Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

DDII: Berlebihan, Jika Nikah Siri Dipidana


Rencana atau usulan perubahan atas Undang-Undang Perkawinan terkait nikah siri, mengundang reaksi sejumlah pihak. Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) menilai berlebihan jika kemudian nanti orang yang menikah siri dihukum pidana.

''Jelas itu berlebihan. Lebih baik pemerintah ngurusi saja masalah perzinahan. Maraknya perzinahan di negeri ini. Jangan kemudian orang yang sudah sah menikah secara agama Islam kemudian dikejar-kejar dengan pidana,'' tegas Adian Husaini, Ketua DDII di Jakarta, Senin (15/2).

Dikatakan Adian, sebaiknya pemerintah melakukan pendekatan dengan pembinaan secara baik. Ini bisa dilakukan melalui para tokoh-tokoh dan pemuka agama Islam di negeri ini. ''Karena sebenarnya kesadaran umat untuk mencatatkan pernikahannya ke KUA juga sudah sangat tinggi. Jangan kemudian pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan hukum pidana,'' tandasnya.

Di satu sisi, Adian menilai bisa saja mereka yang menikah siri adalah karena terkendala masalah dana, jika pernikahannya dicatatkan di KUA. ''Sekarang kan memang katanya biaya untuk menikah di KUA murah. Tapi kan pada kenyataannya di lapangan tidak demikian. Mereka yang tak memiliki dana cukup untuk ke KUA, jelas memilih nikah siri. Nikah siri dalam artian nikah yang sah secara agama Islam,'' ungkap Adian.

Menurut Adian, pasangan yang menikah siri tentunya juga harus mengetahui konsekuensi yang harus dihadapi. ''Artinya, mereka tentunya juga sudah siap menangggung resikonya. Jika kelak dikemudian hari ada sengketa hukum, tentunya tidak bisa diproses secara hukum nasional,'' paparnya.


Apa kata HAM
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ifdhal Kasim mengatakan, pemerintah sebaiknya jangan mengatur terlalu dalam tentang formalitas perkawinan terkait dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Peradilan Agama. "Negara harusnya hanya melegalkan perkawinan dengan melakukan pencatatan dan tidak terlalu mengatur tentang masalah formalitasnya," kata Ifdhal di Jakarta, Minggu.

Menurut Ketua Komnas HAM, pengaturan formalitas perkawinan yang berlebihan bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh pihak negara. Ifdhal mencontohkan, bila terdapat pengaturan yang berlebihan maka pemerintah bisa saja mengriminalisasikan banyak orang hanya karena mereka tidak mencatat pernikahan yang telah mereka lakukan.

Persoalan perkawinan tersebut dinilai bisa dikategorikan termasuk dalam bagian privasi dari seseorang. Untuk itu, ia meminta agar pemerintah dapat bersikap pasif dengan tujuan antara lain untuk menghormati nilai-nilai HAM dari warga negaranya.
RUU Peradilan Agama yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional 2010, terdapat ketentuan pidana antara lain terkait dengan perkawinan siri, perkawinan mutah (kontrak), dan menikahkan atau menjadi wali nikah padahal sebetulnya tidak berhak. Para pelaku yang melarang ketentuan tersebut dapat diancam dengan hukuman berkisar dari enam bulan hingga tiga tahun.



Posting Komentar

0 Komentar