemikiran, konsep, ide, atau gagasan dan diikat dalam dan dengan kepercayaannya.
‘MENGISLAMKAN’ PLURALISME AGAMA
Mengingat market sasaran paham tersebut adalah umat Islam, kalangan liberal kemudian menggunakan bahasa-bahasa Islam agar mudah ide tersebut diterima. Dalam konteks ini kalangan liberal melihat perbedaan agama-agama sebenarnya hanya tampak pada aspek syariat (eksoterisme) bukan pada aspek inti kebenarannya (esoterik/tauhid); bahwa secara syariat, masing-masing agama menunjukkan perbedaan, tetapi secara hakikat semuanya bertemu pada satu titik kesatuan kebenaran tunggal-universal, yang dalam bahasa Islam disebut dengan tauhid. Tauhid, menurut Nurcholish Madjid, adalah ajaran untuk bersikap pasrah, tunduk, patuh hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tanpa memberikan peluang untuk melakukan sikap mendasar serupa kepada sesuatu apa pun selain kepada-Nya (taghut) (QS. al-Nahl [16]: 36, al-Anbiya’[21]: 25). Ajaran ini merupakan inti misi yang dibawa tiap-tiap utusan (nabi/rasul) dalam setiap masyarakat yang berbeda.
Lebih jauh Madjid menyatakan bahwa aktivitas kepasrahan total kepada Yang Tunggal inilah yang disebut dengan al-islam. Islam di sini bukan bermakna sebagai nama sebuah agama yang dibawa Nabi Muhammad, tetapi mengacu pada makna generiknya sebagai sikap penuh pasrah dan berserah diri hanya kepadaNya. Madjid menyatakan: “perkataan (Arab) “al-islam” mengandung pengertian “al-istislam” (sikap berserah diri) dan “al-inqiyad” (tunduk patuh), serta mengandung makna “al-ikhlas” (tulus)… Maka tidak boleh tidak dalam Islam harus ada sikap berserah diri kepada Allah Yang Maha Esa, dan meninggalkan sikap berserah diri kepada yang lain. Oleh karena itulah Madjid menegaskan bahwa sikap ber-islam tersebut adalah misi sejati tiap-tiap rasul dan agamanya (QS. al-Anbiya’ [21]: 25). Tidak ada agama tanpa sikap pasrah. Agama tanpa kepasrahan adalah tidak sejati dan tertolak. Ini ditegaskan oleh Allah dalam firmannya: “Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah al-islam” (QS. Ali Imran [3]:19), dan “Barang siapa menganut agama selain al-islam (sikap pasrah), maka tidak akan diterima daripadanya, dan di akhirat dia termasuk mereka yang menyesal” (QS. Ali Imran [3]:85). Madjid kemudian menyimpulkan bahwa Islam bukanlah agama eksklusif untuk orang Muslim saja. Islam bukanlah sekte atau sebuah agama etnis, tetapi ajaran ketundukan kepada Yang Absolut, bersifat inklusif dan universal tanpa dibatasi identitas komunal. Dalam pandangan Islam semua agama adalah satu (sama), karena kebenaran adalah satu (sama).
Maka, kalangan Islam liberal secara tegas menyatakan bahwa keimanan pemeluk Yahudi, Nasrani, Islam dan yang lainnya dapat diterima oleh Allah jika didasari sikap tersebut dan terbebas dari komunalisme dan sektarianisme. Mereka mendasarkan pendapatnya pada Surat al-Baqarah [2] ayat 62 yang menyatakan “sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka”.
Lebih lanjut mereka menyatakan bahwa kesatuan kebenaran antaragama tersebut sebenarnya telah ditegaskan oleh al-Qur’an yang kehadirannya di kehidupan ini adalah untuk membenarkan kitab-kitab sebelumnya (QS. Yunus [10]:37, al-Ma’idah [5]:48) dan ini berarti membenarkan kebenaran misi agama-agama sebelumnya, bukan membatalkannya. Dalam konteks ini Madjid melihat misi yang dibawa Muhammad, yang di kemudian hari menjadi proper name agama umatnya, Islam, merupakan seri lanjutan (kontinuitas) dari satu kesatuan kisah kenabian (QS. al-Shura [42]:13). Karena itu Muhammad tidak datang dengan ajaran baru. Kedatangannya di dunia ini adalah untuk melengkapi sebuah bangunan besar kenabian. Islam memang mengaku sebagai agama terakhir dan mengklaim sebagai agama yang memuncaki proses pertumbuhan dan perkembangan agama-agama dalam garis kontinuitas tersebut. Tetapi Madjid mengingatkan bahwa justru penyelesaian yang diajarkan Islam sebagai agama terakhir adalah pengakuan akan hak-hak agama-agama itu untuk berada dan untuk dilaksanakan, bukan supersessionisme yang berkeyakinan bahwa agama yang datang belakangan berfungsi mengabrogasi atau menggeser agama sebelumnya.
