Ketenangan batin kini menjadi barang yang mahal. Upaya menemukan jatidiri, mendorongnya untuk menelusuri komunitas-komunitas spiritual lintas agama. Tapi yang didapat hanya ketenangan semu, bahkan tertipu.
Kegundahan, cemas, gamang, tak punya pegangan hidup. Itulah yang dirasakan manusia modern dewasa ini, tatkala problematika hidup yang melilitnya terus membelenggu jiwa dan fikirannya. Karir, materi yang berlimpah, tak membuatnya menjadi happy. Yang dirasakan hanyalah kesempitan yang terus menghantui. Harapan menemukan jalan keluar, dilakukan dengan berbagai cara untuk menghantarkan ketenangan batinnya, dengan jalan menyusuri komunitas-komunitas spiritual.
Ya, itulah yang dirasakan Elizabeth Gilbert (31), seorang wanita Amerika modern dan punya karir bagus, mencari cinta dan kedamaian spiritual hingga menembus tiga negara (Italia, India dan Indonesia). Semua barang miliknya ia lego, bahkan ia tinggalkan pekerjaannya untuk melakukan perjalanan keliling dunia seorang diri. Kenekatan itu dilakukan, setelah ia mengalami depresi berat dan kehilangan pegangan akan arah hidupnya, karena bercerai dengan suaminya.
Di Italia, ia belajar seni menikmati hidup, merajut kegembiraan dengan menambah berat badannya sebanyak dua puluh tiga pound. Empat bulan kemudian ia kunjungi India dengan menyambangi sebuah Ashram (kuil Hindu lengkap dengan asrama) dan mendapat bimbingan dari sang guru. Setiap hari ia beryoga, sembahyang, bermeditasi hingga berjam-jam dari pagi hingga malam, semua itu demi ketenangan batinnya.
Pencarian berakhir di Indonesia. Di Bali Elizabeth merasa telah menemukan tujuan hidupnya: keseimbangan, yakni sebuah jalan bagaimana membangun hidup antara yang kegembiraan duniawi dan kebahagiaan surgawi. Perjalanan mencari ketenangan spiritual itulah yang ia tulis menjadi sebuah buku berjudul ”Eat, Pray, Love” yang kemudian menjadi Best Seller, bahkan telah diangkat ke layar lebar.
Kisah kegamangan jiwa seorang Elizabeth, juga dirasakan penulis novel best seller ”Supernova” Dewi Lestari yang terus melakukan pencarian sebagai petualang spiritual. Dari Katolik berpindah ke Budha, entah apalagi.
”Saya sudah melakukan perenungan-perenungan, bahkan sampai pada titik yang cukup ekstrim. Saking hausnya, saya bisa membaca tiga buku dalam satu hari. Ketika itu saya berusaha memahami semua agama,” ujarnya di sebuah situs. Tapi apa hasil pencarian dan perenungan dari seorang Dewi Lestari? Ia menyimpulkan, bahwa semua agama adalah sama.
Mereka yang memiliki problem yang sama dengan persoalan ketenangan batin, tak sedikit yang terdampar dan berkubang di komunitas-komunitas spiritual, seperti komunitas Anand Krisna, Lia Eden, Baha’i, Sai Baba dan aliran kebatinan lainnya. Di komunitas lintas agama inilah, mereka melakukan ritual, seperti yoga, meditasi yang menyerupai peribadatan agama lain. Bahkan, mereka merasakan adanya persaudaraan di dalam komunitasnya.
Menurut Abdul M Naharong, seorang pengamat sosial keagamaan, yang paling mirip dengan fenomena New Age adalah Anand Krishna. Orang-orang yang mengikuti meditasi di padepokannya adalah mereka yang mempunyai latar belakang agama yang bermacam-macam, seperti Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dan sebagainya. Ajaran-ajaran Anand yang disebarkan melalui buku-buku dan ceramah-ceramahnya, kerap mengatakan, bahwa semua agama adalah jalan yang benar menuju Tuhan, aku adalah Tuhan dan Tuhan adalah aku.
Kegemarannya terhadap paham reinkarnasi, mengingatkan kita kepada paham-paham yang dianut oleh New Age di Barat. Jadi walaupun belum ada data resmi, tetapi gejala agama dan spiritualitas gado-gado, yang ditopang oleh sikap "tourist of religion" terus berkembang.
Tauhid dan Syirik Bercampur
Menurut peneliti aliran sesat Ustadz Hartono Ahmad Jaiz saat ditemui SABILI di kediamannya, belakangan ini ada upaya untuk penyatuan agama. Meski mengaku bukan Islam, tapi mencampuradukkan dengan Islam, Kristen dan Yahudi.
