Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Ribuan Buku, Satu Jumlahnya


Alfan Alfian

Jakarta (ANTARA News) - Ketika saya dikelilingi tumpukan buku-buku di ruang serba guna rumah saya, saya ingat nasib Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jasin yang sedang terpuruk. Bagi saya buku merupakan benda ajaib, dimana pembacanya bisa berpetualang secara intelektual. Karenanya, buku-buku saya itu sangat berharga.

Tetapi, sangat boleh jadi tidak berharga bagi orang lain yang tidak tersambung oleh keasyikan berhubungan dengan buku. Mereka pandang buku hanya tumpukan kertas yang membuat ribet. Kalau dijual kembali buku-buku itu prosesnya lama. Mungkin karena pertimbangan itulah tak satu pun buku yang diambil pencuri yang pernah membobol rumah saya beberapa waktu lalu.

Keajaiban buku juga terletak pada keunikannya: ketika dibutuhkan, buku yang kertasnya sudah lecek-lecek sekalipun, kita buru, harganya mahal. Ketika kita merasa tidak penting dengan sebuah buku tertentu, maka dicetak luks pun kita tolak. Kata orang rumah, buku apa sih ini, menuh-menuhin tempat aja.

Saya suka baca buku apa saja yang saya suka. Saya juga suka menyimpan buku-buku itu di rumah, sampai-sampai di mana-mana tercecer-cecer buku-buku. Padahal hampir separuh dinding rumah saya sudah dipenuhi rak-rak buku. Bahkan meja makan rumah saya dikelilingi buku. Begitu buka pintu dari toilet pun langsung ketemu buku-buku.

Tentu saja koleksi buku saya masih jauh di bawah kolega-kolega saya yang lain, yang juga penggemar buku, Fadli Zon misalnya. Sementara saya masih punya keterbatasan soal genting-genting rumah saya yang bocor : Fadli Zon Library sudah berdiri dengan megahnya.

Suatu saat, pada Februari 2007 banjir besar menimpa perumahan saya. Ribuan buku saya tak terselamatkan. Mereka mengambang kian kemari dipenuhi air berlumpur, yang setelah kering bukunya jadi keras seperti bata merah. Yang terselamatkan segera saya hijrahkan ke rumah kolega senior saya yang rumahnya lebih layak.

Walaupun, karena ia juga suka buku-buku, ia larang saya untuk mengambilnya kembali. Saya cuma mengambil beberapa. Anda bisa membayangkan rumah saya pasca-banjir itu tak ada lagi buku, kecuali beberapa. Tapi empat tahun sesudahnya: jumlah buku saya sudah menumpuk lagi. Bahkan lebih banyak daripada sebelum banjir.

***
Tamu-tamu yang datang ke rumah saya sering berkomentar: ini rumah apa perpustakaan. Guru mengaji anak saya sempat meminta permintaan khusus ke saya supaya diajari bagaimana bisa membaca cepat, setelah melihat ribuan buku saya di dinding-dinding itu.

Anak saya juga pernah protes: kok kalau pergi-pergi selalu ke toko buku sih Pak? Bapak punya banyak buku: kapan membacanya? Pertanyaan anak saya itu, sering saya temui. Saya bilang, Nak, buku-buku ini adalah sumber inspirasi bagi Bapak untuk menulis. Lagi-lagi, ia bertanya: inspirasi itu apa sih?

Pernah ibu-ibu tetangga saya khusus datang ke rumah, untuk menanyakan apakah saya punya buku teknik mesin untuk keperluan kuliah anaknya, siapa tahu bisa dipinjam. Sayang sekali, saya tak punya: buku-buku saya itu rata-rata buku-buku ilmu-ilmu sosial, buku-buku agama, dan fiksi-fiksi.

Pernah juga seorang teman yang sudah lama tidak ketemu datang ke rumah dan geleng-geleng kepala. Ia bertanya kepada saya soal apa guna buku-buku itu. Baginya, yang penting adalah membaca Al Qur’an. Kemudian saya bilang, adapun rupa-rupa buku saya ini juga karena saya mencoba menuruti anjuran Al Qur’an, sesuai ayat pertama yang diturunkan kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW, iqra, bacalah!

Bagi saya, tidak usahlah dibatas-batasi kita mau baca apa, apalagi harus didikhotomikan antara Al Qur’an dan koran. Bahkan dalam lagunya Rhoma Irama pun, ia tidak bermaksud melarang orang membaca koran. Ia hanya mengingatkan, jangan lupa Al Qur’an.