SEKILAS INSISTS
Kelahiran Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) tidak lepas dari fenomena derasnya arus globalisasi yang ditandai oleh gerakan westernisasi dan didukung oleh faham liberalisme, sekularisme, relativisme, pluralisme, feminisme dan lain-lain yang telah membawa pengaruh kuat terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan keagamaan umat Islam. Melalui media massa, paham-paham tersebut dianggap aktivis INSISTS telah menginfiltrasi dan menghegemoni kehidupan umat Islam, bahkan telah mencengkeram banyak lembaga pendidikan dan organisasi Islam. Pemikiran dan metodologi Barat telah banyak diadopsi dalam studi Islam tanpa proses seleksi memadahi sehingga tidak jarang melahirkan pemikiran yang meruntuhkan bangunan pemikiran dan peradaban Islam.
Proses tersebut dinilai aktivis INSISTS dapat melahirkan beberapa akibat buruk, yaitu; (1) timbulnya kekaburan dan kerancuan pemikiran, kerusakan ilmu, dan berbagai konsep penting lain dalam Islam. Salah dan benar menjadi kabur. (2) munculnya sikap inferior terhadap peradaban hegemon (Barat) dan sinis terhadap khazanah peradaban Islam. Insyaf akan tantangan intelektual tersebut dan tanggung jawab menghadirkan Islam sebagai al-din yang didasarkan pada fitrah manusia dan sebagai bagian dari peradaban yang menjadi rahmat bagi peradaban lain, maka INSISTS hadir untuk mengupayakan hadirnya kajian-kajian yang bersifat konseptual, kritis, tidak a priori terhadap peradaban lain, namun tetap berpijak pada pandangan hidup (world view) Islam, menggali dan berpegang pada tradisi intelektual dan menghormati otoritas keilmuan Islam serta tetap memperhatikan kondisi kekinian.
WESTERNCENTRISM
Aktivis INSISTS melihat pluralisme agama lahir seiring proses liberalisasi kehidupan masyarakat Barat di segala bidang, utamanya bidang sosial-politik. Jika liberalisasi sosial politik melahirkan suatu tatanan politik pluralistik yang dikenal dengan “pluralisme politik”, maka liberalisasi agama bermuara pada terciptanya suatu tatanan sosial yang menempatkan semua agama pada posisi yang sama dan sederajat, sama benarnya dan sama relatifnya atau yang sekarang lebih dikenal dengan pluralisme agama. Terjadinya liberalisasi di dunia Barat merupakan antitesa dari realita kesejarahannya yang traumatik.
Husaini menyebutkan setidaknya ada tiga sebab masyarakat Barat mengambil jalan tersebut. Pertama, trauma sejarah. Dalam perjalanannya, peradaban Barat pernah mengalami masa traumatik yang biasa mereka sebut sebagai the dark ages atau juga disebut the medieval ages. Abad baru yang lahir sebagai anti-tesa terhadap abad kegelapan tersebut disebut dengan renaissance yang berarti rebirth (kelahiran kembali). Di zaman ini masyarakat Barat merasa seperti dilahirkan kembali setelah sekian abad mengalami ‘kematian’ di bawah dominasi gereja. Kedua, problem teks Bibel. Problem ini terkait dengan otentisitas teks Bibel dan makna yang terkandung di dalamnya. Kitab Perjanjian Lama hingga kini belum jelas siapa pengarangnya. Demikian pula Perjanjian Baru. Ketiga, problem teologi Kristen. Ketidakjelasan otentisitas Bibel membawa konsekuensi doktrin-doktrin teologis yang dikandungnya menjadi “tidak jelas.” Husaini pun menyimpulkan, dengan mengutip pendapat Groenen Ofm, bahwa “seluruh permasalahan kristologi di dunia Barat berasal dari kenyataan bahwa di dunia Barat, Tuhan menjadi satu problem”.
