Majelis Ulama Indonesia (MUI) segera menyusun peraturan hukum Islam yang khusus mengatur berbagai persoalan terkait bencana. Aturan yang disebut 'Fiqih Bencana' ini sangat perlu dan mendesak karena wilayah Indonesia yang memiliki potensi bencana. "Dalam keadaan darurat seperti bencana harusnya ada hukum fiqih yang mengatur secara tersendiri," kata Ketua MUI Jawa tengah, Ahmad Darodji di penutupan rapat kerja MUI se-Jawa dan Lampung di Semarang, Senin 13 Desember 2010.
Penyusunan Fiqih Bencana menjadi salah satu rekomendasi rapat kerja yang digelar di Hotel Semesta Semarang sejak Sabtu 11 Desember 2010 lalu. Namun Darodji belum bisa memastikan kapan penyusunan Fiqih Bencana itu akan dilakukan.
"Secepatnya," kata dia. Soal siapa yang menyusun, menurut dia akan dilakukan bersama-sama berdasarkan kajian dan referensi-referensi Al-Qur'an dan Hadist serta aturan-aturan hukum Islam lainnya.
Fiqih Bencana itu akan mengatur hal-hal, contohnya perlu tidaknya seorang yang tewas akibat terkena awan panas Gunung Merapi untuk dimandikan, dikafani dan disholati. Dalam kondisi normal seseorang yang meninggal wajib dimandikan, dikafani dan disholati.
Namun, kata Darodji, bisa saja dalam keadaan seorang yang tewas terkena awan panas gunung, kewajiban-kewajiban tersebut tidak dilaksanakan. Contoh lain adalah status penerima zakat bagi warga sekitar Gunung Merapi yang mengungsi dalam waktu lama.
Dalam kondisi normal karena mereka ada yang sudah kaya maka tidak masuk dalam kategori penerima zakat. Namun, bisa saja Fiqih Bencana memasukan warga korban Merapi sebagai orang yang berhak menerima zakat. Sebab, mereka sudah terlantar dalam pengungsian dalam waktu lama sehingga tak punya penghasilan lagi.
Fiqih Bencana juga akan mengatur berbagai persoalan hukum mulai dari pra bencana, bencana, masa tanggap darurat, hingga masa rehabilitasi dan rekontruksi. (MUI Online/Dwi)
0 Komentar