HADIS 12 Khalifah memang
cukup populer dan diriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari no.6796
dan Shahih Muslim no.1821 dari Jabir bin Samurah. Selanjutnya, penulis
menyatakan, “Hadis tentang 12 khalifah yang melanjutkan Nabi saw
hanya dapat dijelaskan dalam keyakinan mazhab Syi’ah. Rasulullah saw
menunjuk pengganti atau pelanjut sebanyak 12 orang. Ulama ahlussunnnah
kebingungan untuk menjelaskan siapa 12 khalifah tersebut…Dalam
kebingungannya, Ibnu Hajar Asqalani menulis, “Aku tidak menemukan
seorangpun yang mengetahui secara pasti arti hadis ini”. Aneh juga kalau
ahli hadis sebesar Ibnu Hajar tidak memahami arti hadis ini, padahal
nama-nama 12 imam diriwayatkan banyak sekali dalam khazanah ahlisunnah.” (hal.54) Ia lalu menyebut nama seorang ulama bernama Al-Qunduzi Al-Hanafi wafat 1294 H menulis kitab Yanabi’ Al-Mawaddah, yang meriwayatkan penunjukan Rasulullah terhadap 12 imam Syi’ah berikut nama-namanya di Bab 76, hal.440.
Hemat pembahas, pertama, penulis buku keliru menisbatkan perkataan “aku tidak menemukan…”
kepada Ibnu Hajar sebab setelah dicek ucapan itu adalah perkataan Ibnu
Batthal yang mengutip ucapan al-Muhallab, jadi bukan ucapan Ibnu Hajar
(lihat Fathul Bari 13: 211). Kedua, penulis berdusta ketika
menyatakan bahwa “nama-nama 12 imam diriwayatkan banyak sekali dalam
khazanah ahlisunnah” dan menyebut kitab Yanabi’ Al-Mawaddah
adalah karya ulama sunni. Mari kita buktikan. Padahal menurut ulama
Syi’ah, Agha Bazrak Tahrani, “Kitab tersebut tergolong karya tulis ulama
Syi’ah”, lihat al-Dzari’ah ila Tashanif al-Syi’ah (vol.25, hal.290 sumber internet: http://gadir.free.fr/Ar/k/b/b/al_Zaria/marja/al-zariya/index.htm).
Bab 9 Syi’ah Mengkafirkan Semua Sahabat Nabi (hal.76-85)
Penulis menyatakan bahwa keadilan
sahabat itu bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah Nabi, Fakta Sejarah,
dan Akal Sehat. Sebelumnya ia mengklaim bahwa ahlussunnah memaksumkan para sahabat Nabi (hal.74), tapi tak lama berselang ia mengatakan keadilan sahabat itu bertentangan dengan 4 hal (di hal.76), yang menunjukkan dirinya tidak konsisten menggunakan istilah.
Syubhat yang dilontarkan penulis
dalam hal Al-Qur’an dan Sunnah sangat jelas untuk disingkap kerancuan
dan kedustaannya. Karena kebencian dan kedengkiannya kepada sahabat Nabi
yang juga penghubung ajaran Islam antara Nabi Muhammad saw dengan
umatnya, ia secara vulgar dan terang-terangan menghukumi sahabat adalah
munafik ketika menyatakan, “Di dalam Al-Qur’an ada banyak ayat yang
mengecam sahabat-sahabat Nabi saw, sebuah surah turun khusus untuk
membongkar dan mengecam para sahabat Nabi saw. Kita menyebutnya surah
At-Tawbah. Nama lainnya adalah al-Fadhihah, al-Muqasyqisyah, dan
al-Mu’abbirah.”
Padahal ciri-ciri kemunafikan dan
perangai kaum munafik sangat jelas dibedakan dengan kelurusan iman dan
akhlak para sahabat Nabi, apalagi jika diasosiasikan label munafik itu
kepada para sahabat besar seperti 10 orang yang dijanjikan surga oleh
Rasulullah saw, dan sahabat masyhur lainnya seperti Abdullah ibn Mas’ud,
Bilal bin Rabah, Hudzaifah ibn al-Yaman dll. Demikian pula disoroti
pasukan muslim yang lari dari perang Uhud dalam surah Ali Imran: 153,
dan sengaja tidak mengutip ayat 155 dalam surah yang sama yang isinya
Allah telah memaafkan mereka. Juga surah al-Jumu’ah: 11 yang turun di
awal periode Madinah, sebagian sahabat yang baru mengenal Islam pergi
meninggalkan khutbah Rasul, oleh sebab itu turunlah ayat itu untuk
mendidik dan mengasah para sahabat Nabi.
Untuk membantah soal keadilan sahabat bertentangan dengan sunnah Nabi dalam hadis al-Haudh (Telaga). Berikut klarifikasinya:
- Ashhab
di hadis itu maknanya adalah kaum munafik seperti yang digambarkan
dalam Q.s. al-Munafiqun: 1 dan at-Taubah: 101 yang ada di Madinah dan
dikira mereka bagian dari sahabat Nabi padahal bukan, karena Nabi tidak
mengetahui perkara ghaib dan batin manusia.
- Maksudnya adalah orang-orang murtad setelah Nabi wafat karena membangkang dan menolak membayar zakat, serta mengikuti Nabi-Nabi palsu.
- Maksudnya adalah umat Nabi di akhir zaman, bukan pada masa beliau hidup, karena mereka telah meninggalkan ajaran Al-Qur’an.