Sejarah yang traumatik begitu membekas dalam memori kolektif masyarakat Barat sehingga mereka menganggap agama sebagai hambatan bagi proses liberalisasi kehidupan. Menurut Thoha, Katolik dianggap oleh masyarakat Barat sebagai batu sandungan proses liberalisasi sosial-politik karena agama ini memiliki sifat eksklusivitas yang sangat kaku. Doktrin extra ecclessiam nulla salus menjadi sebab terjadinya fragmentasi sosial, bahkan konflik, dalam masyarakat Barat yang notabene mayoritas Kristen. Pada dataran ini Thoha melihat gagasan pluralisme agama merupakan salah satu elemen gerakan reformasi pemikiran atau liberalisasi agama yang dilancarkan pada abad kesembilan belas, sebuah gerakan yang kemudian dikenal dengan Liberal Protestanism. Untuk menghadapi desakan realitas luar yang tidak lagi ramah terhadap doktrin extra ecclessiam tersebut, di awal tahun 1960-an Gereja Katolik ‘dipaksa’ melahirkan doktrin keselamatan umum, bahkan juga bagi agama-agama selain Kristen dalam Konsili Vatikan II (Vatican Council II).
Lebih jauh Thoha melihat gagasan pluralisme agama memiliki banyak ragam sesuai latar belakang keilmuan tokoh-tokohnya. Beberapa aliran yang dianggap Thoha mengusung pluralisme agama adalah humanisme sekuler, teologi global, sinkretisme dan hikmah abadi (Sophia perennis). Humanisme sekular memiliki akar pada filsafat Protagoras (seorang Sophis sebelum masehi) tentang sentralitas manusia dalam kosmos. “Manusia adalah satu-satunya standar bagi segala sesuatu”. Inilah yang kemudian menjadi spirit aliran humanisme modern dan memiliki keterkaitan dengan ideologi-ideologi modern semisal positivisme logis, eksistensialisme, pragmatisme, nasionalisme, globalisme dan selainnya yang cenderung mensakralkan manusia.
Sementara itu teologi global dilihat Thoha dilatari oleh realitas makin mengglobalnya masyarakat dunia sehingga mengeliminir batas-batas identitas dan keyakinan. Di satu sisi globalisasi datang menerjang budaya dan nilai-nilai tradisional suatu masyarakat, tetapi di sisi lain, globalisasi membawa titik balik menguatnya keyakinan keagamaan suatu komunitas agama sehingga melahirkan fundamentalisme atas nama agama. Tetapi Thoha mencatat bahwa globalisasi telah memaksa manusia untuk mengubah dan merevisi pemikiran dan keyakinan agama tradisional agar seirama dengan zeitgeist (spirit zaman). Thoha memberikan contoh kecil berupa kesimpulan Wilfred Cantwell Smith yang menganggap bahwa agamalah yang memecah-belah manusia menjadi sekte-sekte dan kelompok-kelompok agama yang berbeda bahkan bertentangan karena agama mengandungi pengertian dan penafsiran yang tidak jelas, ambigu, membingungkan, dan tidak memiliki pengertian bersama yang disepakati secara positif/pasti. Smith juga menawarkan definisi agama alternatif yang dianggapnya bisa diterima oleh semua pihak, yaitu apa yang ia sebut sebagai cumulative tradition dan faith.
Tren ketiga pluralisme agama menurut Thoha adalah sinkretisme. Gagasan utama gerakan ini adalah: terbaginya kebenaran secara sama rata antara agama-agama, karena itulah pokok pikiran kedua adalah bahwa agama-agama saling melengkapi satu dengan yang lain. Tren keempat adalah hikmah abadi (sophia perennis, perennial philosophy, al-hikmah al-khalidah). Tema utama hikmah abadi adalah adanya hakikat esoterik yang abadi dan menjadi asas dan esensi segala sesuatu yang ada yang terekspresikan dalam bentuk hakikat-hakikat eksoterik dengan bahasa yang berbeda-beda. Kerangka pemikiran ini kemudian mengantarkan pada kesimpulan bahwa semua agama-agama yang ada, baik yang masih hidup atau yang telah mati, adalah merupakan different theopanies of the same truth.
Karena secara konseptual lahir dalam konteks masyarakat Barat, istilah pluralisme agama dianggap aktivis INSISTS tidak dikenal dalam tradisi Islam. Islam hanya mengakui adanya realitas pusparagam identitas dalam masyarakat, bukan pengakuan terhadap kebenaran agama-agama yang ada (pluralisme agama). Memasukkan istilah tersebut ke dalam tradisi Islam, bahkan memberikan justifikasi teologis atasnya, dianggap Hamid Fahmi Zarkasyi sebagai sebentuk pemaksaan konseptual yang tidak kompatibel/tidak memiliki relevansi dan dapat melahirkan conceptual confusing. Lebih dari itu Adian Husaini dan Nuim Hidayat menilai pemaksaan tersebut sangat berbahaya karena dapat mengaburkan konsep tauhid Islam dan jika dibiarkan dapat menjadi musibah besar bagi umat Islam melebihi musibah degradasi moral akibat pornografi dan pornoaksi.
