Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Jalaludin Rahmat: : Ahmadiyah Ngaku Aja Bukan Islam


AKARTA-–Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (Ijabi), KH Jalaludin Rakhmat, pernah mengusulkan pada Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) agar tidak mengaku sebagai Islam. Mereka diminta mengaku beragama Ahmadiyah saja karena penafsiran JAI atas ajaran Islam dinilai menyimpang.

‘’Saya pernah mengusulkan kepada Ahmadiyah. Lebih baik Anda tidak mengaku sebagai Islam, sudah saja sebagai agama Ahmadiyah,’’ katanya usai menghadiri sidang uji materi UU Pencegahan penodaan Agama di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jumat (19/3) di Jakarta.

Menurut ulama syiah Indonesia ini, keyakinan JAI terkait keberadaan nabi setelah Muhammad SAW adalah penafsiran menyimpang. Hal itu karena dalam pokok ajaran Islam, nabi terakhir hanya Muhammad.

‘’Saya meyakini tidak ada lagi nabi setelah Rasulullah SAW dan itu berdasarkan keyakinan saya. Karena itu, kalau ada orang yang menafsirkan itu, menurut saya menyimpang,’’ ujarnya.

Jalaludin menyebutkan, bila JAI mau mengakui sebagai penganut agama Ahmadiyah dan bukan Islam, mereka akan diuntungkan. Dengan demikian, mereka tidak lagi dianggap oleh sebagian umat Islam sebagai umat dengan penafsiran menyimpang. Selain itu, hakn (JAI) pasti akan dilindungi.

Meski demikian, menurut Jalaludin, negara tidak punya hak untuk menetapkan salah-tidaknya JAI memiliki keyakinan semacam itu. Negara harus bersikap adil terhadap seluruh warga tanpa memandang latar belakang dan keyakinan dimiliki. ‘’Negara mestinya itu pemilik otoritas yang tidak memihak penafsiran tertentu,’’ ujarnya.

Khofifah : UU Itu Cegah Konflik


Saksi ahli pemerintah, Khofifah Indar Parawangsa, menyatakan pencabutan UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama (PPA) bisa menyebabkan konflik horizantal antarumat beragama kian tak terhindarkan. Hal itu karena kelompok mayoritas bisa menafsirkan pencabutan itu sebagai tindak penistaan atas keyakinan yang diyakini.

''Maka korban potensialnya adalah kelompok minoritas dan di dalamnya perempuan dan anak-anak,'' katanya dalam sidang uji materi di Gedung MK, Jakarta, Jumat, (19/3).

Menurut Khofifah, UU PPA hingga kini sebetulnya terbukti bisa mewujudkan harmoni antarumat beragama. Harmoni terwujud karena UU bisa mencegah terjadinya konflik yang dipicu dugaan tindak penodaan agama oleh pihak tertentu. ''Ini sesuatu yang bisa menjaga harmoni antarumat beragama,'' jelasnya.

Khofifah juga membantah anggapan sebagian pihak bahwa UU PPA diskriminatif. Hal itu karena meski hanya mencantumkan enam agama dalam pasal 2, UU tersebut sebetulnya juga mengakui berbagai agama dan keyakinan yang tidak disebutkan. Hal itu bisa dipahami melalui penjelasan pasal. ''Tidak berarti agama lain misalnya Yahudi, Zoroaster, dan Taoisme dilarang di Indonesia. Mereka tetap dijamin oleh UU sebagaimana pasal 29 UUD sepanjang tidak melanggar aturan,'' ujarnya.

Meski demikian, Khofifah mengakui UU PPA telah berusia cukup lama, 45 tahun, dan belum pernah diamandemen. Sedangkan, situasi dan dinamika masyarakat di Tanah Air terus mengalami perubahan. Karena itu, ia meminta agar MK mengusulkan pada pemerintah dan DPR untuk melakukan revisi UU PPA agar bisa disesuaikan dengan kondisi terkini.

Amandemen hendaknya juga melibatkan pendapat berbagai masyarakat. ''Prinsipnya, kalau dalam usul fiqh, yang baik dipertahankan, yang belum baik diperbaiki,'' imbuhnya.


Posting Komentar

0 Komentar