”Setelah Baha’i berkembang di California AS, Iran dan Israel, kemudian tahun 1960-an muncul New Age, sejenis aliran kebatinan dan spiritual yang merupakan agama baru juga. Bukan hanya Baha’i, Ahmadiah Qadiani juga termasuk agama baru. Untuk Indonesia diwakili oleh Lia Eden. Komunitas itu bisa disebut sebagai komunitas kebatinan,” ujar Hartono.
Biasanya, yang menjadi ciri umum dari kebatinan, lanjut Hartono, adalah mencampuradukkan dan memaknakan sesuatu dengan mengikuti selera mereka.
Adalah Dr Annie W Besant, kaki tangan Freemasonry dari Inggris yang bekerja untuk gerakan Theosofi, telah merumuskan empat tujuan utama, yakni: Kesatuan Tuhan (the unity of God). Ajaran mendasar dari konsep ini adalah kebenaran agama universal.
Kedua, inkarnasi Tuhan dalam trinitas (the trinity of manifested God). Ajaran ini mengajak manusia mempelajari perbandingan agama-agama, filsafat dan ilmu pengetahuan.
Ketiga, tingkatan wujud (the hierarchy of being).
Keempat, persaudaraan universal kemanusiaan (universal brotherhood), tanpa membeda-bedakan ras (bangsa), kepercayaan, jenis kelamin, kasta ataupun warna kulit.
Dengan propaganda ”mempersatukan dan menghapus pemisah antar manusia” inilah yang kemudian berkembang doktrin ”semua agama sama”. Atau semua agama benar, karena merupakan jalan yang sama-sama sah untuk menuju Tuhan yang satu. Siapapun Tuhannya tidak begitu penting. Ingat, inti dari misi Freemason adalah memisahkan manusia dari agama. Atau beragama tanpa harus menjalankan syariat. Gerakan inilah yang kemudian disebut New Age Movement (Gerakan Era Baru), berusaha memadukan antara nilai-nilai Barat dan Timur, lewat jalan menggali dan mempelajari apa yang mereka sebut sebagai the ancient wisdom, kearifan masa lalu atau hikmah kuno. Hingga saat ini, gerakan New Age terus berkembang di berbagai negara.
Menurut Artawijaya, penulis buku “Gerakan Theosofi di Indonesia”, semangat fraternity (persaudaraan universal), yang terbungkus dalam beragam jargon halus tentang kemanusiaan, persamaan semua agama (equality), kesatuan hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebaikan, kesetaraan, kebebasan (liberty) tak lebih adalah lelucon kaum Yahudi.
Kehadiran spiritual kebatinan tentu menjadi berbeda dengan agama. Acuan agama bukanlah hasil pikir dan perenungan manusia, melainkan wahyu. Sedangkan materi kebatinan merupakan kreasi manusia belaka, yang mencampuradukkan beberapa kepercayaan, mulai dari kepercayaan animisme dan dinamisme zaman prasejarah, ajaran-ajaran dewa dan kepercayaan-kepercayaan kuno, teknik-teknik yoga, mistik, tasawuf, filsafat, psikologi bahkan sampai kultus-kultus individu terhadap pemimpin atau pendiri pertama aliran-aliran tertentu.
Kebanyakan aliran kebatinan memang kerap mensitir keterangan agama, tetapi bukan sebagai patokan dasar, melainkan sebagai hiasan penarik, pemanis kata untuk memperkuat ajaran-ajaran kebatinan. Mereka pun berkedok pengobatan, pelayan masyarakat, berkedok NKRI dan toleransi, dan ingin mengembalikan keyakinan nenek moyang atau yang disebut dengan kearifan lokal masa lalu. Atas nama HAM dan kebebasan, mereka campuradukkan agama-agama yang berujung pada pluralisme agama, bahkan lebih fatal lagi: merusak dan menghilangkan semua agama yang ada.
”Jika kelompok liberal melalui pintu menyamakan semua agama, sedangkan gerakan New Age ingin menghilangkan semua agama,” kata Hartono.
Ingat, Kongres Zionisme tahun 1903, Theodore Herzl mengajak para anggota Mason yang hadir untuk bersatu memerangi agama-agama yang ada. Ujung-ujungnya adalah membangun tata dunia baru The New World Order di bawah kendali Zionis Internasional.