PARADOKS PLURALISME AGAMA
Awalnya, ide pluralisme agama di dunia Barat lahir dengan ‘niat baik’ menjadi penengah bagi sekte-sekte Kristen yang saling mengkafirkan dan antaragama-agama di Barat yang sering berkonflik. Tetapi tanpa disadari oleh para pegiatnya, gagasan pihak penengah tersebut dilihat Thoha justru menjadi pemain baru yang turut meramaikan ketegangan keagamaan yang telah ada. Kaum pluralis mengklaim bahwa pluralisme menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tetapi justru mereka sendiri tidak toleran karena menafikan kebenaran eksklusif agama-agama yang ada. Mereka menafikan klaim kebenaran absolut agama-agama, tapi justru di saat yang sama mengklaim pemahaman mereka tentang Tuhan (The Real, The Ultimate Reality, The One)lah yang paling benar sendiri. Bukankah konsep The Real juga pemahaman yang relatif terhadap Yang Mutlak, kenapa harus dimutlakkan? Di sinilah Thoha menunjukkan letak ketidakkonsistenan gagasan pluralisme agama.
Selain itu gagasan paralelisme kebenaran agama-agama di atas dinilai Thoha telah terjebak pada relativisme kebenaran dan bersifat reduktif. Reduktif karena menyederhanakan agama-agama sebagai sekedar aspek esoterisme dengan melalaikan aspek eksoterisme atau agama sebagai sekedar pemahaman manusia. Kesederhanaan seperti itu mungkin berlaku bagi agama lain, tetapi tidak demikian bagi Islam. Ini karena Islam bukanlah pemahaman atau pemikiran Muhammad terhadap Allah swt. Tetapi wahyu Tuhan yang diberikan kepadanya dalam bentuk kitab suci al-Qur’an dengan otentitas yang sangat terjaga. Pun demikian, secara konseptual, titik temu agama-agama dalam aspek esoterisme juga bermasalah sebab secara esoteris pun agama-agama memiliki konsep yang berbeda-beda; setiap agama-agama memiliki konsep tentang Tuhan yang eksklusif (khas) atau berbeda-beda pada aspek esoterisme.
Yang juga perlu dicatat di sini adalah bahwa pemikiran mengenai titik temu agama-agama pada aras esoterisme merupakan produk pengalaman penganjurnya ketika terlibat dalam kehidupan agama-agama. Kesatuan transenden seperti itu tidak bisa dikatakan sebagai agama, hanya merupakan pengalaman keagamaan. Karenanya konsepnya perlu diubah dari trancendent unity of religions menjadi trancendent unity of religious experiences. Jadi, Thoha menyimpulkan, konsep seperti itu hanya utopia karena melampaui tingkatan pengalaman keagamaan masyarakat umum. Ini jelas bukan maksud agama yang diturunkan untuk umat manusia. Agama Islam bukan untuk elite tertentu, tetapi untuk seluruh umat manusia.
SEBUAH ANCAMAN
Sebagai produk kebudayaan Barat, gagasan pluralisme agama dinilai oleh aktivis INSISTS tidak memiliki justifikasi apapun dalam Islam. Karenanya, segala upaya memasukkan terminologi ini dalam konteks tradisi pemikiran masyarakat Muslim akan menemukan kendala besar berupa kerancuan konseptual. Upaya pemasukan tersebut baru mungkin terjadi bila dilakukan berbagai pembongkaran terhadap konsep-konsep fundamental Islam yang selama ini telah mapan. Bila jalan ini yang ditempuh, maka bangunan Islam akan mengalami perubahan fundamental yang berbeda, bahkan bertentangan, dengan Islam otentik sebagaimana yang dibawa Rasulullah Muhammad saw. Upaya seperti ini dinilai aktivis INSISTS sebagai upaya dekonstruksi terhadap Islam, yang, dalam pandangan Husaini, lebih dari upaya penghancuran Islam karena berupaya merombak struktur fundamental Islam secara radikal.
Pendefinisian “Islam” dalam makna generiknya oleh Madjid adalah salah satu contoh upaya tersebut. Istilah “Islam”, papar Husaini, selain memiliki makna generik atau bahasa (lughowi), juga memiliki makna istilahy. Surat Ali Imran [3]: 19 dan 85 menurut Husaini bukan merujuk pada makna generiknya, tetapi pada Islam sebagai proper name agama yang dibawa Nabi Muhammad saw. Islam dalam makna khusus tersebut adalah Islam yang dibangun atas lima hal: kesaksian akan keesaan Allah dan kerasulan Muhammad saw., penegakan salat, penunaian zakat, pelaksanaan haji, dan puasa di bulan Ramadan. Ini artinya, simpul Husaini, sah-tidaknya kebenaran agama-agama tidak hanya dilihat dari sikap submission to God, namun juga dilihat dari cara submission-nya. Ukuran kebenaran suatu agama adalah ajaran ketundukan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan perwujudan kepasrahan kepada Tuhan secara benar (the real submission). The real submission adalah sebentuk konfirmasi terhadap keyakinan yang benar dan genuine dari Tuhan, dan itu hanya terdapat dalam ajaran yang dibawa Muhammad saw. Di titik inilah letak perbedaan dan keunggulan Islam dari agama-agama lain.