Kalau kita dilarang membaca fiksi: bukannya peradaban Islam tempo dulu, sastranya maju sekali? Bukankah karya-karya fiksional Ibnu Thufail, misalnya mengilhami sastra Barat? Bukankah syair-syarir Omar Khayam atau Jalaluddin Rumi mempesona banyak kalangan, diapresiasi sedemikian rupa jauh melampaui dunia Islam?

Bagi saya, buku-buku apapun pasti ada manfaatnya, asal kita bisa memilih buku-buku yang bermanfaat. Ribuan buku, tetap saja satu jumlahnya: peradaban!

Beberapa hari yang lalu tetangga saya bilang bahwa atap rumah saya melengkung. Ia ajak ke tempat yang lebih tinggi dan menunjukkannya. Ia menyarankan coba dicek, jangan sampai tiba-tiba roboh.

Ketika saya bicara sama istri saya, ia bilang sudah tahu. Soal merombak rumah, tentulah saya tak punya uang yang mencukupi. Istri saya menyarankan agar saya tidak sering-sering membeli buku. Bagaimana mungkin Mas, kita hidup di belantara buku, tapi ujug-ujug rumah kita roboh?

***
Mengoleksi dan memelihara buku-buku itu jelas tidak mudah. Tak semua kalangan punya hobi atau keterpanggilan untuk memiliki banyak buku dan merawatnya. Tapi H.B. Jasin tidak.

Jasin tak diragukan ketelitiannya dan ketekunannya mengumpulkan dokumen-dokumen sastra dan merawatnya. Apa yang ia lakukan bersifat bottom up, inisiatif dari bawah, inisiatif non-pemerintah.

Apa yang dilakukan Jasin jelas penting: menegaskan bahwa kita pernah dan masih punya peradaban sastra. Jasin sendiri sangat dikenal dengan sebutan paus sastra kita. Memelihara sastra berarti memelihara peradaban. Pak Jasin karenanya pahlawan peradaban.

Tapi, siapa yang peduli dengan peradaban? Siapa yang peduli dengan penulis, dengan sastrawan? Barangkali, dari seribu cuma satu. Mungkin saya terlalu sinis. Tapi coba sekali-kali kita sewa Lembaga Survei Indonesia yang dikomandoi kolega saya Mas Dodi Ambardi dan Bung Burhanuddin Muhtadi untuk melakukan riset dengan pertanyaan khusus: seberapa jauh kepedulian Anda terhadap sastra?

Apresiasi masyarakat terhadap sastra, tentu tak dapat kita salahkan. Kita berada dalam wilayah budaya yang penuh gempuran dan kepungan budaya pop (selera rendah, bukan budaya pop selera tinggi). Saya ingat gurauan guru sastra saya Emha Ainun Nadjib: coba sampeyan jawab, kalau misalnya buku puisinya Si Burung Merak W.S. Rendra dilelang sama-sama dengan bulu ketiaknya Kris Dayanti, lebih laku mana?

Saya setuju dengan pernyataan bahwa sastrawan itu pejuang. Pejuang itu yang berjuang karena keterpanggilan. Yang diperjuangkan para sastrawan tentu bukan materi. Kalau materi: mana mungkin Presiden Penyair kita Soetardji Calzoum Bachry, beli gorengan di pinggir jalan dengan santainya?

Tidak perlulah kita terlalu kaku memperdebatkan apakah urusan sastra itu urusan rakyat, atau urusan negara. Sebab, kalau kita ngotot sastra itu urusan rakyat, kok enak betul negara. Kalau sastra kaku hanya dikerangkeng sebagai urusan rakyat, urusan civil society, maka negara punya alasan untuk tidak mengucurkan anggarannya.

Tapi kalau sastra itu urusan negara, ya tidak benar juga. Mana mungkin negara bisa bersastra? Sebab yang bisa bersastra itu, kita, rakyat: seperti salah satu bait syair Hartojo Andangdjaja “Rakyat adalah kita”.

Kita perlu banyak buku, perlu penyangga peradaban. Kita perlu banyak sastrawan, penyangga peradaban, penyangga budaya tinggi. Sastrawan yang, meminjam Chairil Anwar, “biar peluru menembus dadaku, aku tetap meradang menerjang…”. Wallahua’lam. (***)

*M Alfan Alfian, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta

Posting Komentar

0 Komentar