- Tidak
dikhususkan untuk sahabat non-ahlibait tapi mencakup semua sahabat
termasuk ahlulbait yang mana Ali adalah pemimpin kaum yang dikhitab oleh
Allah dengan lafaz ya ayyuhalladzina amanu seperti pengakuan ulama Syi’ah. Lihat Al-Yaqin ila Imarat Amir Al-Mu’minin hal.174-177 dan Bihar Al-Anwar vol.40/20, atau imam-imam Syi’ah menurut Tafsir Al-Burhan ketika menafsirakan Al-Baqarah: 152.
Yang paling mengejutkan kita adalah, keberanian
penulis saat mengungkap berbagai data sejarah yang belum jelas
validitasnya sebagai “fakta sejarah” yang diyakini pasti benar dan oleh
sebab itu diterima. Sayangnya, sebagai intelektual dan diklaim sebagian
kalangan sebagai guru besar atau professor, ia tidak menyebutkan satupun
referensi, sehingga terkesan asal tuduh dan memfitnah.
Misalkan, ia ‘memfitnah’ (maaf kata
ini saya pilih karena memang tidak ada satupun rujukan ilmiah baik
primer maupun sekunder mengenai “fakta sejarah” yang ia klaim) para
sahabat menentang Rasulullah dalam peristiwa Perjanjian Hudaibiyah, dan
hari Kamis yang tragis.
Berikut ini klarifikasi saya atas ‘fitnah’ murahan penulis dalam peristiwa Perjanjian Hudaibiyah:
- Sahabat
tidak menolak perintah Nabi, sebab mereka sangat merindukan Baytullah
dan kota kelahiran mereka. Oleh karena itu, mereka menunggu isyarat dari
Rasul yang tegas mengenai keharusan tahallul dan membatalkan
umrah dengan cara Nabi mencukur rambutnya, atau turun wahyu dari Allah.
Yang mereka lakukan adalah menunda sejenak sampai ada isyarat Nabi.
- Umar
ra tidak menolak perintah Nabi, tapi karena kecintaan beliau terhadap
agama ini agar tegak dengan izzah. Sementara Ali sendiri, jika diukur
dengan tuduhan Syi’ah yang sama kpd sahabat Nabi, tidak mencukur tahallul dan sebelumnya menolak perintah Nabi untuk menghapus frasa ‘Muhammad Rasul Allah’
dalam surat perjanjian Hudaibiyah sehingga Rasul menghapus dengan
tangannya sendiri. Dahulu pun saat perang Tabuk, Ali menolak perintah
Nabi untuk tinggal di Madinah dan memaksa untuk ikut dalam pasukan Nabi.
Klarifikasi atas hadis tragedi hari Kamis riwayat Abdullah ibnu ‘Abbas ra:
- Sahabat Nabi tidak menyalahi perintah beliau, tetapi mereka menduga penyakit Nabi sangat memberatkan beliau.
- Tidak
ada petunjuk tegas bahwa sahabat meninggikan suara mereka di hadapan
Nabi, tapi dinyatakan bersahut-sahutan di antara mereka sebab perbedaan
pendapat mereka tentang maksud permintaan Nabi. Setelah sekian lama
perdebatan mereka, Nabi pun membentak mereka yang diduga berselisih, dan
tidak melebihi itu.
- Riwayat
itu tidak memastikan siapa yang mengatakan, “Apakah Nabi mengigau?”
seperti orang sakit lainnya yang tertekan dengan sakit beratnya. Bisa
jadi salah satu sahabat yang bertanya tentang kesehatan Nabi. Orang yang
hadir pada saat itu juga tidak ada yang memarahinya, bahkan Allah juga
tidak menurunkan wahyu untuk menegur kejadian itu.
- Jika
diasumsikan benar itu adalah perkataan Umar, maka hal itu diucapkan
sebagai bentuk keibaan dan rasa kasihan beliau terhadap kondisi Nabi
yang terbaring karena sakit keras agar hadirin tidak sibuk berbicara dan
menanyakan kepada beliau maksudnya, apalagi Al-Qur’an telah sempurna
diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya.
- Perkara
yang hendak diminta oleh Nabi adalah petunjuk arahan perbaikan, bukan
sesuatu yang baru dan wajib ditablighkan. Nabi yang maksum tidak mungkin
meninggalkan suatu yang wajib secara syariat untuk disampaikan. Setelah
berangsur sembuh Nabi tidak pernah memerintahkan ulang untuk menulis
kitab tersebut. Itu artinya, perkara yang diperintahkan Nabi itu bukan
suatu yang wajib. Ali juga bahkan ikut serta tidak menuruti perintah Nabi untuk menghadirkan pena dan kitab.
- Jika ditafsirkan bahwa kitab yang akan ditulis Nabi berkaitan dengan penunjukan Ali sehingga disebut hari Tragis (raziyyat yawm al-khamis),
justru bertentangan dengan keyakinan Syi’ah bahwa Rasul telah berulang
kali mewasiatkan dengan nas yang jelas tentang Ali dalam berbagai
peristiwa seperti Tabuk, Ghadirkhum atau bahkan di awal kenabiannya.
Jadi untuk apa lagi Nabi berkewajiban untuk menulis kitab tentang Ali
jika memang semuanya sudah jelas?! Bersambung...
Penulis adalah Komisi Pengkajian MUI dan Wasekjen MIUMI
0 Komentar