Tentang konsep tauhid dan kesatuan misi kenabian, Syamsuddin Arif menjelaskan meski agama-agama samawi memiliki titik pertemuan yang sama, namun semua umat yang hidup sezaman atau setelah kehadiran Nabi Muhammad saw. Harus mengikuti risalah nabi terakhir itu, hatta para pembawa risalah sebelum Muhammad itu sendiri. Arif menyatakan semua agama dan kitab suci yang dibawa para rasul dan nabi pada zaman dahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarahnya masing-masing. Ini adalah bagian dari arkan al-iman. Namun itu tidak berarti bahwa validitas agama-agama tersebut terus berkelanjutan setelah kedatangan Rasulullah saw.
Aktivis INSISTS juga melihat terjadinya pemaknaan yang salah yang dilakukan pemikir liberal terhadap Surat al-Baqarah [2]: 62 dan al-Ma’idah [5]: 69. Literasi kedua ayat tersebut seolah-olah memang menjustifikasi adanya keselamatan bagi non-Muslim. Namun pembacaan literal seperti itu dikritik oleh Fahmi Salim. Menurutnya, pembacaan seperti itu adalah pembacaan yang tidak memperhatikan munasabat ayat tersebut dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Salim menjelaskan bahwa sebelum ayat 62, ada banyak ayat yang mengecam dan mengancam orang-orang Yahudi yang durhaka dalam konteks nikmat-nikmat Tuhan yang diberikan kepada mereka (ayat 41-61). Ancaman itu tentu menimbulkan rasa takut. Melalui ayat 62 tersebut Allah memberi jalan ketenangan kepada mereka yang bermaksud memperbaiki diri, yaitu melalui iman kepada Allah dan hari akhir serta beramal saleh. Namun Salim menegaskan hal itu terjadi bagi orang-orang yang hidup sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw. Begitu juga dengan ayat 69 Surat al-Ma’idah [5].
MENIMBANG PLURALISME AGAMA
Bila dikaji lebih jauh, teori “tuhan kepercayaan” sebagai hasil epistemologi “ yang relatif tidak bisa mengakses Yang Mutlak secara mutlak” sebagaimana yang secara kuat dipegangi kalangan liberal di atas, dapat menjebak manusia pada agnostisisme dan relativisme kebenaran, bahkan nihilisme dan ateisme. Agnostisisme berarti keyakinan bahwa sesuatu yang melampaui indera tidak dapat diketahui, atau mungkin diketahui tetapi tidak secara pasti. Karena Tuhan adalah realitas mutlak yang secara esensial tidak mungkin disentuh oleh manusia yang relatif, maka pengetahuan manusia tentang Tuhan adalah pengetahuan yang tidak merepresentasikan esensi Tuhan secara sempurna. Atau meminjam istilah kalangan liberal, Tuhan yang dicapai manusia adalah Tuhan penampakan (fenomenal), bukan Tuhan yang sebenarnya (nomenal).
Argumen ini membawa konsekuensi bahwa setiap pengetahuan yang dihasilkan manusia adalah kebenaran yang terbatas. Tidak ada pengetahuan yang kebenarannya berlaku universal. Kebenaran pengetahuan tersebar ke masing-masing orang/kelompok. Setiap orang/kelompok berhak menentukan ukuran kebenarannya masing-masing sesuai dengan kemampuan, kondisi, kepentingan dan subyektivitasnya masing-masing. Ukuran kebenaran tersebut berlaku untuk diri/kelompok yang bersangkutan secara mutlak, namun tidak untuk orang/kelompok lain. Dengan demikian, kebenaran tersebut bersifat relatively absolute. Pada titik yang lebih ekstrim, pemisahan noumena dari fenomena akan melahirkan relativisme kebenaran, dan bila ditarik lebih jauh, berujung pada nihilisme. Manusia memang mempunyai peluang untuk tidak terjebak pada relativisme dan nihilisme dengan membuat konsensus bersama untuk menentukan ukuran kebenaran yang berlaku lintas kelompok. Mengingat berbagai ragam kelompok dengan kekhasan masing-masing, peluang tersebut cukup sulit terwujud. Pun demikian bila terwujud, cukup sulit untuk mempertahankannya melampaui batasan ruang-waktu. Selain itu ‘kebenaran’ hasil kesepakatan tersebut kembali terjebak pada teori ketidakmungkinan yang relatif memahami Yang Mutlak, dan karenanya tidak layak disebut kebenaran sejati mengingat manusia secara ontologis adalah realitas relatif.
