Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Wisdom dari Timur


Teknologi Barat memang canggih, tapi kecil. Mengapa? Karena tidak ada apa-apanya dibanding wisdom dari Timur

Oleh: Hamid Fahmy Zarkasi*

Ketika saya berkunjung ke perpustakaan Islamic Research Academy di Leicester Inggeris, foto copy disitu mendadak macet dan tidak ada yang nampak bisa memperbaiki. Tiba-tiba seorang yang berjanggut panjang dan berpakaian salwar gamis mencoba mengotak-atik mesin itu. Saya yakin dari logat Inggeris nya dia orang Pakistan atau India. Banyak yang antri foto copy waktu itu. Semua setengah kesal dan tidak sabar. Dan ….akhirnya dengan mudah mesin itu berfungsi kembali.

Kisahnya sederhana dan tidak penting. Yang penting apa yang dikatakanya kemudian. Sambil tersenyum dia berkata: ”You see ! wisdom always come from the East”. Lho ! apa hubungannya? Kami diam sejenak, tapi kemudian ketawa renyah. Rasanya kami sedang memperolok-olok teknologi Barat. Teknologi itu kecil !! Tidak apa-apanya dibanding wisdom dari Timur. Tapi, itu hanya olok-olok.

Makna Timur atau “orient” dapat dipahami hanya dalam konteks Barat “occident”. Ini bukan klasifikasi geografis dan nama dua mata angin. Tidak jelas siapa yang memulai mengolok-olok “kamu orang Timur!! kamu orang Barat!!”. Yang pasti orientalisme mendahului occidentalisme. Kini siapa yang disebut “orang Timur” dan “orang Barat” sudah jelas. Timur, kata Edward Said, adalah masyarakat dan bahkan spirit yang menakutkan Barat. (Orientalism, hal.1-2).

Bahasa Edward nampak agak kasar, tapi gambaran yang pas untuk fenomena perseteruan. Timur dan Barat bahkan seperti dua kutub yang mustahil bertemu. Saya lalu teringat Iqbal. Ia memberanikan diri menghubungkan kutub itu dengan pesan-pesannya. Dia sadar tidak banyak yang berani menyampaikan pesan kepada Barat. Ia menulis;

Saya tahu di kegelapan Timur

Tidak ada cahaya tangan Musa keatas Fir’aun.

Pesan Iqbal untk Barat dikompilasi dalam bentuk puisi, tahun 1923, berjudul Payam-i-mashriq (Pesan dari Timur). Pesan ini disampaikan sebagai jawaban atas ratapan Goethe seabad sebelumnya. Goethe (1749-1832) menulis buku West-Oestlicher Divan. Ia meratapi mengapa pandangan manusia Barat menjadi sangat materialistis. Ia berharap Timur dapat membawa misi yang menjanjikan nilai-nilai spritual. Iqbal menjawab, moralitas dan agama itu penting bagi peradaban bung! Hidup ini tidak akan pernah meningkat tanpa memahami makna spiritualitas.

Ratapan Goethe dan pesan Iqbal masih tetap relevan hingga kini. Nyatanya para pendeta Kristen di Barat masih terus menyesali “spirituality has gone to the East”. Barat memang materialistis, individualistis dan mematikan rasa belas kasih dan persaudaraan antar manusia, kata Iqbal. Maka ia kemudian berpesan:

Wahai penghuni negeri-negeri Barat, alam milik Tuhan ini bukan toko.

Yang kau anggap barang berharga akan terbukti bernilai rendah.

Peradaban anda akan bunuh diri dengan pisau anda sendiri.

Sarang yang dibangun diatas dahan yang rapuh tidak bertahan lama.”


Bait terakhir itu ia ulangi lagi dalam Bang-i-Dara “Peradaban yang hanya berdasarkan kapitalisme tidak akan berumur panjang”. Pasalnya tentu, karena kekurangan asas moralnya dan lack of wisdom.

Sejalan dengan kegelisahan Goethe, pesan Iqbal dialihkan ke Karl Marx (1818-1883). Iqbal kagum pada gagasan ekonomi Marx. Saking kagumnya ia menyebut Marx sebagai “nabi” tanpa wahyu”. Orang seperti Marx boleh jadi “hatinya beriman tapi otaknya kafir”. Karena itu, pesan Iqbal, baiknya Marx kembali kepada agama dan nilai-nilai spiritual. Pesan itu secara puitis dituangkan dalam Javid Namah “Orang Barat kehilangan visi tentang surga. Mereka berburu mencari spirit murni dari perut.”

Iqbal pun berpesan kepada Nietzsche (1884-1900). Nietzsche adalah pemikir cengeng. Ia merintih bagai orang tua dan menangis cengeng seperti anak kecil. Ketika pikirannya buntu ia menangis “where is man”. Siapa yang bisa saya “orangkan”. “Aku perlu guru (master)”, katanya. Master yang bisa membimbing jiwa. Sayangnya teriakannya tidak bisa memanggil orang semerdu azan, dan tidak mampu mengusik telinga sekuat musik rock. Tangisan Nietzsche adalah nyanyian spiritual yang tidak lagi digubris di Barat. Mencari guru spiritual di Barat hanyalah utopia.

