Masjid Hantagri, salah satu masjid tertua di ibukota propinsi Xinjiang yang mayoritasnya Muslim, telah dipakai untuk beribadah umatnya selama bertahun-tahun.
Namun pekan lalu, masjid itu, seperti masjid lainnya di propinsi itu, tidak akan didatangi oleh satu orang jamaah pun, karena pemerintah China melancarkan tindakan keras di Xinjiang.
"Pemerintah bilang, tidak akan ada shalat Jum'at," kata Tursun, seorang Muslim Uighur kepada AFP di luar masjid Hantagri, sementara sekitar 100 orang polisi membawa senapan mesin dan tongkat pemukul berjaga-jaga di daerah sekitar masjid.
"Tidak ada yang dapat kami lakukan. Pemerintah takut orang-orang akan menggunakan agama untuk mendukung tiga aksi," katanya. Maksudnya adalah apa yang diistilahkan pemerintah dengan ekstrimisme, separatisme, dan terorisme, yang menginginkan agar Xinjiang lepas dari negara China.
Masjid-masjid di wilayah ibukota Urumqi ditutup setelah ribuan orang Muslim Uighur turun ke jalan memprotes diskriminasi, dan kontrol atas budaya dan agama di wilayah mereka.
"Kami tidak tahu, Kami tidak bisa membicarakannya," kata seorang laki-laki Uighur terbata-bata ketika ditanya apakah masjid akan dibuka untuk shalat Jum'at.
Sedikitnya 156 orang terbunuh dan lebih dari 1.000 orang terluka saat polisi melakukan tindakan kekerasan terhadap etnis minoritas yang berbahasa Turki itu.
Reaksi Dunia
Negara-negara dan organisasi dunia mengutuk peristiwa Selasa 7 Juli, di mana China melakukan tindakan kekerasan dan menggunakan kekuatan secara berlebihan terhadap Muslim Uighur. Mereka memaksa China untuk memperhatikan apa penyebab utama dari masalah yang terjadi di wilayah mayoritas Muslim, Xinjiang.
"Begitu besarnya jumlah korban dari rakyat sipil, menandakan bahwa prinsip penggunaan kekuatan dan senjata yang proporsional tidak dilaksanakan," demikian penyataan dari Organisasi Konferensi Islam.
Beberapa kelompok HAM telah menyampaikan kepeduliannya atas nasib 1.434 orang yang ditangkap oleh polisi, dan mengatakan kemungkinan rakyat sipil itu akan disiksa atau diperlakukan tidak semestinya.
Banyak pihak menyalahkan China atas begitu banyaknya korban. Mereka mengatakan, aksi protes berjalan damai hingga akhirnya petugas keamanan bertindak berlebihan dan menembaki kerumunan massa dengan membabi buta.
"Menurut prinsip dasar internasional dalam penggunaan kekuatan dan senjata, petugas keamanan seharusnya menggunakan metode yang tidak membahayakan nyawa dalam menghadapi kerusuhan massa," kata negara-negara Muslim yang tergabung dalam OKI.
PBB juga menyesalkan banyaknya korban sipil yang jatuh. Navi Pillay dari Komisi Tinggi HAM PBB, dengan tegas mengatakan, jumlah korban yang ada merupakan angka yang sangat tinggi di mana orang terbunuh dan terluka dalam sebuah aksi protes yang berlangsung kurang dari satu hari.
"Ini merupakan tragedi yang sangat besar," katanya dalam sebuah pernyataan. "Saya mendorong pemimpin sipil Uighur dan Han serta otoritas China dalam semua tingkatan, untuk menahan diri agar kekerasan lebih lanjut yang memakan korban tidak terjadi."
Ribuan orang Han yang dipersenjatai menyerang sedikitnya empat pemukiman penduduk di Urumqi pada hari Selasa lalu, mengancam Muslim Uighur dengan tindakan kekerasan.
"Kami sungguh prihatin dengan banyaknya korban tewas dan terluka dari kekerasan yang terjadi di Urumqi, wilayah barat China," kata juru bicara Gedung Putih Robert Gibbs dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan di Moskow, tempat Presiden Obama sedang melakukan kunjungan resmi kenegaraan.
"Kami menghimbau semua yang ada di Xinjiang untuk menahan diri," katanya.
Kekerasan yang dialami orang Uighur itu telah menimbulkan gelombang pawai protes di berbagai kota dunia, seperti Ankara, Berlin, Canberra, dan Istanbul.
Ribuan demonstran di Turki berpawai Minggu untuk mendukung minoritas Uighur di China, setelah kekerasan etnik di wilayah baratlaut negara itu, demikian dilaporkan wartawan foto AFP.
Sekitar 10.000 orang mengambil bagian dalam pawai itu, yang diadakan oleh partai Islam Saadet, yang marah atas apa yang mereka anggap penindasan China terhadap minoritas muslim Uighur di daerah Xinjiang.
Demonstran meneriakkan "China pembunuh, bebaskan Turkestan Timur", nama yang digunakan sejumlah muslim untuk Xinjiang. Pemrotes yang lain membawa gambar-gambar Rebiya Kadeer, pemimpin komunitas Uighur di pengasingan.
Seperti orang asing
Muslim di xinjiang (Uighurs) telah menderita di bawah kekuasaan China sejak lama. Daerah ini kaya akan minyak, gas, dan sekitar 121 jenis mineral dari 148 jenis yang dihasilkan China.
Sepertinya, rejim komunis telah memberikan kebebasan kepada dirinya sendiri untuk menekan penduduk Muslim, membakar buku-buku Islam mereka, merusak masjid, dan menghilangkan identitas Muslim dari wilayah itu.
Pemerintah China telah bertindak dengan tangan besi sejak lama, dan semua itu berlangsung di bawah sikap diamnya masyarakat internasional. Apakah Muslim Xinjiang harus memiliki seorang pemimpin kharismatik di pengasingan seperti orang-orang Budha di Tibet, agar mendapatkan perhatian internasional?
Xinjiang memiliki luas seperenam total wilayah Tiongkok, yang menjadi gerbang ke wilayah Asia Tengah, berbagi perbatasan dengan delapan negara, termasuk Afghanistan dan Pakistan. Suku Uighur yang beragama Muslim dan berbicara dalam bahasa Turki, sejak lama berusaha melepaskan diri dari Tiongkok dan menentang keberadaan suku Han yang berbeda agama dan bahasa.
Delapan juta orang Uighur, yang memiliki lebih banyak hubungan dengan tetangga mereka di Asia tengah ketimbang dengan orang China Han, berjumlah kurang dari separuh dari penduduk Xinjiang.
Bersama-sama Tibet, Xinjiang merupakan salah satu kawasan paling rawan politik dan di kedua wilayah itu, pemerintah China berusaha mengendalikan kehidupan beragama dan kebudayaan, sambil menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran.
Namun, penduduk minoritas telah lama mengeluhkan bahwa orang China Han mengeruk sebagian besar keuntungan dari subsidi pemerintah, sambil membuat warga setempat merasa seperti orang luar di negeri mereka sendiri. [dija, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]
0 Komentar