Pemaknaan agama sebagai pengetahuan tentang Tuhan fenomenal dapat dimaknai sebagai reduksi terhadap hakikat dan kebenaran agama. Jika konsep Tuhan dalam agama hanyalah konstruksi manusia atau hasil penangkapan manusia yang terbatas terhadap Tuhan, dan nama-nama Tuhan yang beragam dalam berbagai agama yang berbeda bukanlah representasi Tuhan yang sejati, maka, dapat dikatakan, penyembahan manusia terhadap Tuhan dalam agama bukanlah penyembahan kepada Tuhan itu sendiri, melainkan penyembahan terhadap produk pemikiran manusia berupa Tuhan fenomenal tersebut. Bila ditelisik lebih teliti, logika tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa penyembahan terhadap Tuhan dalam agama sebenarnya adalah penyembahan terhadap manusia atau person yang menjadi ‘pendiri’ agama tersebut karena konsep Tuhan dalam agamanya adalah hasil dari pemikiran sang ‘pendiri’. Konsekuensi inilah yang menjadikan ‘ateisnya’ logika kalangan Islam liberal tersebut.
Lahirnya berbagai konsekuensi tersebut tidak lepas dari reduksi-reduksi dalam logika kaum liberal di atas. Reduksi yang paling fundamental terletak pada pengertian Tuhan, dan tentu saja agama, sebagai konstruk manusia. Logika ini tentu bertentangan dengan logika kaum agamawan yang menganggap agamanya adalah wahyu dari Tuhan, bukan konstruk pemikiran ‘pendirinya’. Reduksi ini menjadikan agama sebagai sekedar kebudayaan atau pengetahuan (science). Selain reduksi makna hakikat agama tersebut, Muhammad Legenheusen menunjukkan, setidaknya ada tujuh hal yang dilalaikan dalam logika kaum liberal, yaitu: adanya keragaman kultural dalam agama-agama, keragaman agama dalam kebudayaan-kebudayaan, fenomena perpindahan agama, klaim-klaim keuniversalan kebenaran agama-agama, adanya ajaran dakwah atau missi (ajakan kepada orang luar untuk menganut suatu agama tertentu) dalam agama-agama, kontradiksi-kontradiksi doktrinal di antara agama-agama, dan kontradiksi-kontradiksi praktis dalam agama-agama.
Dengan berbagai reduksi dalam gagasan pluralisme agama tersebut, maka wajar bila aktivis INSISTS menyimpulkan bahwa gagasan pluralisme agama bukanlah tuan rumah yang baik bagi puspa ragamnya agama-agama. Memang harus diakui, manusia adalah wujud relatif dan sangat mustahil manusia dapat menangkap Tuhan secara sempurna. Namun yang harus diingat adalah bahwa agama adalah wahyu Tuhan yang diturunkan kepada manusia yang berisi informasi-informasi tentang diri-Nya sendiri dan mekanisme penyembahan terhadap-Nya secara benar dan absah. Keterbatasan manusia dalam mengenal Tuhan ‘menggerakkan hati’ Tuhan untuk menurunkan kasih sayangnya kepada manusia berupa wahyu yang menginformasikan diri-Nya sendiri, ciptaan-Nya, relasi antara keduanya, serta jalan menuju keselamatan yang disampaikan melalui para nabi dan rasul pilihan-Nya tanpa ada campur-aduk atau kerancuan (confusion) dengan subyektifitas dan imajinasi kognitif pribadi sang nabi/rasul. Karenanya wahyu tidak bisa disamakan dengan imajinasi seorang penyair besar atau pun klaim para seniman terhadap diri mereka sendiri, atau inspirasi dan intuisi iluminatif seorang ilmuwan atau pakar yang berpandangan tajam.
