Di Indonesia, banyak orang yang tergolong fanatik mengonsumsi jamu. Jika badan terasa tak enak dan rasa ngilu mendera segera mereka minum jamu untuk menghilangkannya. Hal ini telah mereka lakukan belasan tahun kemudian menjadi tradisi yang dilakukan secara turun temurun. Bagi mereka yang sudah terbiasa, jamu tradisional dianggap lebih mujarab dan lebih aman dibandingkan dengan obat-obatan sintetis.
Para penggemar dan pengguna jamu di kalangan masyarakat bahkan jumlahnya kian bertambah. Bagi mereka, minum cairan pahit dengan aroma rempah-rempah yang sangat kuat bukan menjadi masalah; hal terpenting adalah khasiat dan kegunaan yang dirasakan. Selama ini ada anggapan bahwa jamu identik dengan bahan-bahan natural yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, berupa akar-akaran, daun-daunan, umbi-umbian dan berbagai bagian tumbuhan yang lain.
Oleh karena itu menurut pandangan ini jamu dapat diminum kapan saja dan oleh siapa saja tanpa takut adanya efek samping. Dengan demikian banyak orang yang menganggap bahwa jamu selama ini hanya dikenal sebagai campuran bahan-bahan dari tumbuhan. Namun pada kenyataannya bahan-bahan yang berasal dari hewan juga digunakan sebagai ramuan jamu. Dengan demikian perlu ada kehati-hatian dalam memilih jamu.
Terlebih lagi ketika jamu sudah menjelma menjadi komoditi industri dan berinteraksi dengan bahan-bahan obat modern. Beberapa waktu lalu di daerah Cilacap dan sekitarnya ditengarai adanya jamu tradisional yang menggunakan bahan kimia obat. Fakta ini menunjukkan bahwa sebenarnya jamu-jamuan yang lainpun tidak akan lepas dari peran bahan-bahan olahan dan bahan kimia. Oleh karena itu perlu kewaspadaan dan kehati-hatian dalam mengkonsumsinya, baik dari aspek kehalalan maupun keamanan fisik. Dari segi bahan dasar, jamu tidak sepenuhnya berasal dari bahan-bahan tumbuhan.
Perkembangan jamu dimulai dari ramu-ramuan tradisional yang berkembang di tengah masyarakat, yang kemudian berkembang menjadi ramuan jamu yang diyakini memiliki khasiat tertentu bagi tubuh manusia. Pada kenyataannya ramuan tradisional itu juga mengenal bahan-bahan hewani, seperti kuda laut, jeroan ayam (empedu, limpa, tembolok, dsb) dan ekstrak berbagai bagian dan jenis binatang. Kehadiran ekstrak atau bahan dari hewan itu tentu saja menimbulkan masalah tersendiri dari segi kehalalan.
Sebab penggunaan hewan ini harus dilihat dari segi jenis hewannya dan metode pemotonganya. Dari data yang dihimpun Jurnal Halal ternyata ada indikasi penggunaan bahan-bahan hewani dalam jamu-jamu modern yang beredar di masyarakat. Selain itu bahan penolong dan bahan pembantu lainnya dalam pengolahan jamu modern juga dapat melibatkan bahan-bahan haram atau subhat. Kini jamu tidak hanya berbentuk serbuk kasar yang berserat saja, seperti halnya jamu-jamu pada zaman dahulu.
Perkembangan teknologi proses dan pengolahan telah menyentuh industri jamu. Kini produk tersebut sudah ada yang berbentuk ekstrak (sari) instan, berbentuk kaplet, tablet dan juga kapsul. Nah selama proses ekstraksi, pembentukan kaplet dan tablet serta penggunaan kapsul ini memungkinkan masuknya bahan-bahan haram semisal gelatin. Kini jamu semakin berkembang dalam dunia modern dengan penampilan yang lebih baik dan menarik.
Tetapi satu hal yang perlu diperhatikan bagi kalangan pengusaha yang meghasilkan jamu tersebut adalah bahwa aspek kehalalan jangan sampai terlupakan. Sebab jika hal ini tidak dicermati dengan baik, pandangan jamu sebagai bahan yang alami, halal dan aman terkikis dengan kecurigaan dan was-was di kalangan masyarakat.
0 Komentar