Anehnya, dalam kesunyian spiritualnya dan kebuntuan intelektualnya Nietzsche menawarkan gagasan Superman. Iqbal pun segera tahu, gagasan itu pinjaman dari literatur Islam atau Timur. Sayangnya baju Superman itu tidak berlabel S (baca: Spiritualisme), tapi M (baca: Materialisme). Superman “ciptaannya” hanyalah makhluk biologis yang tanpa moral dan spiritual.

Nietzsche hanya buang tenaga dan waktu saja, kata Iqbal. Gagasan Superman, tanpa melibatkan realitas khudi (Tuhan), omong kosong. Pancaran sinar matanya hanya dapat menembus dimensi fisik. Konsepnya hanya setingkat kemanusiaan (nÉsËt). Masih ada dua tingkat lagi yang belum dilalui: realisasi diri dalam konteks sosial dan kesadaran ketuhanan (lÉhË). Iqbal pun gregetan:”Kalau orang Barat itu (maksudnya Nietzsche) masih hidup hari ini, tentu aku akan menjelaskan tingkat Kesadaran Ketuhanan ini”. Mestinya Superman diganti dengan Insan Kamil, kombinasi dari kesadaran ketuhanan (lÉhut) dan kemanusiaan (nÉsut).

Masih soal manusia, Iqbak juga berpesan kepada kaum Feminis. Gerakan wanita modern ini, kata Iqbal, memisahkan wanita dari tanggung jawab biologisnya. Peranan tertinggi wanita itu adalah ibu bangsa. Tapi wanita modern terlanjut menabur benih individualisme. Kodrat kewanitaan dikorbankan untuk mengisi perut. Ini sama saja dengan bunuh diri, lanjutnya. Hasilnya wanita Barat hanya memiliki kebebasan dan sanjungan. Sementera wanita Timur juga memiliki kebebasan tapi dengan segala kehormatan dan penghargaan (with respect and honor). “Barat tidak memahami wisdom dibalik kerudung wanita Timur”, katanya.

Jadi benarkah wisdom selalu datang dari Timur ?

Rabindranath Tagore peraih hadiah Nobel sastra dari India membenarkan. Kata bijak “Cintailah musuhmu” diucapkan Nabi dari Timur. ”Taklukkan kemarahan dengan kesabaran, kejahatan dengan kebaikan” juga wisdom Nabi yang lain dari Timur. Tapi kata-kata “Kenali Musuhmu”, vini, vidi, vici, we are the super power dsb keluar dari mulut orang Barat.

Tapi Tagore tidak selugas Iqbal. Ia sering menyampaikan pesan dari Timur ke Barat, Tapi ia seperti ragu apakah Barat akan mendengar pesan-pesannya. Di Jerman ia pernah menulis: “Namaku matahari. Hingga kini aku hanya menyinari Timur. Kini sang matahari beranjak ke Barat. Untuk melihat apakah ia dapat menyinari negeri-negeri itu, sehingga mereka mengalihkan pandangan kepadanya, Yang tidak memperdulikan Timur atau Barat.

Tagore tidak punya rasa like dan dislike kepada Barat, ia malah tidak perduli Timur atau Barat. Orang Barat yang bijak mestinya juga begitu. Orang Timur yang bijak malah menegur Barat, seperti tangan Musa menegur Fir’aun. Hanya orang Timur yang “tolol” dan tidak tahu Timur akan membenci Timur. Persis seperti kata kata Gai Eaton, dalam King of Castle: The core of all stupidity is lack of self knowledge.

Goethe dan Tagore sama bijaknya. Tagore tidak perduli Timur atau Barat, Goethe menganggap Timur dan Barat sama-sama milik Tuhan. Ia menulis:

Gottes ist der Orient,

Gottes ist der Okzident.


Tuhan adalah pemilik Timur. Tuhan adalah pemilik Barat. Luar biasa! Orang mungkin terperangah dengan diktum Goethe ini. Tapi A.Dasgupta penulis buku Goethe and Tagore, segera tahu ternyata Goethe diam-diam memplagiat ayat al-Qur’an, wa lillÉhi al-mashriq wa al-magrib. Hanya saja pada bait selanjutnya Goethe menambahi “The Northland and the Sotherrn land, Rest in the quiet of His hand”. Masalahnya, Barat itu milik tuhan tapi Barat sendiri tidak memiliki Tuhan.

Jadi benarkah wisdom selalu datang dari Timur ?

Benar ! kalau setuju bahwa Timur (syarq) adalah tempat terbit dan Barat adalah tempat tenggelam (gharb). Faktanya semua agama terbit dari Timur, tapi ketika di Baratkan (seperti Kristen) ia justru tenggelam. Mungkin pengakuan Hakim Agung Amerika Serikat tahun 70-an William O Douglas serperti membenarkan kata orang berjanggut di Leicester itu “One great contribution of the East to the West is charity or love, as epitomized by Muhammad….”. itulah hikmah atau wisdom itu. [www.hidayatullah.com]

Penulis Direktur Eksekutif Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS)

Posting Komentar

0 Komentar