Wahyu menjadi sumber utama bagi manusia untuk mengenal Tuhan secara benar, karena ia adalah informasi tentang Tuhan oleh Tuhan sendiri, bukan konstruk manusia tentang Tuhan. Wahyu sesungguhnya menjadi pembeda dan tolok ukur kebenaran konsep ketuhanan dalam agama-agama yang ada di dunia ini. Suatu konsep tentang Tuhan dapat dikatakan benar bila konsep tersebut secara valid berasal dari wahyu. Demikian pula cara penyembahan dan penyerahan diri kepada Tuhan dapat dikatakan benar bila diambil dari wahyu yang terwujud Kitab Suci. Pada titik ini, sesungguhnya yang dibutuhkan oleh manusia untuk mengetahui agama mana yang benar-benar bersumber dari wahyu adalah pengujian atas validitas kitab suci agama-agama yang ada di dunia ini; apakah benar-benar wahyu atau hasil konstruksi manusia, dan apakah wahyu yang dikandung kitab suci-kitab suci tersebut masih murni berasal dari Tuhan tanpa campur tangan manusia atau telah bercampur dengan subyektivitas elite agamanya.
MENJERNIHKAN MAKNA “ISLAM”
Pembahasan tentang makna “Islam” menjadi penting untuk dibahas mengingat di tema inilah kalangan liberal memberikan klaim kesesuaian gagasan pluralisme agama dengan Islam. Ayat al-Qur’an yang dijadikan dasar adalah Surat al-Baqarah [2]: 62 dan 112. Kedua ayat ini menjadi dasar utama bagi kalangan liberal untuk memaknai “Islam” dalam Surat Ali Imran [3]: 19 dan 85 dalam makna lughowi-nya.
Secara literal kedua ayat dalam Surat al-Baqarah di atas melegitimasikan adanya keselamatan bagi umat agama lain dengan syarat mereka beriman pada Allah dan hari kiamat serta beramal salih tanpa perlu mengikuti syariat Muhammad. Namun pemahaman sekilas tersebut ditolak oleh banyak ulama’ klasik. Ibnu Jarir al-Tabari, Ibnu Katsir, Imam al-Mawardi, Ibnu Taymiyah dan masih banyak ulama’ lainnya secara tegas menolak pemahaman literal tersebut. Hal itu karena Sabab al-nuzul ayat tersebut berkaitan dengan pertanyaan Salman al-Farisi kepada Nabi Muhammad tentang nasib sahabat-sahabatnya yang taat memegang agamanya sebelum datangnya Nabi Muhammad saw. dan meyakini akan datangnya nabi terakhir itu, namun meninggal sebelum sempat bertemu dengan Nabi. Nabi kemudian menjawab: “mereka penghuni neraka.” Setelah bertanya berkali-kali dan jawaban Nabi tetap, Salman merasa sedih. Namun Allah kemudian menurunkan ayat 62 Surat al-Baqarah [2] tersebut.
Jadi, yang dikehendaki oleh ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang berpegang teguh pada agama mereka dan meyakini akan hadirnya nabi terakhir namun mereka meninggal sebelum bertemu Nabi Muhammad. Keimanan dan amal salih orang-orang seperti itu akan tetap mendapatkan pahala dari Allah. Sementara orang-orang Yahudi, Nasrani dan Shabiin yang bertemu dengan Nabi Muhammad, maka mereka wajib beriman kepadanya dan mengikuti syariatnya. Selain itu, para ulama’ tersebut juga menyebutkan pendapat Ibnu Umar yang menganggap kedua ayat dalam Surat al-Baqarah tersebut dihapus oleh ayat 85 Surat Ali Imran [3].
Meski ada dua versi penafsiran Surat al-Baqarah [2] ayat 62 di atas, namun ini tidak menjadi persoalan karena kedua penafsiran tersebut bermuara pada satu kesimpulan yang sama: bahwa para pengikut nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad harus mengikuti syariat Muhammad ketika mereka masih hidup dan bertemu dengannya. Kenapa demikian? Surat Ali Imran [3]:81 menjelaskan bahwa kewajiban tersebut terjadi karena Allah telah mengambil perjanjian dengan para nabi untuk beriman dan menolong nabi yang datang setelah mereka dan membenarkan kitab-kitab mereka. Menurut al-Tabari, yang dimaksud dengan “perjanjian (mithaq)” di ayat tersebut adalah bahwa para nabi harus membenarkan seluruh nabi-nabi yang ada, tidak boleh hanya sebagian, dan perjanjian tersebut juga berlaku untuk seluruh umat dan pengikut mereka. Dan yang dimaksud dengan “nabi yang datang setelah mereka yang membenarkan kitab-kitab mereka dan yang harus diimani serta ditolong’ adalah Nabi Muhammad.