Ihwal paham pluralisme agama, seorang Pendeta Dr.Stefri I. Lumintang menyatakan, Theologia abu-abu (pluralisme) ibarat serigala berbulu domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna. Padahal sesungguhnya pluralisme sedang menawarkan agama baru. Sedangkan Frans Magnis Susesno mengatakan, pluralisme agama itu sesuai dengan ”semangat zaman”. Ia merupakan filsafat pencerahan 300 tahun lalu dan pada hakikatnya kembali ke pandangan Kant (pakar metafisika asal Jerman) tentang agama sebagai lembaga moral. Tapi kemudian diperkaya oleh aliran-aliran New Age yang berlainan dengan pencerahan, yang sangat terbuka terhadap segala macam dimensi metafisik, kosmis, holistik, mistik dan sebagainya. Paham pluraslisme agama sendiri telah ditolak Gereja Katolik.
Kesesatan Masa Lalu
Ketika ”kearifan lokal masa lalu” dibela kelompok liberal dengan dalih melestarikan tradisi dan budaya nenek moyang, maka berkembangbiak-lah berbagai macam aliran kepercayaan dan kebatinan di negeri ini. Di Indonesia, ada ratusan aliran kebatinan dan kepercayaan, sebut saja seperti: Kepercayaan Paguyuban Sumarah, Subud (Susila Budhi Darma), Sapto Darmo, Ajaran Bratakesawa, Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu), Kebatinan Paryana Surya Dipura, Ajaran Pransuh, Adam Makrifat, Adari, Patuntung, Toani Tolotang dan sebagainya.
Kemudian beberapa aliran kebatinan lain: Aliran Kawula Wargi Naluri, Aliran Kebatinan Islam Modern, Aliran Islam Mahekok, Islam Waktu Telu, Martabat Tujuh, Gatoloco dan Darmogandul, Shalat Daim, Manunggal Kawula Gusti dan seterusnya. Semua aliran kepercayaan dan kebatinan yang ada itu dibiarkan hidup dengan acuan Universal Declaration of Human Rights (Pernyataan Universal tentang HAM).
Belakangan aliran kepercayaan dan kebatinan menghendaki pengakuan, seperti halnya pemerintah mengakui Konghucu. Mereka bahkan berencana kembali menggugat UU Penodaan Agama yang telah ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).
”Di zaman Soeharto saja aliran kepercayaan tidak diakui sebagai agama. Jika diagamakan, nanti New Age, Lia Eden bisa masuk jadi agama. Ini bukan persoalan menjegal NKRI atau bukan, tapi ini soal akidah yang harus dibentengi. Apakah untuk bersatu, harus mengakui semua yang batil, seperti komunis, kan tidak. Jadi harus ada landasan yang benar,” tukas Hartono.
Yang harus diwaspadai umat Islam adalah jangan terpesona dengan kemasan kata-kata yang terkesan indah dan sejuk. Sai Baba misalnya, pernah menyatakan, bahwa ia tidak pernah membuat agama. Ia datang untuk memberitahu manusia tentang kesatuan iman, prinsip spiritual, dan cinta. ”Aku datang bukan untuk mengganggu atau menghancurkan keyakinan apapun, tetapi untuk menguatkan keyakinan mereka, sehingga menjadi seorang Kristiani, Muslim, Hindu, dan Budhis yang lebih baik.”Inilah wujud Dajjal di akhir zaman yang hendak mengubah racun menjadi madu, kebatilan dipandang indah, Neraka dikira Surga.
Para pendusta itu jelas-jelas membuat agama baru dengan menghilangkan syariat, mencampuradukan yang hak dengan yang batil. Padahal yang batil harus musnah, diberantas hingga akar-akarnya. Semoga kita tak terpedaya olehnya. ■
(Adhes Satria, Majalah Sabili Edisi 01/XVIII)
1 Komentar
Assalamualaiqum
sebelum saya berkomentar di postingan ini izinkan saya memperkenalkan diri saya.
saya termaksud salah satu anggota keluarga yang menganut aliran kebatinan yang bpak tulis "PANGESTU" dan saya adalah anggota keluarga yang melenceng dari ajaran itu dan sikap saya itu mendapat teguran keras darikeluarga. awalnya saya bingung dengan "pangestu" itu sendiri. apakah ini salah satu bentuk kemusrikan agama atau hanya sekedar aliran kejawen biasa yg di titipkan oleh nenek moyang kita. tapi yg saya tau, ajaran ini merupakan perkumpulan dari beberapa agama, entah apa maksud dari itu semua. bukankah keyakinan dan kebatinan itu beda adanya.
setelah saya membaca artikel bapak berulang-ulang, barulah saya tau sejarahnya.
dan saat ini apa yang harus saya perbuat sebagai anggota keluarga?, mohon petunjuk dan bimbingannya.
thanks before. salam ukhuwah.
wassalamualaiqum.