Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Tiga Mubaligh Pahlawan Nasional




Generasi muda belum paham perjuangan pahlawan.

JAKARTA . Pemerintah Indonesia akhirnya meng anugerahkan gelar pahlawan kepada tiga mubalig, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), KH Idham Chalid, dan Sjafruddin Prawiranegara. Empat tokoh lain yang juga mendapat gelar pahlawan adalah Ki Sarmidi Mangunsarkoro (Yogyakarta), I Gusti Ketut Pudja (Bali), Sri Susuhunan Pakubuwono X (Jawa Tengah), dan Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono (Yogyakarta).

Pemberian tanda gelar diserahkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada ahli waris di Istana Negara, Selasa (8/11). Buya Hamka merupakan mubalig yang terjun ke dunia politik bersama Sarekat Islam dan Partai Masyumi, sekaligus penulis yang produktif. Selain menulis buku agama, termasuk tafsir Al-Azhar, dia juga menulis novel seperti Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

Menurut anak kesepuluh Hamka, Afif Hamka, Buya Hamka telah menjadi pahlawan bagi keluarga. Dia mengakui usulan agar ayahnya menjadi Pahlawan Nasional sudah banyak dan diajukan sejak lama. Bagaima napun, bagi kami ini merupakan kebanggaan. Kami terima banyak ucapan berbahagia karena tokoh yang dicintai jadi Pahlawan Nasional, kata Afif.

Idham Chalid lebih dikenal sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang menjabat paling lama, dari 1956- 1984, serta pernah menjabat ketua MPR/DPR. Sejarawan LIPI Taufik Abdullah mengatakan, Idham berjasa besar bagi bangsa dan negara. Apa lagi, keanggotaan NU dari sisi jumlah dan sebaran geografis sangat besar di Indonesia.

Saat Idham memimpin NU, gejolak politik Indonesia sedang ha ngat. Ada pergerakan masyarakat di berbagai provinsi menuntut kesetaraan status dan pemerataan pembangunan sehingga banyak yang dianggap makar kepada Jakarta dan dihadapi secara militer. Sebagai ketua NU yang menjabat cukup lama, beliau bisa menenteramkan kegelisahan warga NU, kata Taufik.

Sedangkan, Sjafruddin di kena l sebagai presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra Barat kala Presiden Soekarno dan Wakil Pre siden Mohammad Hatta ditawan Belanda dalam Agresi Militer Belanda II Desember 1948. Sebenarnya Sjafruddin pernah dua kali masuk dalam nominasi pahlawan nasional di tingkat pusat, namun gagal. Mungkin karena perannya memimpin Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958, gerakan bersenjata di Sumatra dan Sulawesi yang memberontak terhadap Soekarno yang dinilai dekat dengan komunis.

Dukungan terhadap PRRI merupakan sikap resmi Masyumi, tempat Sjafruddin menjatuhkan pilihan politiknya. Setelah perlawanan PRRI berakhir, karier politik Sjafruddin tamat dan dia menghabiskan hari tuanya sebagai mubalig, bahkan me mimpin Korps Mubalig Indonesia.

Putra keempatnya, Farid Prawiranegara, mengatakan, penetapan ini adalah bukti peng akuan pemerintah terhadap langkah perjuangan ayahnya. Selama ini, kata Farid, generasi muda tidak mengerti apa yang dilakukan dan diperjuangkan Sjafruddin. Itu belum menjiwai mereka. Ini warisan pada anak-cucu yang mudah- mudahan bisa dilaksanakan asal mereka mengerti. antara ed: rahmad budi harto

Posting Komentar

0 Komentar