Gaya berpakaian wanita menjadi kajian ilmiah terkini di AS. Direktur perempuan berbusana menggiurkan dinilai kurang cerdas dan kurang cakap.Di zaman yang serba bebas, manusia menikmati beragam kebebasan yang seolah tanpa batas dalam segala hal, tak terkecuali dalam berpakaian. Seberapa bebaskah manusia sebaiknya menutup atau mengumbar auratnya? Temuan-temuan ilmiah terkini tampaknya memberi masukan bermanfaat dalam memutuskan bagaimana seharusnya orang menutup tubuhnya.
Para ilmuwan AS meneliti perilaku orang yang melihat pakaian kaum wanita. Sebagaimana diberitakan Hidayatullah.Com sebelumnya, wanita berbikini dikenali oleh otak pria yang memandangnya sebagaimana benda atau barang yang siap digunakan, dan bukan sepenuhnya manusia yang berkehendak. (Baca: Wanita berbusana minim terlihat bukan manusia). Selain itu, para peneliti juga menemukan, kaum hawa yang memiliki jabatan tinggi tapi mengumbar aurat di tempat kerjanya dinilai kurang cakap dan kurang cerdas.
Hasil temuan itu dipaparkan Melissa L. Wookey dan rekan-rekannya dari Southwest Minnesota State University, Amerika Serikat (AS) di Journal of Social Psychology tahun 2009 ini. Karya ilmiah ini mengulang sekaligus mendukung kebenaran hasil penelitian ilmiah sebelumnya di tahun 2005 oleh Peter Glick dkk. dari Departemen Psikologi, Lawrence University, AS.
Tidak cakap
Menurut Glick dkk., meskipun sulit mengubah daya pikat tubuhnya, perempuan dengan mudah dapat menonjolkan atau mengurangi daya tarik birahinya melalui cara berpakaian dan bertingkah laku. Mengubah pesona syahwat dalam berpenampilan berkemungkinan memiliki dampak lebih besar pada orang-orang yang memandang si wanita. Ini disebabkan penampilan diri semacam itu adalah pilihan pribadi, dan karenanya dapat dipahami sebagai cerminan kepribadian dan nilai yang ada dalam diri perempuan itu.
Di awal penelitian, para ilmuwan asal Lawrence University tersebut mengemukakan sejumlah hipotesa, yakni dugaan yang kemudian diuji melalui penelitian ilmiah. Hipotesa mereka adalah bahwa seorang manajer yang menonjolkan daya pikat kewanitaannya (seksualitas) akan dipandang (1). sangat tidak layak menduduki jabatan kerjanya, (2). memunculkan tanggapan berupa perasaan buruk (reaksi emosi negatif), dan (3). anggapan bahwa ia tidak memiliki kecakapan.
Para peneliti itu juga berhipotesa sebaliknya: perempuan yang menonjolkan daya pikat tubuhnya tidak akan memicu emosi negatif atau buruk sangka dari orang lain ketika perempuan itu bekerja di lapangan pekerjaan berstatus rendah, dan yang umumnya memang diperuntukkan bagi wanita. Contohnya dalam hal ini adalah resepsionis atau penerima tamu.
Penelitian pun dilakukan untuk menguji benar tidaknya dugaan di atas. Mahasiswa dan mahasiswi S1 sebanyak 66 orang dilibatkan sebagai sasaran kajian tersebut. Mereka diminta menilai wanita dalam tayangan video. Dalam video itu, penampilan raga sang wanita dibiarkan tetap tidak berubah, namun cara berbusananya diperlihatkan berbeda: berkemeja rapi atau berpakaian tidak penuh alias merangsang; dan dikatakan bahwa wanita itu bekerja sebagai seorang manajer atau penerima tamu.
Hasil kajian itu menunjukkan, mereka memperlihatkan tanggapan buruk terhadap manajer wanita berbusana menggairahkan, dan menilainya kurang cakap dibandingkan manajer wanita berpakaian netral (wajar). Sebaliknya, ketika wanita itu bekerja pada tingkat rendahan, dalam hal ini sebagai penerima tamu, cara berpakaiannya tidak mempengaruhi emosi orang maupun penilaian orang mengenai kecakapan sang wanita itu.
Glick dkk. menerbitkan karyanya di jurnal ilmiah Psychology of Women Quarterly (2005). Mereka menyimpulkan: penampilan diri yang mengundang birahi merugikan perempuan yang bekerja di jabatan tinggi, tapi tidak pada kaum hawa yang bekerja di jenis pekerjaan rendahan.
Diulang, hasilnya sama
Berdasarkan informasi yang diterima redaksi hidayatullah.com, beberapa lama kemudian peneliti lain mengulang penelitian Glick dkk. di atas. Melissa L Wookey dan rekan-rekannya dari Departemen Ilmu Sosial, Southwest Minnesota State University, AS, melakukan penelitian serupa namun dengan melibatkan lebih banyak orang (102) dan menggunakan metoda yang tidak sama. Mereka menggunakan jenis pekerjaan yang berbeda dan foto, untuk menggantikan tayangan video.
Mereka yang dilibatkan diminta untuk memberi nilai angka terhadap perempuan di foto tersebut. Penilaian ini meliputi kemungkinan nilai rata-rata kuliahnya, kemampuan menjadi teladan, kecakapan berinteraksi dengan sesama, kecerdasan, kepemimpinan, berkomunikasi, pengetahuan mengenai pekerjaan, organisasi dan keterampilan mengawasi (supervisi), kepeloporan, keandalan, dan sikap profesional.
Kesimpulan penelitian Wookey dkk. secara keseluruhan memiliki pola yang sama dengan penelitian sebelumnya. Seorang CEO (direktur utama) dengan pakaian yang mengundang syahwat mendapatkan penilaian terendah.
Yang paling mengejutkan adalah pembantu kantor yang berpakaian menggiurkan mendapatkan nilai tinggi dalam hal kemampuan bersosialisasi. Ini menunjukkan bahwa penampilan yang merangsang syahwat berhubungan dengan keterampilan bersosialisasi dalam pekerjaan yang tergolong rendah. Namun jika perempuan berbusana merangsang itu berada pada jabatan tinggi, cara berpakaian seperti itu dapat dipandang sebagai tidak pantas dan tidak cakap. (wwn/jsp/pwq/www.hidayatullah.com)
Referensi:
1). ML Wookey et al (2009). “Effects of a Sexy Appearance on Perceived Competence of Women”. The Journal of Social Psychology, Vol 149 (1) February 2009: 116-118.
2). P Glick et al (2005). “Evaluations of Sexy Women in Low-And High-Status Jobs”. Psychology of Women Quarterly, Vol 29 (4) December 2005: 389-395.
0 Komentar