Dengan demikian, dalam pandangan Ibnu Taymiyah Islam yang dibawa Nabi Muhammad adalah Islam yang sama sekaligus berbeda dengan Islam yang dibawa oleh nabi-nabi lainnya. Kesamaannya terletak pada inti ajarannya (tauhid), dan berbeda pada syariatnya yang menghapus syariat nabi-nabi sebelumnya. Setiap umat yang hidup pada masa Nabi Musa atau Isa, dan dia keluar dari syariat keduanya, maka dia bukan orang Islam. Demikian pula setiap orang yang hidup di masa Nabi Muhammad dan dia tidak masuk agama Muhammad, dia tidak termasuk orang Islam. Posisi inilah yang menyebabkan “Islamnya Muhammad” lebih unggul atas “Islamnya nabi-nabi sebelumnya”. Ada dua alasan yang digunakan Taymiyah: pertama dalil naqli Surat al-Nisa’ [4] ayat 125: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, dia mengerjakan kebaikan dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kekasih-Nya.”
Bentuk kalimat istifham pada ayat di atas menurut Taymiyah adalah istifham inkari yang berarti penafian atas adanya agama yang lebih baik dari Islam dan menetapkan Islam sebagai agama yang terbaik (ahsan). Taymiyah menjelaskan ayat tersebut turun terkait dengan pertengkaran antara beberapa kaum Muslim dan orang-orang Yahudi. Orang Yahudi berkata kepada umat Islam: “Nabi kami datang sebelum Nabimu, kitab kami datang sebelum kitabmu, dan kami lebih unggul dari pada kamu”. Omongan orang Yahudi tersebut dibalas oleh orang Muslim: “kami lebih unggul dari pada kamu, Nabi kami adalah penutup para nabi, dan kitab kami memutuskan kitab-kitab sebelumnya.” Kemudian Allah menurunkan Surat al-Nisa’ [4] ayat 123: “Itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak penolong baginya selain dari Allah.”
Ketika turun ayat ini, orang-orang Yahudi berkata: “kami dan kamu sama.” Orang-orang Muslim pun merasa sedih. Namun kemudian Allah menurunkan [4] ayat 124 dan 125: “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.” (4:124). Kedua ayat tersebut ([4] ayat 124 dan 125) menurut Taymiyah menjadi penegas keunggulan agama Islam yang dibawa Muhammad. Alasan kedua adalah argumentasi logik tentang kemustahilan adanya dua hal yang sama dan serupa padahal antara keduanya terdapat pertentangan yang fundamental. Dalam kasus agama-agama Ibnu Taymiyah melihat perbedaan antara mereka bukan bermakna keragaman (tanawwu`), namun pertentangan (tudhod). Perbedaan keragaman adalah adanya dua atau lebih pendapat atau perilaku yang haq menurut syara`, atau satu hal yang memiliki dua pengertian yang sama-sama benar. Sedangkan pertentangan adalah adanya dua pendapat yang saling menafikan, baik di bidang ushul (fundamen) atau furu` (cabang).
Dengan berbagai argumen di atas menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al-Islam” dalam ayat 19 dan 85 Surat Ali Imran [3] di atas, dalam konteks umat manusia yang hidup se-zaman dan setelah Muhammad, bukanlah Islam dalam arti generiknya, namun Islam dalam arti penyerahan diri (al-Islam) kepada Tuhan Yang Maha Esa (tawhid) sesuai dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Penyerahan diri model ajaran Muhammad lah agama yang diakui absah oleh Allah ([3] ayat 19) dan setiap penyerahan diri yang tidak sesuai dengan syariat Muhammad adalah sebuah kesia-siaan karena tidak diterima oleh Allah, dan orang-orang yang melakukannya termasuk orang yang rugi di akhirat kelak ([3] ayat 85).
PENUTUP
Uraian di atas membuktikan bahwa gagasan pluralisme agama yang disebarkan kalangan liberal sebenarnya tidak memiliki basis argumentasi yang kuat. Ibarat bangunan, konstruksi gagasan tersebut diletakkan di atas pondasi yang tidak kokoh sehingga rawan jatuh. Karena ketidakkokohan itulah bangunan pluralisme agama yang diusung kalangan liberal dapat menjadi ancaman bagi setiap orang yang berada di bawahnya. Mengingat bahaya ini, adalah wajar jika kemudian banyak kalangan yang secara tegas menolak gagasan mereka. Meski demikian, bukan hal mudah untuk menunjukkan kepada publik ancaman yang dikandung konstruksi gagasan tersebut. Diperlukan bukti-bukti ilmiah yang argumentatif agar publik sadar bahaya tersebut. Dan peranan inilah yang saat ini sedang dilakukan oleh aktivis INSISTS; menyadarkan publik Muslim akan bahaya bangunan besar liberalisme Islam, yang meski tampak megah tetapi secara hakiki keropos dan rapuh. Wallahu a’lam.
(Tulisan Ini Merupakan Ringkasan Tesis "Liberalisme Islam Di Indonesia: Gagasan Dan Tanggapan Tentang Pluralisme Agama" Di Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya)
0 Komentar